Episode 28

-Bahagia itu sederhana. Duduk bercerita dan tertawa bersama orang yang kusayangi adalah definisi dari kata itu sendiri.-

-Duduk bersamamu ditemani aroma mawar dan kilauan sinar Mentari, sejenak mampu menyembuhkan rasa sakitku.-

- - -

Vie menggeliat. Kepalanya masih terasa sedikit pusing dan lehernya terasa berat. Ia meraba-raba pojok bantal untuk menemukan ponsel, matanya masih terpejam malas untuk dibuka.

Vie terperanjat saat tangannya menyentuh sesuatu yang hangat, ada seseorang di kamarnya! Bergegas Vie membuka mata, jarinya menyentuh lengan Dyni dan tertidur pulas di sebalahnya.

"Dyni?" Vie mengernyit. Ia tidak terlalu mengingat kejadian semalam. Hal yang dia ingat hanyalah ia kelelahan karena muntah angin dan harus bolak-balik ke kamar mandi. Selebihnya, Vie tidak ingat apapun.

"Huh! Kamu pasti takutkan tidur sendirian?" cibir Vie pada Dyni yang masih terlelap memeluk guling di sebelahnya.

Vie perlahan turun dari kasur, mengendap-endap agar tidak membangunkan Dyni. Sebelah tangannya masih memegangi kepala yang terasa sedikit pusing. Meski dapat Vie akui, perutnya tidak lagi mual seperti semalam. Mungkin benar, dengan tidur dan terbangun di pagi hari, Vie akan membaik tanpa minum obat. Ya, setidaknya saat ini itulah yang diyakininya.

Vie menarik gorden, membuat cahaya Matahati pagi merayap menelusup kamarnya. Vie memegang tenggorokkan yang terasa kering, ia segera saja berjalan keluar kamar, menuju dapur tanpa memperhatikan keadaan kamar saat itu.

° ° °

Sinar Matahari menerpa wajah tidur Dyni, membuat si pemilik mata amber itu mau tidak mau harus terbangun karena diusik sang Mentari. Tangannya menepuk-nepuk kasur di sebelah kirinya. Nihil. Dyni segera menoleh, ia tidak menemukan Vie di sana. Dengan cepat Dyni bangkit, secepat kilat melesat turun mencari kembarannya yang mungkin belum membaik.

Dyni mencari ke seluruh ruangan di rumah besar itu, tapi ia tetap tidak menemukan Vie di mana pun. Di kamar mandi, di dapur, di ruang makan, di ruang tv, di ruang tamu, di kamarnya, di kamar orang tuanya, bahkan di ruang bacaan pun Vie tetap tidak menampakkan batang hidungnya.

"Oh ayolah! Si Vie ke mana, sih?" Dyni tergopoh-gopoh berlarian mencari Vie. Sepertinya pilihan terakhir hanya ada satu. Vie di luar rumah.

"Ah iya! Taman!" Dengan cepat Dyni berlari menuju taman belakang rumah mereka.

Di antara tumbuhan bongsai yang besar dan beberapa pot mawar hias bewarna putih, Dyni menenukan Vie tengah duduk bersila. Entah apa motifnya, mungkin Vie sedang berjemur pagi.

"Vie!" teriak Dyni dengan napasnya yang tersengal. Ia sungguh merasa khawatir.

Vie menoleh. "Dyni?" Dilihatnya gadis dengan surai yang berantakan itu tampak bernapas tidak beratur. Dyni melangkah maju mendekati Vie, sebelah tangannya memegangi dada yang terasa akan membuat jantungnya keluar.

"Syukurlah! Aku kira kamu ke mana!" Dyni berteriak saat sampai di depan Vie. Gadis itu ikut duduk di sebelah Vie.

Vie mengernyit. "Eh? Emang kenapa?" katanya membatin. "Apa aku masih mimpi ya?" celetuk Vie tiba-tiba.

Dyni menoleh. "Sorry," katanya. "Maaf sudah buat kamu dalam situasi sulit seperti ini."

Vie hendak berteriak sebelum Dyni lebih dulu melotot padanya. "Dan satu lagi, kamu nggak mimpi." Dyni menekankan kata 'mimpi' pada kalimatnya.

Vie memandangi raut wajah Dyni, kembarannya itu tampak biasa saja sekarang. "Apa kita sudah berbaikan?"

Dyni menanggapinya dengan senyuman.

"Hah? Emang kapan kita baikan?" Otak Vie saat ini masih lelah sehingga lamban loading.

Dyni mengedikkan bahunya, masih dengan melempar senyum.

Vie menoleh ke kiri, mengalihkan pandangannya dari Dyni. "Ini aku yang sakit atau Dyni juga ikutan sakit ya?" gumamnya pelan.

Dyni mendengarnya, ia terkekeh pelan di sana. "Sudahlah Vie," katanya. Vie menoleh, mereka saling berpandangan.

"Jadi, masih nggak mau cerita? Kamu lebih milih percaya sama orang lain dibanding saudaramu sendiri?" Tatapan Dyni menusuk iris amber Vie sampai ke hati.

Jlep.

Vie masih pura-pura tidak mengerti. "Eh? Aku nggak ngerti deh omongan kamu." Vie cengengesan.

Sejenak, ia merasa sembuh total. Pusing di kepala dan rasa lelah yang menyelimuti tubuhnya terbang entah ke mana.

Dyni berdecak kesal. "Ck! Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Kamu tahukan Vie pepatah itu?" Dyni menaikkan sebelah alisnya.

Vie mendengkus. "Aku harus cerita apa?"

Dyni balas mendengkus. "Ceritain tentang Nona Y dan semua perjalananmu selama ini. Kamu nggak maukan waktuku hari ini terbuang sia-sia?"

Vie terbelalak. Ia baru ingat jika hari ini adalah hari kamis dan seharusnya Dyni tidak berada di sini sekarang. Melainkan, di sekolah. "Kamu kok nggak sekolah?"

Dyni mengedikkan bahu. "Karena waktu tidurku diganggu bayi besar yang merengek dan ngelantur nggak jelas. Aku jadi nggak terlelap dan terjaga semalaman, dan ya. Imbasnya hari ini aku kesiangan." Tidak semua perkataan Dyni adalah bualan belaka. Vie memahami maksud saudaranya itu.

Ia tersenyum. "Makasih," katanya tulus kepada Dyni. Vie tahu, seburuk apapun hubungan mereka, mereka berdua tidak bisa mengabaikan sepenuhnya satu sama lain.

"Oke, sebagai bayarannya karena semalam aku mecahin celengan untuk manggilin kamu dokter, maka kamu harus cerita semuanya sampai tuntas." Dyni berkata santai, sementara Vie yang mendengarkan terbelalak tak percaya.

"Mulutnya biasa aja Vie," tegur Dyni yang mendelik kesal karena Vie terus mangap seolah lupa menutup mulutnya.

Vie merapatkan mulutnya. "Ups!"

Sepertinya duduk bersama Dyni saat ini bagaikan obat alami baginya. Sakit Vie benar-benar hilang tertiup angin bersama rasa penyesalan dan kesedihannya. Vie menceritakan semua tentang Nona Y, tentang perjalanannya hingga bertemu Willy dan perjalanan tersebut berlanjut sampai pada titik di mana akhirnya video itu tetap tersebar karena kecerobohannya, bukan karena Nona Y.

° ° °

Vie benar-benar merasa sudah sehat sekarang. Setelah meminum obat yang diberikan oleh dokter Arin dan makan dengan cukup nan teratur, Vie dapat bersekolah hari ini.

Jum'at pagi.

Beberapa orang memandangi dua kembar ini dengan penuh tanda tanya. Pasalnya tidak ada raut kekecewaan, kemarahan, kesedihan, atau perasaan buruk apapun itu di wajah keduanya. Air muka mereka tampak cerah ceria, mereka sangat bahagia.

Dyni merangkul pundak Vie dengan sebalah tangan, keduanya berjalan berbarengan menuju kelas. Teringat pembicaraan mereka di taman kemarin, bahwa Dyni memustuskan untuk menuntaskan masalah Vie. Akan dipastikannya Vie akan bebas dari masalah tentang video itu. Ia akan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dalam video itu, Iralah yang bersalah dan Dyni harus menemukan buktinya. Dengan terlibih dulu mencari tahu siapa Nona Y, ia harus memastikan sesuatu.

"Ingat Vie, ini rahasia kita berdua. Mulai sekarang, jangan libatkan orang lain. Semua orang bisa berkemungkinan untuk jadi tersangaka."

"Baik, Dee," jawab Vie mantap. Ia pun tak akan memberitahu Willy soal ini. Vie melambaikan tangan lalu berjalan menuju kelasnya.

° ° °

Dyni berpikir kritis. Ia mengamati dan mencerna lamat-lamat runtutan peristiwa sejak Nona Y mengiriminya surat. Dyni menulisnya di sebuah notes kecil dengan membuat denah kemungkinan dan anak panah. Menarik garis lurus dari satu kemungkinan, ke kemungkinan lainnya.

Dyni menampung semua tersangka yang di pegang Vie. Ada Ira, Amy, dan Zayan. Tak lupa ia menambahkan nama Leon dan Willy. Karena siapapun berkemungkinan untuk menjadi tersangka. Hari ini, ia harus menemukan titik terangnya. Karena, keputusan tentang kasus video itu akan diputuskan esok, hari senin.

° ° °

"Ingat Vie, jangan menemui dan bercerita ini kepada siapapun. Termasuk kak Willy."

Vie mengingat dengan jelas kalimat Dyni tadi pagi. Ia menghindari Willy yang berjalan ke arahnya. Berkali-kali Willy meneriaki nama Vie, gadis itu tetap saja berjalan cepat meninggalkannya.

Willy merasa ada yang tidak beres. Bukan, bukan hanya karena tindakan Vie yang menghindarinya. Namun, ada sebuah rasa aneh dalam hatinya.

"Apa ini perasaan bersalah?" Willy membatin.

° ° °
•to be continued•

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top