Episode 17
Menjelang putri sekolah.
Hari seleksi kandidat inti untuk putri sekolah semakin dekat. Sejauh ini telah dalam tahap nominasi lima besar. Dengan Dyni dan Amy sebagai kandidat nomor urut satu dan dua. Karena persaingan yang semakin ketat itulah, masing-masing kontestan dituntut untuk menunjukkan aksi nyata salah satu program mereka.
Mungkin benar kata sebuah pepatah yang mengatakan bahwa dunia tak selebar daun kelor. Diantara banyaknya orang dan banyaknya ide di dunia ini, lalu kenapa masalah itu justru terjadi pada dua rival terkuat putri SHS. Ya, Dyni dan Amy memperubutkan sebuah ide yang menurtnya adalah klaim mereka pribadi yang mana sama-sama lebih dulu mendapatkannya. Mereka berdua sama-sama ingin menerapkan duta lingkungan hidup. Dengan melestarikan rempah-rempah khas Indonesia. Sebagai keputusan final, keduanya disuruh oleh guru pembimbing untuk membuat kesepakatan.
“Maaf bu, tapi saya lebih dulu mencetuskan ide tersebut.” Dyni menjawab mantap setelah diminta untuk mengalah.
“Heh? Tidak bu. Saya yang lebih dulu.” tukas Amy cepat tak mau kalah.
“Mana buktinya jika salah satu di antara kalian yang lebih dulu mencetuskan ide tersebut?” Kini Bu Riza mengambil alih, diliriknya Bu Erna yang mengerang frustasi menanggapi kedua anak bimbingannya.
Vie dan Amy sama-sama tertegun, beberapa kali mereka menelan ludah karena tidak tahu harus menjawab apa.
“Kenapa? Tidak bisa jawab?” ujar Bu Riza menghunuskan tatapan bergantian pada kedua siswi yang telah membisu seribu bahasa.
“Ibu minta tidak ada diantara kalian yang menggunakan ide rempah-rempah itu jika akhirnya hanya menjadi perselisihan. Untuk mengatasi masalah kecil begitu saja kalian tidak bisa mengendalikan diri, bagaimana nanti dengan masalah yang lebih besar jika kalian telah menjadi putri sekolah?” Seolah perkataan Bu Riza adalah pedang bermata tajam yang menyayat-nyayat ulu hati keduanya. Mereka hanya bisa pasrah dan mengalah.
“Baik, Bu.” Dyni dan Amy menjawab bersamaan.
“Maaf ya,” ujar Dyni mengulurkan tangan kepada Amy.
“Ya,” jawab Amy menerima singkat uluran tangan Vie, hanya untuk sekadar formalitas.
° ° °
“Jadi, program rempah-rempah yang kemarin itu ditolak?”
Dyni mengangguk pelan menanggapi pertanyaan Vie. “Daripada memperbesar masalah, aku cari ide lain aja deh.”
Vie mengelus pundak Dyni lembut. “Kamu pasti bisa,” katanya dengan seulas senyum tulus dari hati terdalam.
Dyni mengangguk dan ikut tersenyum. Mereka berdua ibarat satu orang yang tengah bercermin, sama.
° ° °
“Kak! Kak Willy!” Vie berlari kencang sambil terus meneriaki nama Willy.
Dengan napas terengah, ia merentangkan kedua tangan di hadapan Willy. Membuat cowok jangkung itu berhenti. Willy melepas earphone dari telinganya.
“Vie?” Willy tampak mengerutkan kening. “kenapa?”
Vie masih mengatur napasnya yang tersengal.
“Bentar,” katanya menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. “Aku daritadi manggil-manggil kakak, pantas aja nggak noleh. Ternyata emang nggak denger sih.” Meski begitu, kebiasaannya berkata panjang lebar tidak bisa terelakkan.
“Kak Willy, kakak nggak bales chatku semalem,” sungut Vie berapi-api dan mengundang perhatian dari belasan pasang mata yang berlalu-lalang di sekitarnya.
Willy menunjuk dengan dagu, ke arah kiri, menunjuk bangunan luas yang di dalamnya merupakan markas mereka.
“Apa!” tanya Vie nggak mengerti.
Jika bukan di depan umum, Willy pasti sudah menjitak kepala juniornya satu ini. Willy mendengkus. “Kita jadi tontonan,” katanya pasrah.
Vie membulatkan kedua bola matanya, terbelalak kaget. Ia memutar kepala dan benar saja, mereka berdua tengah dipandangi dengan sorot yang berbeda-beda. Bahkan, beberapa kelompok anak perempuan tampak berbisik-bisik. Vie dapat mendengar bisikan dari rombongan anak perempuan yang berada sekitar satu meter darinya.
“Lihat deh, modus banget!”
“Ew! Kecentilan banget! Sok-sok akrab lagi sama ayang Willyku!
“Ih, nggak nyadar diri banget sih jadi cewek!”
Suasana mulai memanas ditambah teriknya sinar mentari yang membakar kulit. Vie berusaha mengendalikan dirinya, meskipun kedua mata ambernya sudah mulai berkaca-kaca.
“Kak, aku duluan.” Vie berlari sekencang mungkin meninggalkan lapangan futsal. Menyisakan Willy yang menatapnya dari kejauhan.
"Padahal aku tadi ngode buat bicarain di markas aja, eh tapi dia malah ngegas." Willy menggeleng pelan seraya memasang kembali earphone-nya ke telinga.
° ° °
Vie menyandarkan tubuh di belakang pintu bilik toilet. Satu tempat yang terlintas di benaknya saat itu hanyalah toilet. Dadanya naik turun karena napas yang masih tersengal.
“Gi ... gilak! Itu mulut manis banget,” ujarnya dengan mata yang dipejamkan, mengingat perkataan beberapa siswi di lapangan.
“Lagian kak Willy sih! Kenapa juga nggak ngechat aku, katanya akan avalaible dua puluh empat jam! Kalo ginikan aku nggak tahu gimana cara buat deketin Pangeran Ong hari ini.” Vie mengacak rambut frustasi.
“Nggak! Aku nggak mau.”
Vie berusaha diam agar tidak menimbulkan suara, ia menempelkan telinga ke pintu. Berusaha menangkap dengan baik suara ricuh di depan biliknya.
“Itu udah kelewatan, Kak! Stop it! Aku nggak mau terlibat lagi.”
Brak!
Kotak sampah di sudut dekat wastafel terdengar nyaring seperti habis ditendang.
“Jangan bodoh lo! Sudah sejauh ini dan lo mau nyerah? Dan kalau sampai ketahuan, gue pastiin lo yang bakal jadi tersangka!”
“Tapi kak, Dyni-"
Hachim!
Benar-benar! Sialnya hidung Vie mendadak digeletik, membuatnya spontan bersin. Merasa ada seseorang yang akan menjadi ancaman, suara-suara gaduh anak perempuan itu pun berangsur menghilang diiringi dengan gebrakan pada pintu toilet di sebelah bilik Vie. Vie mendengar kata-kata terakhir yang nyaris seperti bisikan maut dari seorang cewek yang Vie duga adalah tokoh antagonisnya. “Gue ketahuan, lo yang bakal berakhir.”
Setelah memastikan keadaan di luar cukup aman, Vie membuka biliknya dengan hati-hati. Perlahan kepalanya lebih dulu menyembul ke luar. Bukan tidak kaget, Vie terbelalak bahkan nyaris terjengkang ke belakang. Saat irisnya menemukan seseorang tengah menunduk dengan rambut panjangnya yang menjuntai nan berantakan terpantul di cermin wastafel. Ia mendongak, dari pantulan cermin Vie dapat melihatnya.
Gadis dengan ujung mata yang berarair dan sedikit merah, wajahnya pun sedikit sembab. Ia belum menyadari kehadiran Vie yang melihat pantulan dirinya dan berdiri membisu di belakangnya. Setelah membasuh kasar wajahnya dengan air dan mengikat rambut, ia tersentak saat menyadari ada orang lain yang sedari tadi memperhatikannya.
“Vie?” tanyanya tanpa berbalik, melihat Vie dari dalam cermin.
Vie terkesiap. Ia gelabakan mencari alibi.
“Kamu daritadi si sana?” tanyanya lagi.
Bukannya menjawab, Vie malah balik bertanya. “Kamu sendiri ngapain di sini?”
Meresa akan terjadi masalah baru, gadis itu buru-buru berbalik dan bergegas keluar toilet.
“Amy! Tunggu,” teriak Vie saat Amy telah lebih dulu berlari meninggalkannya.
° ° °
Niat hati ingin mengejar Amy, Vie malah tidak sengaja melihat Leon yang tengah duduk di bawah batang pohon di pinggir lapangan basket. Tidak sendirian, ada Zayan yang berdiri tak jauh darinya. Leon terlihat mengibaskan almamater yang telah dilepasnya, menjadikannya kipas darurat karena gerah setelah ikut-ikutan Zayan bermain basket.
“Nih, bro!” Zayan melempar sebotol minuman isotonik kepada Leon. Dengan tangkas, Leon menangkapnya membuat Vie yang sedari tadi mengamati dibuat terpukau.
“Mantaps! Ketjeh maksimal!” jerit Vie dalam hati.
Vie menarik langkahnya cepat menghampiri Leon. “Hai, Leon!” sapa Vie berdiri di hadapan Leon.
“Kamu, yang waktu itu, kan?” Alih-alih Leon yang seharusnya menjawab, malah Zayan yang mengungkit masalah tumpahan minuman tempo hari.
“Iya, aku Vie. Salam kenal,” ujar Vie tanpa mengindahkan pandangannya ke Zayan.
“Udah kenal. Kamukan kembaran Dyni. Ya kali aku nggak tahu.” Zayan melemparkan pandangannya ke atas pohon, bertemu Vie membuat moodnya hancur.
Sambil bersidekap dada, dengan ketusnya Zayan angkat suara.
“Bro, aku cabut duluan ke kelas ya. Ya kali ngobrol sama makhluk nggak kasat mata.”
Tanpa menunggu jawaban Leon, Zayan telah melangkah menjauh meninggalkan keduanya.
Leon bangkit berdiri, pandangannya yang sedari tadi mengikuti Zayan kini beralih menatap Vie. “Sorry ya, aku balik ke kelas duluan.” Leon melangkah lebar meninggalkan Vie.
“Nggak salah. Dasar si Zayan nyebelin! Pasti bener kamu pelakunya.” Sambil berdecak pinggang, Vie mencecar cowok jangkung yang telah jauh dari tempatnya.
° ° °
•to be continued•
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top