Episode 2

Salah seorang gadis mengenakan seragam putih dan rok merah menarik temannya ke sebuah taman yang berada di belakang sekolah. Gadis satunya berambut panjang sedangkan yang satunya lagi berambut pendek.

Sekolah Dasar saat itu tengah pada jam istirahat.

"Ayo, Aiko kita makan di taman belakang!"

Aiko yang berambut pendek itu hanya menuruti apa yang dikatakan temannya. Dia tidak banyak bicara. Meski begitu, tarikan dari temannya yang bernama Fani itu sangat erat hingga Aiko tak mampu melepaskannya.

Mereka berdua tiba di taman belakang yang begitu indah. Tumbuhan-tumbuhan dan bunga-bunga berjajar dengan rapih. Berwarna warni menghiasi lahan yang sebelumnya gersang. Harum bunga-bunga itu harum dan membuat mereka merasa lebih lega.

Kupu-kupu hinggap di salah satu tangkai bunga. Serangga lainnya pun juga ikut membaur dan menebarkan berbagai serbuk sari. Aiko dan Fani melangkah pada tempat duduk yang berada di tengah taman. Jarang sekali orang-orang yang berada di sekolah tersebut mengunjungi taman yang indah. Sesekali tukang kebun datang untuk menyiram tumbuhan-tumbuhan.

Mereka berdua duduk sembari membuka bekal yang mereka bawa. Berisikan nasi dan lauk kesukaan mereka. Telur gulung dan sosis, juga sayuran selada. Mereka mulai melahapnya seraya bersamaan. Ketika makanan itu memasuki mulut, mata mereka berbinar-binar. Bekal yang dibuat oleh Mama Aiko selalu enak.

"Aiko, Mamamu pintar masak ya, aku sedikit iri."

"Terima kasih, kapan-kapan aku bisa mencoba masakan Mamamu."

Mata Fani terbelalak mendengar ucapan Aiko. Seketika dia menunduk. Hatinya terasa sangat sesak. Raut wajahnya pun berubah menjadi sedih seketika.

Aiko pun melirik pada Fani yang tengah bersedih itu. Matanya berkaca-kaca berusaha menahan air mata yang akan meluap.

"Fani, kamu baik-baik saja kan?" tanya Aiko pelan.

Fani pun tersadar dan menaikkan pandangan. Perlahan dia menoleh pada Aiko yang duduk di sampingnya.

"Aku baik-baik saja." Fani menyunggingkan bibir, namun air matanya perlahan mulai menetes membasahi.

"Kalau kamu menangis itu tidak sedang baik-baik saja." Aiko menghela napas dan memegang tangan Fani.

"Aiko, mungkin kamu tidak akan bisa mencoba masakan Mamaku. Karena aku tidak memiliki Mama."

"Maaf," ucap Aiko penuh penyesalan.

"Tidak masalah kok."

Aiko pun melebarkan kedua tangannya.

"Aiko, apa yang kamu lakukan?"

"Peluklah aku!" pinta Aiko.

Fani pun tertawa kecil menatap kelakuan Aiko yang lucu itu. Namun, Aiko sedikit kebingungan dengan Fani yang tertawa itu. Dengan cepat Fani pun mengampiri Aiko. Lalu, Aiko mengunci kedua tangannya.

"Tenang saja, semua baik-baik saja kok."

***

Itulah yang teringat di benak Fani beberapa tahun yang lalu saat dirinya melangkah sendirian. Dia menaiki tangga yang ramai dengan siswa-siswa lainnya.

Burung-burung bertebangan bersamaan di luar sana. Fani pun menghentikan langkahnya dan memandangi pemandangan yang berada di luar jendela. Tidak ada semangat yang muncul padanya semenjak Aiko bertingkah berbeda. Semangat itu sirna begitu saja.

Lagi pula Aiko juga sering menutup diri akhir-akhir ini. Fani juga tak tahu apa yang tengah terjadi padanya. Fani menghelakan napas dan melanjutkan langkahnya menuju kelas. Dia juga berharap tidak akan ada penyerangan esper sore ini.

***

Magical Academy

Kota Miracle, Kerajaan Inggris

Angin bertiup dengan perlahan mengibaskan rambut sejoli siswa yang tengah menikmati masa muda dengan bercinta di taman belakang. Misaki menyendenkan kepala di pundak seorang siswa laki-laki dengan rambut yang sedikit berantakan. Mereka berdua memejamkan mata sembari mendengarkan alunan musik Yorushika yang begitu indah.

Musim gugur yang cukup segar hingga mereka berdua bisa menikmati tidur siang yang begitu damai.

Zane perlahan membuka matanya. Melihat sekitar begitu sepi dan tenang. Suara burung pun turut bersiul di atas pohon tepat di belakang mereka. Perlahan, dia menoleh pada Misaki yang tertidur pulas. Zane hanya menunjukkan wajah senyumnya pada Misaki.

Tak lama, Misaki pun mulai membuka matanya perlahan. Kantuk yang luar biasa yang belum ia rasakan. Tidak seperti pada hari-hari biasanya. Dia terlihat memiliki banyak beban di wajahnya.

"Sudah berapa lama aku tertidur?" tanya Misaki sembari menahan kantuknya.

"Dua jam," balas Zane sembari menunjukkan senyumnya.

Misaki perlahan mulai mengangkat kepalanya. Dia menguap dengan lebar sembari merenggangkan tubuh.

"Kurasa aku harus bolos pelajaran hari ini."

"Tenang saja, hari ini semua pelajaran diliburkan. Ada rapat guru mengenai keamanan Kota Miracle."

Misaki melirik pada Zane. "Memang ada apa?" tanya Misaki.

"Entahlah, mungkin organisasi sialan itu beraksi lagi."

"Iya, mereka benar-benar harus dihentikan."

Misaki beranjak dari kursi taman sembari merenggangkan kembali tubuh-tubuhnya yang kaku. Angin sekali lagi bertiup hingga mengibaskan rambut pendek Misaki yang mulai memanjang.

"Jadi, apa yang membuatmu tidur begitu pulas?"

"Aku kelihatannya terlalu memaksakan diri. Entahlah, tapi aku mendapat sebuah pesan."

"Pesan semacam apa?"

"Senjata suci, surat itu ditemukan di kamarku."

"Lalu, apa hubungannya dengan dirimu yang mengantuk?"

Misaki mengangkat kedua bahu. "Aku tidak tahu, tetapi surat itu kelihatannya ditujukan untukku. Aku tidak tahu siapa yang menulisnya. Ada seseorang yang membutuhkan pertolonganku."

"Kamu yakin?"

Misaki merogoh saku blazer-nya, lalu memberikan secarik kertas pada Zane. Zane menerimanya dan membaca isi surat itu.

"Kelihatannya, ini sungguhan, Miss Melly tahu ini?"

Misaki mengangguk pelan. "Dia sedang memeriksa tulisan siapa itu."

"Itu memang surat permintaan tolong." Mai melangkah menuju mereka sembari membawa sebuah kertas. "Aku telah meneliti hal ini bersama Miss. Melly dengan menggunakan mesih pendeteksi kejujuran tulisan."

"Kukira itu hanyalah mesin fiksi."

Mai menggeleng. "Juga, Miss Melly memberimu pilihan dan kamu sendiri yang harus memilihnya."

Misaki tahu apa pilihan yang di maksud oleh Melly. Misaki memejamkan mata sekali lagi. Apakah kini saatnya untuk menyelamatkan dunia sekali lagi? Misaki mulai menghelakan napas. Jawaban yang ditentukannya sudah berada di kepalanya.

"Aku ikut."

"Pilihan yang bagus, Misaki. Miss Melly akan menambahkan nilaimu."

***

Misaki mulai berkemas. Dia mengeluarkan tas koper yang terletak di bawah kasur. Ini akan jadi perjalanan yang sangat panjang. Mencari senjata suci kemungkinan perlu memakan waktu dua minggu. Setidaknya, mereka sudah mendapatkan tiket ke Indonesia.

"Mai, maaf ya aku harus mengajakmu," sesal Misaki sembari menata pakaian.

"Tidak masalah, ini juga pertama kalinya aku ke kota kelahiranmu."

Misaki terkekeh mendengar jawaban dari Mai.

Keesokan harinya, di pagi buta yang begitu dingin, Misaki dan Mai tiba di Bandara Internasional Heatrow, London. Mereka berdua di antar oleh Miss Melly dan juga Zane.

"Misaki, jangan bertingkah ceroboh. Kali ini tidak ada yang menolongmu," pesan Melly.

"Tenang saja, aku sudah bisa menggunakan sihir." Misaki percaya diri mengatakan hal tersebut.

Melly menganggukan kepala, paham dengan maksud Misaki. "Jangan lupa! Sampaikan salamku pada kedua orang tuamu."

"Baiklah."

"Hei, Misaki aku mencintaimu," ungkap Zane.

"Aku pun juga," kekeh Misaki.

Misaki dan Mai pun menderek koper mereka masing-masing. Melly hanya tersenyum memandangi mereka.

"Oh ya, Zane mengapa kau tidak ikut?" tanya Melly.

"Aku ada sebuah proyek sihir besok harus dipresentasikan di pusat kota."

***

Bandara di pagi hari pun juga tampak begitu ramai. Perjalanan pagi yang akan menyenangkan. Setidaknya mereka bisa sampai di sana besok pagi. Mereka menunggu di ruang tunggu. Pesawat yang akan mereka naiki tengah dipersiapkan. Pengunjung pun juga turut meramaikan bandara yang cukup besar.

"Menurutmu kita harus ke mana terlebih dahulu saat sudah tiba di sana?" Mai bertanya sembari melahap roti yang baru saja dia beli.

"Entah, di Surabaya tidak terlalu banyak museum, jadi kita bisa lebih mudah mencarinya."

Mai hanya mengunyah sembari memandangi sekeliling yang begitu ramai pengunjung. "Mungkin ini bisa menjadi karya wisata," gumam Mai.

Misaki merogoh sakunya untuk mengambil gantungan kunci. Dia pun memandangi dengan raut wajah yang penuh dengan kesedihan. Masalah yang dihadapi juga membuat Misaki enggan untuk pulang. Namun, dia juga berpikir kalau menghindar juga malah membuatnya tidak bisa jenak.

Mai melirik Misaki yang merenung dalam kesedihannya.

"Kamu baik-baik saja?"

Misaki mengangguk pelan.

"Bagaimana kabar temanmu itu?" tanya Mai dengan pelan.

"Entahlah, kami bertengkar beberapa bulan yang lalu," balas Misaki sembari memasukan gantungan kunci yang berbentuk hati itu dalam saku blazer-nya.

"Jadi, itu yang membuatmu kembali lebih cepat ke Kota Miracle?"

"Iya, mungkin itu juga salahku, aku juga berharap bisa bertemu dengan Akiko dan meminta maaf padanya."

"Sahabat kalau sering bertengkar itu hal yang lumrah. Aku pun juga begitu saat di Jepang. Sering bertengkar dengan sahabatku yang berada di bawah tingkatku," tutur Mai sembari meremukkan plastik roti yang dia bawa.

Misaki bersandar sembari melipat kedua tangan. Kepalanya tertunduk memandangi lantai yang begitu bersih.

Kuharap, masih sempat.

Pengumuman pun diberitahukan untuk seluruh penumpang dengan rute penerbangan ke Indonesia. Misaki dan Mai pun beranjak dari tempat duduk mereka. Antrian pun mulai terbentuk di depan pintu masuk garbarata.

Misaki dan Mai mendapatkan tempat duduk di dekat jendela. Mai begitu bangga duduk di dekat jendela. Sayap pesawat terbentang memanjang dengan dua baling-baling.

"Biar kutebak ini pasti Boeing 747," ucap Mai.

"Kau memang pandai menghafal tipe pesawat ya," balas Misaki sembari melirik Mai yang mengambil buku panduan.

"Iya, karena aku ingin sekali menaiki B747."

Sang pilot yang berada di ruang kemudi pun sudah meminta ijin pada control tower. Pesawat pun mulai melakukan push back dengan bantuan mobil push back yang beroperasi di bawah sana. Perlahan pesawat itu mulai berjalan perlahan menuju landasan.

Setibanya di landasan, pilot pun mendorong throttle. Pesawat pun berjalan lebih kencang dan mulai lepas landas. Ban-ban pesawat mulai di masukkan. Perjalanan yang akan memakan waktu sehari semalam itu sudah dimulai.  

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top