Episode 3

"Antara takdir dan kebetulan, aku nggak tahu mana yang sebenernya nyata."

- - -

Awan berarak beriringan menghiasi langit biru di kota dengan sebutan "Venicia dari Timur" itu. Jalanan yang biasanya padat, kini tak cukup rapat. Beberapa celah masih terlihat yang digunakan oleh dua anak perempuan yang sedang berboncengan mengendarai sepeda motor matik hitam.

Dengan halusnya, matik hitam itu membelah jalan raya, tidak ada acara bersalip-salipan pagi ini. Kota memang akan lengang saat langit biru masih terlihat remang-remang, sang surya belum sepenuhnya naik ke singgasananya.

Tidak butuh waktu lama, mereka telah memasuki gerbang besi kokoh dengan tulisan besar yang gagah tertera di atasnya, SRIWIJAYA HIGH SCHOOL. Pohon-pohon daun pucuk merah menyambut di sepanjang jalan menuju tiga persimpangan. Belok kanan, langsung menuju klinik SHS. Lurus, langsung menuju lapangan utama tempat upacara bendera biasa berlangsung. Dan terakhir, belok kiri. Lahan parkir seluas setengah hektar yang dipakai seluruh warga SHS untuk memarkirkan kendaraan mereka.

Dengan lincahnya, matik hitam itu mendarat mulus di parkiran yang masih sangat renggang, hanya ada beberapa motor yang berbaris. Parkiran khusus mobil pun belum terlihat padat. Dyni turun lebih dulu, menyerahkan helmnya kepada Vie dan bergegas ke kelas duluan karena ada jadwal piket kelas.

Vie masih berkutat dengan motornya. Dengan penuh kehati-hatian, dia membuat posisi matik hitam itu berjajar lurus dan rapi di tempat dengan garis-garis putih vertikal yang menjadi batas antara motor-motor lainnya.

Ia memuput napas lega. Akhirnya matik dengan kedua helm berkarakter doraemon pada kedua kaca spionnya itu tampak apik di antara kedua motor besar di sebalahnya.

Vie menepuk kening. "Bekalku kan masih di bawah jok."

Ia buru-buru kembali ke sisi kiri motornya, membuka jok untuk mengambil kotak bekal yang lupa dikeluarkan.

Vie berbalik dengan menjinjing bekalnya, tas punggung jingga yang menggembung itu tak sengaja menyenggol Vixion di sebelahnya.

Buk.

Helm putih yang Vie tahu sangat mahal harganya itu jatuh terbalik di atas semen. Berasa seperti terbang ke planet merkurius dan tak ingin kembali ke bumi. Matanya membulat, terbelalak kaget setengah hidup. Vie marasakan kakinya melemas dan degup jantung yang siap keluar dari tempatnya.

"Astaga!"

Sebelum ada seseorang yang memergokinya, Vie telah memungut helm tersebut. Diamatinya helm expensive itu, hanya sedikit gores. Tidak parah. Syukurlah, Vie mendengkus lega.

Ia meletakkan kembali helm tersebut, menggantung di kaca spionnya. Entahlah, itu tempat asalnya atau bukan. Yang pasti Vie sudah mencoba bertanggung jawab. Ia mengelurkan sticky notes yang tak penah luput dari sakunya dan pena kecil yang menjadi pendamping sticky notes dengan karakter anak ayam yang comel-comel.

Setelah menggoreskan permintaan maaf pada selembar sticky notes, Vie menempelkannya di kaca helm yang sangat kinclong itu. Ia melirik sekilas jam yang melingkar dipergelangan tangan kirinya dan berjalan cepat menuju kelas.

° ° °

Jam pelajaran pertama dan kedua berjalan lancar. Meski nggak secakap Dyni, Vie cukup mampu mengendalikan diri saat mengikuti semua mata ajaran.

Bel berbunyi nyaring sampai menggema di kelas dengan cat putih tulang yang di dindingnya tertempel banyak wall sticker bermotif aneka tumbuhan hijau. Tidak dilarang memang, asalkan tidak bersifat merugikan dan bisa menumbuhkan semangat untuk belajar, maka pihak sekolah membebaskan muridnya untuk mendekorasi kelas agar merasa nyaman dan tentram biar berasa rumah sendiri saat di sekolah.

Sepertinya kali ini Vie setuju dengan pernyataan, "Sekolah adalah rumah kedua."

Tepukan ringan di bahu kanan Vie menariknya kembali ke dalam kelas, menerima kenyataan bahwa dia mencium bau-bau nggak wajar sekarang.

"Vie, jangan ngelamun. Bu Diana udah deket," ujar Syafa yang duduk di belakang Vie.

Kelas yang dihuni oleh dua puluh murid dengan tempat duduk tunggal, kursi lipat dengan meja kecil di depannya, atau biasa disebut kursi kuliah karena kebanyakan kursi ini dapakai oleh mahasiswa. Hanya berpenghuni dua puluh kepala, kelas dengan suhu dua puluh enam derajat itu sangat hening. Hanya terdengar hembusan napas gusar  dan AC yang tenang menuipkan hawa sejuk. Derap langkah kaki dari hak sepatu pantofel menggema nyaring di sepanjang lorong kelas sebelas IPA.

Belasan pasang telinga di ruang kelas XI IPA 2 tampak terus memantau bunyi yang semakin mendekat. Air muka yang tampak buncah tercetak dengan jelas di setiap wajah yang tengah memasang rapat-rapat pendengarannya.

Semakin mendekat. Dari balik pintu kaca sandblast yang dibuka, muncullah seorang perempuan dengan penampilan apik yang sangat disegani.

Tak berani menatap langsung, semuanya masih diam berpaku ke layar proyektor. Sampai sebuah suara dari Agung—ketua kelas, membuat mereka bangkit untuk mengucapkan salam.

"Kumpulkan tugas PR kalian minggu lalu," titah wanita berusia kepala tiga tersebut.

Semua berbondong-bondong maju ke depan mengumpulkan buku tugas mereka. Vie gelapan. Ia tak kunjung menemukan buku tulis bersampul manila merah itu dalam ranselnya. Vie menyerah, ia pasrah.

Bu Diana, guru mata ajaran matematika itu tampak serius menghitung jumlah buku di hadapannya.

"Sembilan belas?" Ia mengedarkan pandangan, menatap tajam satu persatu wajah yang sudah sangat was-was. "Siapa yang belum?" Suaranya kembali terdengar, bagai menusuk-nusuk indera pendengaran.

Vie menelan kasar salivanya. Tubuhnya sudah mulai mendingin, ia meramas jari-jarinya dan mulai angkat suara.

"Sa ... Saya bu. Sepertinya buku saya ketinggalan di rumah bu," ujar Vie dengan suara yang bergetar.

Jantung Vie terasa melompat dari tempatnya, lirikan tajam Bu Diana sukses membuatnya ingin terbang ke angkasa, mendaftar menjadi penghuni planet mars.

"Bawakan ibu contoh matriks berordo tiga kali tiga lengkap dengan pengertian, persoalan, dan penjabaran. Jangan lupa determinan dan invers juga dimuatkan." Bu Diana berbicara lantang seolah siapapun yang berani menantangnya akan mendapatkan nasib yang sama.

"Sekarang silahkan keluar." Titahnya penuh penekanan.

Vie mengemasi beberapa perlatan tulis, ia tahu jika membantah maka akan mendatangkan bencana baru. Ia berpamit sopan, kakinya yang lunglai terus diseret menuju ke tempat antah-berantah.

"Aku mesti kemana...." lirih Vie yang sudah hilang semangat paginya.

Setelah berputar-putar mengelilingi sekolah, Vie teringat satu tempat yang menurutnya pas untuk menjadi tempat rehat melepas penat dan kegundahan hati.

Dengan berlari-lari kecil, Vie menuju tempat dimana ada banyak jendela ilmu di dalamnya. Perpustakaan.

° ° °

Ruangan yang tenang nan sejuk itu sangat memanjakan mata untuk para pecinta buku. Berbagai macam genre tersedia di rak-rak kayu dua sisi yang menjulang tinggi menyentuh langit ruangan dengan konsep tradisional.

Manik matanya mulai berkeliling mencari tempat untuk bokong kecil itu mendarat mulus. Kursi kayu dengan meja panjang terletak di sudut ruangan yang mengarah langsung ke jendela kaca mati berukaran persegi tiga meteran, tempat mentari masuk menyerak membuat ruangan menjadi lebih terang  itu adalah pilihan Vie untuk duduk mengerjakan tugas dari Bu Diana.

Ia mulai melatakkan peralatan tulis yang dibawa ke atas meja. Tangan kanannya memegang pulpen hitam, bersiap menggoreskan tintanya untuk membuntuk angka-angka cantik. Belum sampai ujung pulpen itu menyentuh permukaan kertas, Vie sudah melepaskannya. Ia berlari kecil mengampiri seseorang yang dilihatnya beberapa hari lalu.

"Hai, aku ... boleh duduk disini?" tanya Vie pada seorang cowok yang tidak mengalihkan pandangan dari sebuah buku ilmiah dalam genggamannya.

"Aku anggep boleh, ya?" Tanpa basa-basi Vie duduk di sebrangnya.

"Kamu inget aku nggak? Aku mau balikin sapu tangan kamu kemarin," ujar Vie, tangan kanannya bersiap menarik sapu tangan yang berada dalam saku rok lipitnya.

"Bisa tinggalkan aku sendiri?" Suara yang sedikit nge-bazz itu sontak membuat Vie menghentikan tangannya.

"Oke." Vie bangkit berdiri, mengerucutkan bibirnya ke depan.

"Apaan sih! Belagu banget jadi cowok! Ih, akukan cuma mau balikin sapu tangannya! Sebel deh!" cecar Vie yang benar-benar merasa keki. Ia menghentakkan kedua kaki berulang-ulang di lantai, membuat orang di sekitarnya terganggu. Mereka mendelik kesal ke arah Vie, Vie yang menyadari makna delikan itu langsung bersikap calm.

Vie manarik langkah menuju rak dengan sub genre fiksi. Meski ia tak terlalu suka membaca, setidaknya bacaan yang saat ini bisa dicerna otaknya hanyalah bacaan fiksi.  Tangannya mulai menelusuri buku dengan tebal sekitar tiga ratus halaman. Ia mencoba menarik salah satu buku  bersampul merah darah yang menyita perhatiannya. Entah mengapa pada barisan buku yang ingin diambilnya itu sangat rapat, berdempet-dempetan. Membuatnya menjadi sulit untuk ditarik.

Vie mengerahkan tenaganya, terlalu kuat untuk menarik buku yang beratnya tak sampai satu kilogram. Alhasil, ia terjerembab jatuh ke lantai dan menabrak rak di belakangnya, membuat deretan buku yang tadinya berjajar rapi kini berserakan di lantai.

Miss Vita yang merupakan penjaga perpust berdeham singkat, menyuruh Vie untuk segera mebereskan kekacaun yang barusan dibuatnya. Vie menunduk malu, sambil memunguti buku satu persatu.

Sepasang tangan asing tiba-tiba menyentuh buku yang tengah dipungutnya. Vie mendongak, "Kak Willy?"

Cowok tinggi dengan gaya cool itu tersenyum hangat. "Iya, biar kubantu."

Vie tersenyum sumringah, ia senang bukan kepalang.

"Akhirnya ada yang bersedia membantu!"

° ° °
•to be continued•

Nggak tau mo bilang apa.
Jangan lupa vote dan komentar ya! xD
:'v

With love,
akuhujan_
The author in the shadow.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top