Episode 6

Mentari hendak pulang ke peraduannya, semburat jingga telah menghiasi langit yang kini remang-remang. Area yang dikelilingi oleh garis hitam putih pada gundukan semen yang lebih tinggi dari lantai sekitarnya itu tampak sunyi. Hanya ada beberapa motor yang terpakir berpencar. Kawasan parkir khusus mobil pun telah tak berpenghuni.

Vie melangkah cepat untuk sampai ke tempat matiknya menanti. Pikirannya sudah tak tenang sejak membiarkan kembarannya pulang dengan ojol dan suasana hati yang buruk. Vie harus segera sampai rumah untuk mengetahui apa masalah yang tengah melanda Dyni.

Ia terperanjat. Kakinya enggan melangkah saat manik ambernya memindai sosok yang tengah berdiri di dekat hitamnya. Dengan cepat, otak Vie menerima informasi siapa dan apa orang itu.

Willy. Seseorang yang beberapa jam lalu membantunya di perpustakaan saat ia tak sengaja menjatuhkan deretan buku dari raknya, seseorang yang dikenal satu sekolah dan dia pun telah berkenalan dengan sosok Willy. Ya, tentu pasti Willy mengingatnya. Mereka sudah saling memberi tahu nama dan apa!

"Jangan-jangan ... Kak Willy...." Vie melirik motor yang tengah di elus-elus Willy dan- "apa! Itu helm-nya Kak Willy? Astaga! Nggak mungkin."

Vie berlari gesit ke motor di sebelahnya. Ia berjongkok menyembunyikan diri di balik body motor. Kedua telapak tangannya menutupi wajah, ia melihat perkembangan keadaan dari celah-celah jarinya.

Willy mendengar ada bunyi grasak-grusuk, ia merasa ada yang tengah memperhatikannya. Tunggu, siapa? Vie? Manik coklatnya dengan tangkas memindai gadis yang pontang-panting berlari, bersembunyi di balik motor ninja merah.

Willy menautkan alis. "Ngapain deh," gumamnya. Ia melangkah pelan mendekati Vie.

"Vie?" sapanya yang kini ikut berjongkok di sebelah Vie.

Vie terlonjak kaget. "Ommo!"

Willy mengedarkan pandangan. "Kamu ngapain di sini?"

Ia menggaruk tengkuk yang nggak gatal. "A ... Anu, itu ...." Vie menjawab kikuk.

Willy menaikkan sebelah alisnya, ia berdiri lalu mengulurkan tangan. "Mau sampe kapan di sini?"

"Eh?" Vie mendongak, melihat ke dalam manik coklat Willy.

"Ayo." Willy menggerakkan tangan kanan yang terulur dan tak kunjung direspons.

Vie menyambar tangan Willy. "Maaf kak," katanya menunduk sekelias, mata ambernya menatap Willy dengan berkaca-kaca.

"Eh? Kenapa?" tanya Willy yang tak mengerti.

"Itu ...." Vie menunjuk Vixion yang terpakir di dekat motornya. "Motor kakak?"

"Iya."

Vie menelan kasar salivanya. "Mati aku! Mau dapet uang darimana coba kalo kak Willy minta ganti rugi?" batinnya.

"Maafin aku kak, maaf banget." Vie membungkukkan badannya berulang-ulang. "Aku beneran nggak sengaja tadi, nggak tau kenapa helmnya kesenggol tas aku."

"Oh jadi kamu yang-"

"-iya kak, maaf banget. Beneran nggak sengaja kak, maaf." Vie menggosokkan kedua telapak tangannya.

Willy memperlihatkan sticky notes yang masih tersisa sedikit perekat. "Ini punya kamu?"

"Iya kak, itu nomor WhatsApp aku." Vie menunjuk nomor yang ditulis paling bawah. "Aku nggak bermaksud melarikan diri kok, Kak, itu aku cantumin biar pemiliknya bisa hubungi aku. Karena aku nggak tau pemiliknya, tapi sekarangkan ...." Vie melirik Willy yang masih mengamatinya.

Tawanya pecah. "Udah, selow aja. Lagian nanti bisa ganti baru, paling nggak ya dipoles dikit jadi mulus lagi. Masa garansinya juga masih berlaku kok."

Vie ternganga, mulutnya terbuka begitu saja. Ia tak menyangka jika Willy akan merespons seperti itu. Sungguh.

"Nomor kamu aku save ya, nanti aku kirim pesan. Jangan lupa save back," kata Willy serius.

Vie tersadar. Ia mengatupkan mulutnya. "Oh, oke kak."

° ° °

Buk.

"Aduh! Sakit nih! Jalan tu liat-liat tahuu!" Cecar gadis dengan penampilan berantakan yang  baru saja menabraknya. Gadis yang nggak pakai name tag itu segera bangkit dan mengepakkan roknya.

"Kalo jalan liat-liat dong ...." Suara yang tadinya meninggi kini berubah menjadi cicitan semut. Tak terdengar.

"Kak Willy?" tanyanya menatap tak tak percaya.

Setelah melihat tingkahnya yang jauh dari kata feminim dan tenang. Willy mengenali sosok gadis di depannya.

"Vie?"

Gadis itu masih berceloteh panjang lebar, meminta maaf karena telah mencecar seseorang yang ternyata adalah Willy.

"Iya kak, aku beneran minta maaf, aku-"

Willy tertawa renyah. "Haha, kamu nggak perlu berulang kali bilang kata maaf. Kayak apa aja," katanya. "Aku kira kamu Dyni."

Vie mengernyitkan dahi. "Dyni?"

"Kamu nggak pakai name tag Vie, penampilan kalian berdua hari ini juga mirip."

Vie memukul kening pelan. "Astaga!" Ternyata benar, ia lupa memakai name tag dan gelangnya yang tertinggal di dalam loker karena buru-buru setelah jam olahraga saat berganti seragam.

"Kamu mau kemana?" tanya Willy yang langsung membuatnya kelabakan.

Vie terkesiap. "Ah! Iya kak, aku mesti buru-buru ke kelas, permisi kak."

Vie berlari. Willy mencekal pergelangan tangannya. "Kamu kelas sebelas ipa dua kan?"

Vie berbalik menghadap Willy. "Iya kak, kenapa?

"Pelajaran kimia, Bu Riza?

"Iya."

"Hmm," Willy menjeda kalimatnya, membuat Vie penasaran. "Tadi Bu Riza udah ada di kelas. Bukan aku mau ngajarin yang nggak baik nih, aku pikir kamu pasti udah tahu. Dan juga menurut pengalamanku, kamu nggak bakal disuruh masuk kelas. Daftar hadir pasti udah ditulis absent, jadi percuma. Ya, paling kamu disuruh ngumpul tugas."

Vie diam, benar juga kata Willy. Bu Riza adalah tipe lebih garang dari Bu Diana. Jika ia kembali ke kelas pun percuma karena ia pasti disuruh keluar. Apalagi keterlambatannya sudah lebih dari sepuluh menit. Jadi, sekalian nggak masuk saja. Paling nanti mengumpul tugas dan minta maaf. Bukan solusi baik memang, namun tidak ada pilihan yang lebih baik dari itu.

"Jadi? Aku mesti gimana?" tanya Vie menatap bingung Willy.

"Kamu anak klub seni kan?"

"Iya, kenapa kak?"

"Nah pas banget. Gimana kalo kita ke ruang seni?"

"Ngapain?" tanya Vie tak mengerti.

"Gini, aku mau ambil beberapa properti di ruang seni. Untuk bahan ajaran di kelas nanti sih, amanah dari Pak Budi. Berhubung kamu anak klub seni, jadi sekalian aja. Kamu pasti punya akses ke sana, kan? Sekalian bantu pilih lukisan abstrak, lukisan klasik, dan apa lagi ya ...." Willy tampak berpikir serius.

"Nanti aja deh, carinya kalo udah di ruang seni." Willy menarik tangan Vie, mereka berjalan bersisian menuju ruang seni.

° ° °

Ruangan besar dengan warna coklat yang menutupi permukaan dindingnya terlihat berkelas. Ada banyak lukisan bermacam jenis yang menggantung dihampir memenuhi seluruh permukaan. Meski pun begitu, ruangan ini tetap terlihat apik dan mempunyai nilai seni tersendiri.

Willy melakukan pencariannya, mengamati satu persatu lukisan dan properti yang akan di bawa. Setelah selesai mengumpulkan apa yang dibutuhkan, ia menghampiri Vie yang tengah duduk di atas kursi kayu dengan kanvas yang telah ditumpuk warna abstrak sesukanya.

"Vie, itu pemborosan cat!" tegur Willy pada Vie yang sepertinya sangat menggebu-gebu menggoreskan kuas ke permukaan kanvas yang telah terlumur banyak warna.

"Kamu lagi ada masalah?" tanya Willy yang ikut menarik kursi kayu bulat di sebelah Vie.

Vie menggelengkan kepalanya pelan.

"Kalo lagi ada masalah, cerita aja."

"Enggak."

"Oh gitu," kata Willy mengelus dagu. "Aku aja deh yang cerita."

Vie menoleh, menatap Willy beberapa saat sebelum beralih fokus kembali pada kain kanvas di hadapannya.

"Sejak kecil, olahraga yang sangat kusukai adalah bermain basket." Willy menjeda, mengambil napas.

Vie menoleh sekilas.

"Dulu waktu tinggal di rumah oma, aku sering banget merengek minta dibuatin ring basket di tengah kebun. Tapi opa marah, katanya kalo aku main basket, bisa-bisa sayuran yang di tanam oma hancur semua." Willy terkekeh.

"Tapi, namanya juga bocah. Dilarang, malah semakin menjadi. Aku ngotot mau main basket, akhirnya kebun sayur oma berantakan. Dan enaknya, opa jadi buatin ring basket di halaman depan rumah."

"Terus?" Vie melepas kuasnya, ia mulai tertarik dengan arah pembicaraan Willy.

"Ya, aku jadi sering main basket, belajar sendiri loh tekniknya."

"Main sendiri?"

"Ya, karena nggak ada temen sih. Tapi ...."

"Tapi kenapa?" Vie mulai antusias.

"Nggak jadi deh, lain kali aku bakal tunjukkan skill-ku bermain basket," ujar Willy seraya menembakkan jari telunjuk yang telah ia buat macam gaya "Love Shot' Exo ke arah Vie.

"Awas aja harapan palsu!" ancam Vie, ia mendengkus pelan.

"Trust me! Aku ke kelas dulu ya. Kayaknya Pak Budi udah nungguin itu," kata Willy melirik tumpukan barang di atas meja.

° ° °

Sepeninggal Willy ke kelas, Vie merapikan peralatan yang ia gunakan. Namun, tiba-tiba suara pintu yang terbanting keras memenuhi seluruh ruangan.

"Hey!" teriak gadis bersurai coklat panjang dengan bandana pink manis melingkar elok di atas kepalanya.

"Sabar ra, jangan buru-buru." Salah seorang temannya yang bersurai sebahu mencoba memberi saran.

"Iya ra, nggak seru nih kalo kecepatan. Nggak bisa menikmati deh," celetuk gadis berkuncir dua.

Mereka bertiga berjalan menghampiri Vie. Dengan gadis berbandana pink memimpin di depan, Naira Mashel, gadis yang terkenal dengan sifat manjanya. Ara dan Rara kedua pendamping setianya ikut melangkah di belakang.

"Gue kesini cuma mau kasih lo peringatan!" tukasnya tajam. "Jangan pernah coba-coba buat deketin Willy atau, lo tahu apa yang bakal terjadi sama lo!"

Vie diam mematung, ia ingat wajah ini. Wajah yang juga berada dalam video ancaman Nona Y.

"Kalo aku nggak mau?" jawab Vie tak acuh.

Rara, gadis berkepang dua melangkah maju. "Ya, lo bakal dapet pelajaran dari kita."

"Emang kalian siapa?" tanya Vie berhasil menyulut emosi ketiganya.

Ara, gadis bersurai hitam sebahu ikut bicara. "Mending lo nggak usah cari masalah sama Ira, lo nggak tau siapa Ira?"

"Nggak tahu, dan nggak mau tahu!"

Pertengkaran sengit mulai terjadi di antara mereka berempat. Keroyokan, tiga lawan satu. Vie sangat tak suka jika dirinya harus tunduk kepada seseorang yang bahkan nggak pernah menghargai orang lain.

Ira dan kedua temannya membuat kekacauan di ruang seni. Mereka menumpahkan cat-cat yang sudah Vie bereskan. Alhasil, lantai keramik yang tadinya putih berseri kini kotor berlumuran cat. Untung saja mereka masih berpikir waras, tidak sampai merusak lukisan-lukisan di ruang seni.

Setelah menyebabkan kekacauan, Ira and the genk pergi dengan bersuka cita menertawakan Vie yang mau tidak mau harus bertanggung jawab atas kekacauan di ruang seni. Membuat Vie terpakasa menunda satu jam lagi pelajaran hingga jam sekolah berakhir. Ia jadi membolos sampai bel pulang berbunyi.

Vie menutup rapat ruang seni dan mulai membersihkan diri ke toilet sebelum kembali ke kelas untuk mengemasi peralatannya.

"Vie?" Suara yang selama hampir satu semester ini terus di dengarnya. Vie menoleh ke sumber suara, gadis bersweater putih menatap Vie dari balik cermin toilet.

"Penampilan kamu kacau banget. But, that's not my business. Aku cuma mau bilang, tugas kamu dua halaman kemarin ditambah jadi lima halaman," katanya dingin, lalu berlalu begitu saja.

Vie menarik napas dalam. "Amy! kenapa nyebelin banget sih," sewotnya.

"Kenapa sih, rasanya masalah selalu datang menghampiri? Bilang aja kalo suka!" teriak Vie pada langit-langit toilet yang diam membisu.

° ° °
•to be continued•

Yuhuuu!
Akhirnya episode 6 updet bersamaan dengan episode 7! So sweet kan😍😚:'V

Jangan lupa untuk vote dan komentar ya! ❣️❣️

With love,
akuhujan_
The author in the shadow.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top