Episode 11
"Fyuh!" Vie menyeka bulir-bulir keringat di dahinya. "Kayaknya percuma deh kak, dia nggak bakal bisa aku-"
"-kamu belum mencoba, Vie. Jangan mengeluh! Kalau begini, berarti kamu kalah sebelum pertandingan dimulai!" tukas Willy dengan cepat. Ia menatap tajam menembus manik amber Vie.
"Habisnya sih ...."
"Masih ada waktu empat puluh satu hari," ujar Willy mencoba memberikan semangat untuk cewek di hadapannya yang sekarang tampak lunglai.
"Heem." Vie hanya mengangguk.
° ° °
Vie memandangi sepanjang jalanan yang padat oleh kendaraan yang ikut beriringan dengan mobil Avanza silver yang ditumpanginya. Matanya menyelusup ke luar jendela. Lampu merah menyala di depan, membuat mobil yang tengah dikendarai oleh Dimas pun berhenti.
Bahkan saat matahari belum sepenuhnya naik ke tengah langit dan udara masih digenangi bulir-bulir air berkabut, para pencari nafkah sudah siap mengetok kaca-kaca jendela mobil yang tengah berhenti. Menyanyikan satu-dua bait lagu dengan suara khas dan ada juga yang berkekeling hanya sekadar menawarkan sarapan pagi murah meriah.
Vie mengalihkan pandangan ke depan, ia melihat Dyni yang tampak sibuk dengan buku di tangannya.
"Baca apa?" kata Vie yang tiba-tiba menyembul dari di tengah, antara Dyni dan Dimas, membuat keduanya terlonjak kaget.
"Vie!" Dyni menepuk Vie dengan bukunya. "Kaget tahu!"
"Abis serius banget, pagi-pagi gini udah mantengin buku aja," balas Vie sambil mengelus bahunya. "Aduh, sakit nih ...."
"Sorry nggak sengaja, refleks." Dyni kembali berfokus pada bukunya, membuat Vie mendengkus jengkel.
"Yah, nanti pulangnya, Ayah yang jemput, kan?" Vie menoleh ke kanan, ke arah Dimas.
Dimas menginjak pedal gas dan mulai melaju ketika lampu lalu lintas berubah hijau. Ia menatap lurus ke jalanan aspal di depan. "Iya."
"Beneran, Yah? Nanti kayak waktu itu lagi, tiba-tiba ada urusan mendadak," keluh Vie dengan air muka memelas.
"Ya namanya urusan kantor, Kak. Ayah nggak bisa angkat tangan gitu aja, tapi nanti akan Ayah usahakan buat jemput, ya?" Dimas menoleh sekilas pada kedua buah hatinya. "Kakak nggak belajar? Ayah lihat cuma adek yang daritadi mantengin buku."
Dyni menoleh, merasa dirinya terpanggil. "Oh, Vie? Dianya emang gitu, Dad! Belajar sesuka hatinya aja." Dyni mengadu, kini terlihat jelas bahwa kedua kembar cantik ini sangat manja terlebih dengan Ayah mereka.
Sepanjang jalan dihabiskan oleh ketiganya dengan mengobrol banyak hal. Mulai dari membahas hal-hal kecil di rumah yang biasa membuat Bunda (mom) harus mengelus dada, membahas seputar kebun bunga di halaman belakang rumah mereka yang mulai rimbun, sampai membahas kejadian telur atau ayam yang lebih dulu ada di bumi.
Sekitar tiga puluh menit di dalam besi berjalan, gerbang SHS telah menanti dengan gagah di depan mereka. Dyni lebih dulu keluar dari pintu depan setelah mencium Dad dan Vie menyusul kemudian dari pintu belakang. "Yah, beneran ya? Kalau bisa pokoknya harus jemput." rengek Vie sebelum melepaskan tangannya yang bergelayutan di lengan Dimas.
"Iyaa putri kecil Ayah." Dimas mengelus pucuk kepala Vie sebelum mencium keningnya.
"Oke, kakak berangkat ya, Yah. Daaa!" Vie keluar, melambaikan tangannya dan mulai berjalan menghampiri Dyni yang telah menunggu di tepi gerbang.
"Lama banget sih," gerutu Dyni yang melihat Vie masih melambai-lambaikan tangan.
° ° °
Waktu berjalan begitu cepat, seolah perputaran jarum yang berjalan di jam tampak hanya hiasan, tak berarti untuk pergantian detik yang terus bertambah.
Jum'at di SHS merupakan hari kesayangan oleh hampir semua warga SHS. Karena pada hari itu, SHS memulangkan siswanya lebih cepat dari hari-hari biasanya. Pukul satu, tanpa terkecuali.
"Dee!" teriak Vie menghampiri gadis yang seolah memperlihatkan dirinya di depan cermin. "Ayah tadi ngabarin kamu nggak? Gimana? Jadi jemput?"
Dyni menoleh, belum satu langkah dirinya melangkah keluar dari kelas beraroma lavender itu dan kini Vie malah bertanya seolah mengintograsi dirinya.
"Bentar." Dyni mengeluarkan ponsel dari saku almamaternya dan memperlihatkan layar yang telah menyala kepada Vie.
Vie menekuk wajahnya. "Ayah nggak bisa jemput lagi ...."
"Dad lelah, Vie. Kamu tahukan, Dad and Mom baru pulang kemarin." Dyni mengambil ponsel dan memasukkannya kembali ke dalam almamater.
"Yaudah, hayuk kita pulang." Vie menggait lengan Dyni dan melangkah, tapi Dyni membuatnya tertarik ke belakang karena diam di tempat
"Kenapa?" tanya Vie mengerutkan dahi.
"Aku belum bisa pulang, mau ke rumah Lisa."
"Ngapain?"
"Kerjain tugas kelompok."
"Yaudah, aku ikut."
"Enggak bisa, Vie." Dyni melirik ke teman-temannya yang tengah menunggu di ujung belokan. Vie mengernyit.
"Dyni! Ayo cepat! Nanti kita kesorean," teriak Salsa teman satu kelompoknya.
"Vie, jangan berpikir kamu mau ikut! Kami ini mau kerja kelompok, bukan mau party hura-hura! Mending kamu pulang aja, ya?" timpal yang lainnya lagi, Beni.
Dyni mengedikkan bahu. "See?"
Vie mendengkus. "Yaudah, aku pulang. Sampai jumpa di rumah."
Vie menyeret kakinya lunglai, seolah tengah membawa beban ribuan ton. "See? Kejam bangetkan kelas IPA satu." Vie bergidik ngeri.
° ° °
Meskipun berjalan santai, napas Vie tetap saja tersengal. Ia enggan lewat lift sehingga harus menuruni belasan anak tangga. Belum lagi harus berjalan puluhan meter untuk sampai ke gerbang sekolah dan parahnya lagi, Vie masih harus berjalan ke halte tunggu dengan payung biru di atasnya, yang berjarak sekitar lima puluh meter dari gerbang.
Ponsel Vie lowbat, sehingga nggak memungkinkan untuk memesan ojol. Vie memutuskan untuk menghadang taksi di tepi jalan.
Setelah menarik napas berulang kali dan mengaturnya, irama jantung Vie juga terdengar teratur. Sudah lima menit, namun belum ada taksi yang lewat. Vie bertanya-tanya, apakah hari ini ia juga harus berjalan sampai ke rumah?
Vie menepis kasar pikiran itu, ia nggak akan mau dan nggak akan sanggup. Sampai sebuah motor Vixion dengan seseorang yang mengenakan helm full face mendarat di depannya. Vie tahu siapa dia.
"Kak Willy?" Bahkan sebelum si pengendara membuka helm-nya, Vie sudah lebih dulu mengenali sosok berbalut hoodie biru.
Willy memutar—menggerakkan kepala, menunjuk Vie dan menunjuk jok di belakang dengan dagunya. Willy kembali mengulanginya.
Vie melipat kening. "Apa, Kak? Aku nggak ngerti."
Willy mendengkus. Ia membuka helm, "ayo naik, biar kuantar."
Mulut Vie membentuk huruf "O", ia ber-oh panjang. "Eh, apa?" Vie memastikan bahwa telinganya tak salah dengar.
"Naik. Aku antar pulang."
Vie mengibaskan tangan ke udara. "Enggak kak, nggak usah. Terima kasih," katanya sambil membungkuk sopan.
Willy terkekeh. Ia turun dari motor dan melangkah mendekati Vie. "Ayo," katanya menarik paksa pergelangan tangan Vie. "Aku maksa, loh."
Vie mematung di tempat, membuat Willy ikut berhenti. Ia menelan kasar salivanya. "Eng ... Enggak perlu repot-repot kak, aku ... Bisa naik taksi."
Willy menatap lekat gadis yang memucat di depannya. Sedetik kemudian tawanya pecah. "Kamu kenapa? Kok pucet gitu? Takut?"
"Eng, enggak!" tukas Vie cepat.
"Terus?"
Vie melirik kesani-sini. Ia bingung harus beralasan apa. Ya kali, bilang kalau dia takut Willy macam-macam. Meski dapat diakui Vie bahwa Willy adalah senior yang baik. Tapi, siapa yang bisa menjamin?
"Astaga Vie! Pikiran kamu aneh-aneh. Ya kali aku mau macem-macem. Aku cuma berniat baik mau anterin kamu pulang, jangan negatif thingking." Willy masih terus terkekeh.
Sebenarnya bukan hal itu saja yang dikhawatirkan Vie, bagaimana jika ada orang yang melihat mereka? Secara, Willy kan ...
"Yaudah, mungkin tampang aku kayak penculik anak, ya? Tapi terserah deh, aku tetep maksa mau anterin kamu pulang. Hayuk!" Willy menggandeng Vie menuju Vixion-nya yang terparkir di ujung jalan.
Tanpa mereka sadari, ada belasan pasang mata yang sedari tadi sibuk mengamati dan sepasang mata yang benar-benar mengisyaratkan tatapan yang tak dapat dijabarkan.
Air mineral di tangannya, diremuk begitu saja hingga membuat botol plastik itu tak berbentuk.
° ° °
•to be continued•
With love,
akuhujan_
The author in the shadow.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top