Episode 2

"Nggak semua hal yang sama harus berakhir dengan kebersamaan."

- - -

"Dee, kamu liat sapu tangan navy nggak di sini?" teriak Vie yang sibuk menyingkap pakaian-pakaian yang tertumpuk dalam rak putih.

Dyni mengedikkan bahu. Tatapannya tetap tidak terlepas dari lembaran-lembaran kertas putih yang bertumpuk rapi di hadapannya.

"Duh, dimana ya? Aku inget betul, tadi  ada di sini kok."

"Kamu lupa kali, mungkin masih digantung di jemuran luar."

Vie melihat keluar jendela bay yang transparan. "Ah, gelep banget. Nggak deh." Ia masih terus mencoba menelurusi ke ruang tengah, jari-jari halusnya dengan cekatan mencari benda kain itu.

Dyni nampak tak acuh, ia terus melanjutkan pekerjaannya.

"Nggak ada pilihan lain," gumam Vie yang bertekad melangkahkan kaki keluar rumah.

Angin malam menyambutnya saat pintu fiberglass besar itu terbuka, menampakkan taman bunga yang tersiram sinar rembulan.

Piyama lengan panjang dengan motif bergaris dan berwarna hijau muda itu tak mampu menahan angin malam yang datang bagai menampar kulit dengan pasukannya.

Vie menggosok kedua lengan. "Dingin banget sih."

Kakinya lincah menuruni tiga anak tangga yang menuju ke halaman belakang. Sandal karet yang dipakainya bergesekan dengan rerumputan, jenis rumput gajah mini varigata. Ia menahan langkah.

"Auk ah. Gelap!" Vie menyerah mencari sapu tangannya, ia kembali masuk ke dalam rumah dengan warna coklat muda yang melapisi seluruh permukaan dindingnya.

Dyni sangat sibuk dengan kertas yang berserakan di hadapannya. Keningnya tampak berlipat-lipat saat menggoreskan ujung tinta hitam pada kertas yang telah dipenuhi dengan goresan huruf lainnya.

Vie menghempaskan bokongnya di atas kasur empuk dengan seprai putih bermotif bunga lili.  Merasa bosan karena tidak ada kerjaan, Vie menarik asal salah satu boneka penguin yang berjajar rapi di tepi kasur spring bed dengan ukuran king size itu.

Ia mulai berceloteh panjang lebar, mengajak penguin dengan seragam ala pelaut itu mengobrol. Berguling kesana-kemari, Vie semakin merasakan kesuntukan. Ia bangkit, menyilangkan kakinya—duduk bersila.

"Kamu dari tadi nulis apa, sih?" tanya Vie yang sudah sangat jenuh.

Tanpa memalingkan wajah, Dyni menjawab, "Biasa."

"Belajar?"

"Enggak, lagi nyusun visi misi buat putri sekolah."

Vie menegapkan posisi duduknya. "Benarkah?"

Dyni mengangguk. "Aku udah daftarin diri kemarin."

Mata amber Vie tampak berkaca-kaca, ia menatap Dyni dengan takjub.

"Kenapa?" tanya Dyni yang merasa terus diperhatikan.

Vie menggeleng pelan. "Kadang aku suka mikir kenapa kita beda jauh banget, padahal kita kembar. Bahkan orang awam pun sering ketuker ngenalin kita."

Iris amber Dyni menatap lekat menembus iris mata yang sama. "Kembar bukan berarti kita mesti sama dalam segala hal, Vie. Kamu punya kelebihan tersendiri, aku juga."

Vie menangkup dagu dengan kedua tangan. "Iya sih...."

Di tengah heningnya malam, ketika hanya ada suara musik yang mengalun pelan dari handphone hitam yang tergeletak di atas nakas, Vie mendengar sesuatu yang aneh.

"Eh? Kok ada nada baru sih dimusiknya?" Vie beranjak mematikan lagu favoritnya dan suara itu kembali terdengar lagi.

Vie menoleh ke sumber suara.

"Ehehe, aku laper," kata Dyni menunjukkan deretan gig putihnya.

Mata vie menyisir sudut kamar dengan banyak tempelan notes beraneka bentuk dan warna di dinding kamar bercat putih dengan wall sticker bunga lavender. Ia melihat jam dinding telah menunjukkan pukul delapan malam. "Sudah jam delapan," gumam Vie. "Waktunya makan kok bisa lupa."

Vie beranjak turun melangkahkan kaki keluar kamar. "Biar aku aja yang masak."

Entah sudah berapa menit batang hidung Vie tak kunjung terlihat. Hanya memasak telur ceplok dan memanaskan sup, mungkinkah akan memakan waktu sampai tiga puluh menitan?

Aroma asing menyeruak masuk menembus rambut-rambut halus tempat penyaringan udara—sumber kehidupan. Dyni beberapa kali mencoba memastikan bau apa yang tengah di tangkap oleh indera penciumannya.
Hidung mancungnya terus mengendus, mencoba mengingat bau yang sebenarnya tak terlalu asing.

"Gosong!" Dyni bangkit dari duduknya. Dengan gesit kakinya menuruni satu persatu anak tangga. Berlari secepat mungkin menuju dapur.

Asap mengepul dari sebuah panci yang terletak di atas kompor. Sementara di tungku kompor yang lainnya, kuali yang awalnya bewarna silver kini menjadi hitam, benda itu juga tak kalah berasap-asap. Dengan lincahnya, Dyni segera berlari mematikan kedua tungku kompor. Diangkatnya panci dan kuali yang lebih dulu, berisi telur yang sebagian besar permukaannya telah menghitam, gosong!

Tangkasnya Dyni saat di dapur, hanya bisa meninggalkan ketakjuban oleh Vie yang melihatnya di sudut dekat lemari es. Dyni mengepakkan piyamanya, selesai membersihkan kekacauan yang telah dibuat kembarannya.

"Vie." Dyni mnmenatap tegas. "Kamu cuma nyeplok telor dan manasin sup, tapi kok bisa gosong?"

Vie menjawab was-was, suaranya terdengar gemetar. "Tadi aku...." Vie menjelaskan kronologis kejadiannya.

Benar-benar sulit di percaya! Hanya memasak masakan yang bahkan anak sepuluh tahunpun bisa melakukannya dan Vie, membuat kesalahan.

"Aku yang masak." Dyni mulai mengambil beberapa bahan mentah di kulkas.

Vie mengamati kepiawaian Dyni dengan penuh takjub. Benar, serupa tapi tak sama.

Setelah mengisi perut dengan sempurna. Pekerjaan yang sebelumnya tertunda, kembali mereka kerjakan. Dyni masih berkutat dengan rancangan visi misinya. Vie melirik sudut kanan atas layar handphonenya. Pukul 10:17 WIB, matanya sudah mengantuk, ditambah dirinya yang hanya berguling-guling malas di atas kasur empuk Dyni.

Dyni tak sengaja menangkap Vie yang telah menguap berulang kali. "Tidur aja Vie, balik ke kamarmu. Aku masih lama."

"Ehh, enggak. Aku belum ngantuk." Vie mengerjapkan matanya, mencoba menyegarkan mata untuk menghilangkan rasa kantuk.

"Umm ... lagi pula, selama mama dan papa lagi nggak di rumah. Aku sebagai kakak berkewajiban jagain kamu."

Dyni berdecak kesal. "Ck! Dari mana kamu tau kalo kamu yang lahir duluan?"

"Pokoknya aku kakak, titik!" titah Vie menegaskan.

Dyni memutar bola mata jengah. "Terserah deh." 

"Mau kubantu?"

Dyni mengedikkan bahu. "Kalo saranmu masuk akal, boleh deh."

"Oke, gimana dengan menjadi contoh orang paling sempurna?"

"Nggak ada orang sempurna di dunia ini, Vie. Skip."

"Menjadi contoh teladan para siswa untuk menerapkan sikapmu?"

"Nggak semua yang aku punya itu selalu baik. Biarin mereka nentuin sendiri apa yang seharusnya mereka pilih."

Vie tampak berpikir, saran-sarannya sungguh tak masuk karakteristik Dyni.

"Aku nyerah deh," kata Vie.

Melihat Dyni begitu serius dengan pikirannya, Vie mulai mengajak Dyni membahas hal-hal yang unfaedah. Meskipun dia tahu betul, dengan resikonya yang akan menjadi kacang rebus.

"Dee, menurut kamu, fisika sama matematika itu jodoh maut nggak?"

Hening.

"Dee, kemarin katanya ada yang buat rusuh di lapangan basket ya?"

Hening.

"Ohiya, ada drama korea terbaru ya? Pemerannya kalo nggak salah, Lee Seung-gi?"

Hening.

"Dee!"

Dyni membidik tajam iris mata Vie. Ia bungkam.

"Ada murid pindahan baru di kelasku." Dyni membuka obrolan.

Vie terbelalak kaget. Bagaimana bisa? Dynilah yang sekarang memulai obrolan. Padahal belum lima menit, Vie telah menjadi kacang rebus dan mendapat pelototan maut Dyni.

"Namanya Leon," sambung Dyni meskipun Vie belum menanggapi ucapannya.

Dyni sepertinya sudah selesai dengan pekerjaannya, ia mulai mebahas tentang murid baru yang menarik perhatiannya kepada Vie. Vie antusias menanggapi. Sampai entah karena apa, semuanya menjadi hitam. Gelap.

Vie telah tertidur pulas diatas kasur Dyni. Dyni mendengkus, "Punya kembaran, gini amat."

° ° °
•to be continued•

Holaa!
Bertemu lagi bersama saia, author ketjeh, rain-nya thewwg:3

Btw, berhubung ini naskah kejar tayang yang mesti apdet sehari sekali, author ketjeh ini mo minta maaf yang seluas-luasnya pabila naskah ini nggak sesuai ekspetasi keleaannn:' :'

Tapi,,,
Tetep jangan lupa untuk VOTE (👍) dan KOMENTAR (💬) ya! V:

Rain sayang kaliannn😚😚

With love,
akuhujan_
The author in the shadow.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top