Episode 5

"Memang tadi siapa yang kamu pandangi?" Fani bertanya sembari melirik Aiko yang tengah mencari informasi di internet.

"Entahlah," balas Aiko. "Aku hanya terkejut saja ada siswa Magical Academy di sini."

Fani memutar bola mata, lalu memandangi jalanan yang tengah ramai.

Tak lama bus pun datang. Berhenti tepat di depan halte bus. Pintu terbuka secara otomatis. Seluruh penumpang yang menunggu di halte mulai melangkah memasuki bus. Ada pula yang turun dari bus.

Aiko dan Fani mengambil tempat duduk paling belakang. Tidak terlalu banyak bicara, mereka akhir-akhir ini. Fani hanya ingin bertanya tentang masalah Aiko. Namun, dia enggan itu melakukannya. Fani hanya bisa menghela napas dengan putus asa.

Aiko terdiam memandangi pemandangan yang ada di balik kaca kaca jendela bus. Air muka yang ditunjukkan pun juga tak seceria sebelum-sebelumnya. Diam mungkin adalah pilihan terbaik untuknya saat ini.

Pasca pertempuran bulan lalu, terkadang membuat Aiko sedikit trauma. Benar berbeda dari mimpi buruknya tentang petir. Seseorang dibunuh di depan mata Aiko. Namun, dia saat itu hanya terlihat syok dan tidak bisa menyelamatkannya. Raungan teriakan itu masih terngiang di kepala Aiko.

"Hentikan!" lirih Aiko.

Fani melirik Aiko. "Aiko, kamu baik-baik saja?" tanya Fani khawatir.

"Hentikan!"

"Aiko?"

"Hentikan!" geram Aiko.

Seluruh penumpang dalam bus menyorot Aiko yang tiba-tiba saja mengeluarkan petir. Para penumpang pun ketakutan setengah mati ketika ada esper dalam bus.

Percikan petirnya juga bermunculan tak terkendali, hingga seluruh penumpang dalam bus itu ketakutan.

Seluruh kenangan buruk tersebut menghantui pikiran Aiko. Rasa bersalah itu kembali muncul. Percikan petir yang semula kecil, kini kian membesar. Fani pun mulai menjauh dari Aiko untuk menghindari sengatan listik.

"Seluruh penumpang harap tenang!" pinta Fani. "Aiko, tenanglah! Semua baik-baik saja."

Aiko bangkit dari tempat duduk. Tangannya mulai dijulurkan serta telapak tangan terbuka lebar. "Diamlah!"

"Yang benar saja," ujar Fani, "Semua harap tiarap!"

Aiko mulai memancarkan listrik dan menembakkan ke arah Fani. Dengan cepat, Fani pun meneleportasi diri tepat di belakang Aiko.

"Aiko dengarkan! Aku ini temanmu, apa kau lupa?"

"Hentikan!" Aiko menyambarkan petir pada Fani.

Fani meneleportasi diri. Dia berusaha mencari celah untuk membawa Aiko keluar dari bus. Namun, sekujur tubuhnya dipenuhi oleh aliran listrik dengan volt yang cukup tinggi. Tiba-tiba saja, Aiko menembakkan petir ke berbagai arah.

Bus itu kehilangan kendali. Fani kembali memandangi seluruh penumpang yang dapat diselamatkan. Hanya ada tujuh ditambah sopir bus. Tanpa berpikir panjang Fani pun bergegas meneleportasi penumpang yang ada dengan membawa dua orang masing-masing. Dia lakukan berulang kali, hingga akhirnya terakhir adalah sopir bus. Bus menabrak sebuah ruko yang berada di pinggir jalan.

Fani yang sudah meneleportasi sopir keluar dari bus pun berlari ke arah bus yang menabrak itu. Dia khawatir dengan kondisi Aiko.

Namun, rasa khawatir tersebut harus hilang. Percikan petir Aiko kian membesar. Terjadi ledakan, hingga membuat Fani terpental.

Aiko perlahan melangkah keluar dari bus. Sekujur tubuhnya dipenuhi oleh aliran listrik.

"Kurasa ini akan jadi hari yang berat," gerutu Fani.

Fani berusaha bangkit. "Aiko! Hei dengarkan!" seru Fani.

Aiko menyambarkan petir pada Fani sekali lagi. Namun, tiba-tiba saja ....

"Dimisit Protegat!" rapal seseorang. Sebuah lingkaran sihir terbentuk tepat di depan Fani.

"Siapa lagi sekarang?" Fani menoleh ke arah lain dengan jengkel.

Seseorang gadis terlihat tengah berdiri dan menjulurkan tangannya. Mengenakan blazer biru tua dan rok berwarna abu-abu dengan motif kotak-kotak. Matanya berwarna biru serta rambutnya pendek hingga menyentuh bahu yang berwarna hitam. Sosok itu, Misaki Citra berusaha mengendalikan suasana.

"Hei, lawanmu ada di sini!" seru Misaki.

Aiko menoleh ke arah Misaki. Dia mulai menyambarkan petir pada Misaki.

Misaki merapalkan mantranya, "Dimisit Protegat!" Lingkaran sihir berwarna putih terbentuk di hadapan Misaki. Listrik-listrik itu menghantam lingkaran sihir itu hingga keduanya menghilang.

Misaki berlari ke arah Aiko dengan cepat. Petir Aiko mulai menyambar pada Misaki. Namun, Misaki cepat menghindar dari petir yang disambarkan oleh Aiko. Ketika sudah mendekat, Aiko mulai menyambarkan listriknya sekali lagi.

"Dimisit Protegat!" rapal Misaki sembari menjulurkan kedua tangannya.

Kedua kekuatan itu saling menabrak satu sama lain. Misaki berusaha menahan lingkaran sihir yang menjadi pelindung tersebut. Kekuatan Aiko benar-benar di luar kendali. Bahkan Misaki sendiri tengah berusaha menahan hingga mengeluarkan seluruh kekuatan dari tubuhnya.

Misaki berusaha memandang sekitar untuk mencari celah. Petir-petir itu tidak menyebar terlalu melebar jika Aiko melakukan serangan jarak dekat. Misaki menunggu tempo yang tepat untuk menghindar. Ketika kekuatannya sudah mulai melemah, Misaki kemudian melompat dan berguling ke sisi lain.

"Dimisit in aquam!" Misaki merapalkan dengan amat cepat sembari menjulurkan tangan dan membuka lebar telapaknya.

Lingkaran sihir berwarna biru terbentuk di depan telapak tangan Misaki. Lalu, sebuah air yang deras menyembur, menghantam Aiko hingga terbawa arus.

Air itu amat deras. Semua telah berakhir ketika air itu surut perlahan. Kekacauan saat dirinya baru saja tiba di Surabaya. Misaki menatap Aiko yang tersungkur di aspal tidak sadarkan diri.

"Aiko!" seru Fani sembari mengampiri Aiko yang tidak sadarkan diri.

Misaki hanya memandang mereka. Dia tidak akan mengganggu urusan mereka. Sesekali dia bernapas lega, lalu membalikkan badan. Dia tidak ingin terlibat lebih jauh lagi karena ini sudah di luar tujuannya. Misaki perlahan mulai mengangkat kakinya dan meninggalkan tempat itu.

Fani berusaha menyadarkan Aiko.

"Aiko?"

Kemudian, Fani teringat suatu hal, dia pun mulai memandangi sekitar. Gadis tadi sudah menghilang.

"Sialan!" geram Fani.

***

Pemandangan yang tidak biasa, Aiko tersungkur di atas aspal. Langit berawan pekat. Sesekali petir menyambar. Kondisi yang pernah diketahui oleh Aiko. Mobil-mobil terbalik serat para masyarakat berlarian ke sana-kemari.

Sosok gadis dengan rambut pendek yang mirip dengannya terbaring tak berdaya jauh dari Aiko. Mengenakan seragam pelaut dengan motif hitam dan putih. Aiko berusaha meraih gadis yang membutuhkan pertolongan itu.

Namun, dirinya tak mampu untuk bangkit. Seseorang entah dari mana datang mengampiri gadis itu. Tiba-tiba saja dia mulai menyambarkan listik pada gadis tak berdaya itu.

***

Aiko terbangun dari tidurnya sembari berteriak. Fani yang berada di samping Aiko terkejut hingga ponsel yang dia pegang lepas dari cengkraman.

Napas Aiko tersengal-sengal begitu juga detak jantung yang tidak stabil. Itu kenangan yang cukup buruk. Wajahnya dipenuhi oleh keringat.

"Apa yang terjadi?" tanya Aiko terengah-engah.

"Kamu pingsan, karena dihajar oleh penyihir."

Aiko memandangi sekitar. Tempat yang tidak asing. Terdapat sebuah kursi sofa dan sebuah pintu. Lalu, tv yang besar pun juga terpampang. Semua dinding berwarna serba putih. Aiko tahu tempat apa ini. Sebuah penjara yang dikhususkan oleh para esper yang berbahaya.

"Aku di ATE bukan?" tanya Aiko untuk memastikan.

"Itu benar."

"Itu lebih baik dari pada membiarkanku keluar dari sini," ujar Aiko.

"Tunggu!" tahan Fani. "Apa maksudmu?"

Aiko mengalihkan selimut yang menutupi kaki-kakinya. Dia mengubah posisi duduknya. Kaki yang telanjang itu menyentuh lantai-lantai yang lembut.

"Aku sangat berbahaya di luar sana," kata Aiko dengan serius.

Fani tidak percaya apa yang baru saja diucapkan oleh Aiko. Tidak seperti biasanya Aiko yang selalu ceria, kali ini dia benar-benar terpuruk. Aura kebahagiaan yang ada pada Aiko seolah menghilang begitu saja.

"Kamu bercanda, 'kan?"

Aiko menggeleng. "Maaf yang kulakukan padamu benar-benar buruk. Aku wajar saja mendapat hukuman yang setimpal atas kerusakan di luar sana."

"Tunggu, kita tidak sedang berbicara mengenai kerusakan fasilitas kota, itu semua sudah dibereskan. Sekarang, aku hanya ingin kau bercerita satu hal padaku. Apakah kau bisa menceritkannya?" tanya Fani.

Aiko terdiam sembari menunduk.

"Kamu tidak bisa menceritakannya?"

"Maaf, Fani ini masalahku, aku hanya membutuhkan waktu untuk bisa menceritakan semuanya padamu."

"Baiklah." Fani bangkit dari tempat duduknya. "Sekarang kamu pulang terlebih dahulu, ada hal yang harus aku lakukan di sini."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top