Episode 8
"Ternyata menunggu itu sakit, saat seseorang yang dinanti sebenarnya tak menginginkan pertemuan ini."
🔹🔹🔹
Tiga hari berlalu sejak surat Nona Y yang terakhir tentang dua pilihan yang mungkin akan dipilih Vie. Vie nggak menemukan surat-surat Nona Y lagi. Entah Nona Y menghentikan terrornya atau mungkin hanya menunda. Vie nggak ambil pusing, selagi masih dalam posisi aman.
"Kak Willy!" teriak Vie dari lantai atas, kepalanya memandang ke bawah, melihat Willy yang tengah berjalan bersama sosok yang sangat Vie hindari.
"Ira!" Vie langsung menunduk, menyembunyikan dirinya di balik tembok pembatas. "Gawat ...."
Willy dan Ira menoleh ke atas, mencari sumber suara.
"Fans lo satu lagi," kata Ira seolah mendata para penggemar Willy.
Willy hanya mengedikkan bahu. Mereka kembali melangkah.
"Aman ...." Vie mengelus dada.
° ° °
"Gue pernah kehilangan sekali. Dan waktu gue medapatkanya kembali, dia nggak mau jadi milik gue. Itulah gue tahu, kalau selama ini ternyata cuma gue yang terlalu berharap."
Willy menyalakan ponselnya berulang kali, dan berulang kali pula ia menekan tombol off. Kegabutan malam ini sungguh membuatnya menjadi manusia kesepian. Padahal sebenarnya, ia memiliki banyak penggemar di luar sana.
Lampu di ujung layar ponselnya menyala berkerlap-kerlip, memberitahukan bahwa ada sebuah notifikasi masuk. Dengan gesit Willy mengeceknya. Sebuah pesan WhatsApp dari Vie, cewek yang beberapa hari ini selalu berada di sekitarnya.
Malam kak, maaf mengganggu.
-09:27 PM-
Satu pesan itu berhasil membuat Willy tertawa geli. Adik kelasnya satu ini sungguh benar-benar tidak bisa diberitahu, sudah berapa kali Willy mengatakan jangan terlalu formal. Tapi masih saja ia lakukakan, katanya dirinya merasa tidak sopan jika berbicara kepada Willy seolah ia tengah berbicara kepada teman sebayanya.
Kak, aku pikir kakak nggak perlu terlibat dalam urusan Nona Y ini.
-09:28 PM-
Willy menaikkan sebelah alisnya. "Nggak perlu terlibat? Begitukah? Lalu semuanya akan baik-baik saja?" Willy bermonolog.
Inikan masalah Dyni dan juga aku, jadi ini sudah kewajibanku untuk menyelesaikannya sendiri.
-09:28 PM-
Willy menyunggingkan senyum. Lalu mulai mengetik balasan.
Yakin? Terus mau kamu apakan tantangan Nona Y? Menyerah? Atau mengungkapkan siapa Nona Y? Bukannya kemarin kamu sendiri yang bilang kalau Nona Y tidak main-main dengan ancamannya?
-09:29 PM-
Pesan yang Willy kirimkan sudah dua menit yang lalu, namun gadis itu belum juga membalasnya padahal sudah centang biru yang menandakan bahwa pesannya sudah dibaca.
"Gue ngetiknya kepanjangan deh kayaknya." Willy mulai merutuki kebodohannya.
Ya sudah. Whatever what you want. Tapi besok, ayo kita bahas dulu bersama di perpustakaan. Mungkin saat istirahat makan siang, bisa?
-09:30 PM-
Lagi, Vie hanya membuat pesan yang dikirim Willy hanya tercentang biru. Sudah lima menit berlalu namun belum ada balasan. Willy melempar asal ponselnya ke atas kasur dengan seprai abu-abu berpadu coklat dan bermotif kotak-kotak.
Ponsel yang disetelnya silent itu tidak berbunyi apa-apa saat ada notifikasi masuk. Hanya lampu di ujung layar yang berkerlap-kerlip menandakan adanya notifikasi baru dan itu sama sekali tidak menarik perhatian Willy. Ia pergi keluar kamar dan menuju tempatnya biasa menarik perhatian para fans.
Kedua kaki menyeretnya menuruni tangga, lalu berbelok ke kiri sedikit dan menemukan benda panjang berwarna hitam yang penutupnya sedikit berdebu. Dengan lembut, Willy mengibaskan kain putih itu, seolah sama berharganya dengan benda hitam kesayangannya.
Ia mulai mengambil posisi, duduk rileks dengan pikiran yang ia coba konsentrasikan. Jemarinya mulai menekan lembut tuts piano, mengarahkannya membentuk nada-nada yang menari indah di telinga. 'River Flows in You-Yiruma' menjadi nada pilihan yang dimainkannya.
Ketika bulan bernyanyi
Dan bintang menari
Kita di sini
Di bawah ini
Menjadi pendengar, penikmat,
Merasakan tiap nada yang memberi pesan
Pesan yang hanya dimaknai oleh hati merindu
Kumerindukan
Sungguh merindukanmu
Seiring melambatnya tekanan pada tuts piano, puisi yang tercipta dalam hatinya pun ikut berhenti. Willy memejamkan mata, menarik napas dalam, sebelum kenangan itu muncul lagi. Ia bangkit, berdiri meninggalkan piano yang bunyinya masih terngiang bersama kenangan yang terus menyeruak kembali ke kepermukaan.
° ° °
"Biar kubagi tahu cara melakukan sesuatu dengan hati, jangan melulu pakai logika yang berakhir pada sentimen."
Vie menyimak dengan antusias pergerakan lincah yang dimainkan oleh Willy. Melesat kesana-kemari dengan cekatan, mencetak poin berkali-kali, dan dengan tampang yang penuh energic ia melempar senyum ke arah Vie.
Berkali-kali sorakan yang memekakkan telinga membuat riuh suasana lapangan siang itu. Para fans berlomba-lomba untuk saling memuji, merekamnya untuk dibagikan ke sosial media. Willy memang terampil hampir di segala bidang.
"Gimana?" tanya Willy setelah ia selesai memamerkan kemampuannya di depan puluhan pasang mata yang menyambut dengan penuh sukacita.
Vie masih terkesima dengan penampilan Willy, rambut yang hitam legam dan sedikit berantakan ditambah basah oleh peluh keringat membuat penampilannya lebih disoroti.
"Vie?" tegur Willy yang mendapati Vie masih menatapnya penuh arti. Ia masih memeluk bola basket.
"Tangkap." Willy melemparnya ke arah Vie, membuat gadis bergelang putih yang beradu dengan jam tangan itu langsung tersentak.
Buk.
"Aw!" Vie kesakitan. Bukan karena terhantam bola basket yang dilempar ke arahnya, ia berhasil menghindarinya. Namun, karena itu pula Vie jadi tersandung kakinya sendiri yang menyilang.
"Kamu nggak apa?" Willy mengulurkan tangan yang dengan cepat langsung disambar Vie. Wajahnya memerah bak kepiting rebus. Vie merasa malu karena jatuh di depan banyak orang dan parahnya lagi kini ia menjadi sorotan seolah ia dan Willy tengah menjalani proses syuting ftv.
"Nggak apa," ujar Vie yang kemudian berlari secepat angin, menghambur ke lantai atas menuju kelas.
° ° °
Besoknya, setelah membuat janji bertemu di perpustakaan, Vie tampak bersemangat seperti hari-hari biasanya. Sebelum surat Nona Y datang menghadang.
Vie mampir ke kelas Dyni, mengatakan bahwa dirinya nggak akan pergi ke kantin karena harus mencari referensi bacaan di perpustakaan. Dyni hanya mengiyakan, lagi pula ia merasa nggak terlalu sibuk hari ini.
Leon datang menghampiri mereka dan mengajak Dyni untuk pergi bersama ke kantin. Vie yang melihatnya merasa aman dan bisa tenang pergi menemui Willy karena ada Leon yang menemani Dyni.
Sebelum jam istirahat terbuang sia-sia, Vie dengan cepat melesat menuju perpustkaan. Berlari menaiki satu lantai yang memakan lima belas anak tangga karena lift pada jam-jam istirahat seperti ini banyak peminatnya.
Nggak butuh waktu lama, Vie sudah berhasil sampai dengan selamat. Meskipun dengan napas yang tersengal. Matanya mengitari penjuru ruangan dengan cat coklat kayu itu, namun belum menemukan sosok yang ditunggunya. Vie memustuskan untuk mencari tempat, tempat yang selalu menjadi pilihannya jika di perpustakaan.
Kursi kayu dengan meja panjang di sudut ruangan yang mengarah ke jendela kaca mati. Memaparkan taman belakang perpustakaan yang terlihat indah, menambah nilai plus untuk menenangkan jiwa dengan membaca santai dan menyeruput teh manis. Sayangnya, di perpustakaan ini tidak diperbolehkan untuk makan dan minum.
Vie mengetukkan jemarinya ke atas meja, membuat sebuah nada yang samar-samar. Matanya lurus ke dapan, mengamati taman yang tersiram cahaya matahari. Beraneka jenis bunga tumbuh tersusun di tengah taman mengelilingi air mancur berdiamter tiga meter, dan pohon pucuk merah mengitari taman yang luasnya sekitar luas lapangan basket. Ada bangku taman yang disediakan di setiap sudut di bawah pohon palem, hanya enak dinikmati saat pagi atau sore hari.
Vie merasa bosan, terlalu lama menunggu. Ia mengeluarkan ponsel dan mulai mengirimi chat WhatsApp ke Willy.
"Kak? Jadi nggak? Aku udah di perpust." Read.
"Astaga!" Vie hampir saja menjatuhkan ponselnya saat melihat Willy tiba-tiba sudah berada di sebrangnya.
Willy terkekeh, ia menarik bangku di depan Vie. Duduk berhadapan. "Udah lama?"
"Nggak sih, sekitar sepuluh menit? Mungkin," jawab Vie. Ia membenarkan posisi duduknya menghadap Willy.
"Jadi, pembahasan kita hari ini? Gimana?" Vie memulai pembicaraan.
"Sabar Vie, aku baru saja duduk. Kalau misal ini di kafe, pasti pesen minum dulu, baru ngobrol."
Vie menggaruk kepala. "Hehe, maaf kak."
Hening. Vie bingung harus bagaimana.
"Nah-"
"-jadi."
Dari banyaknya detik yang ada, mereka harus beradu mengeluarkan suara di detik yang sama. Kembali hening. Menyisakan suara jangkrik dalam khalayan.
Krik. Krik.
"Ekhm!" Willy membenarkan suaranya. "Kamu duluan," ujarnya mempersilahkan Vie.
"Ladies first?" tanya Vie yang dibalas Willy dengan anggukan.
° ° °
•to be continued•
Jangan lupa vote dan komentar yaa!❣️❣️😚🙈
With love,
akuhujan_
The author in the shadow.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top