Bab 8
Karya
ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Pencipta @Benitobonita
Rambun Pamenang tiba-tiba menyorongkan tongkat bambunya ke arah Aidan. "Untuk siko, anggap hadiah perpisahan dari ambo."
"Eh, ta-tapi …." Aidan tergagap. Dia ragu menerima pemberian dari Rambun. "Itu tongkat sakti, 'kan."
"Siko pasti membutuhkannya, naga penunggu Danau Kembar bukan naga yang baik," ucap Rambun sambil kembali mengangsurkan senjata miliknya.
"Ambil," perintah Aura. "Akan ada saatnya aku tidak bisa menjagamu."
"Aku tidak butuh dijaga," balas Aidan tersinggung. Namun, Aura hanya memutar mata, lalu berjalan menjauh.
Aida akhirnya mengambil tongkat itu sambil berkata, "Terima kasih."
Rambun Pamenang tersenyum. Dia menoleh ke arah dua petugas keamanan yang masih tidak bergerak. "Mungkin siko perlu obati mereka."
"Mereka hanya pingsan," balas Aura dengan nada malas. Gadis itu mengamati kerusakan bagian dalam Jam Gadang dengan saksama. "Pochi, apa kamu bisa memperbaikinya?"
"Aku bukan Pochi dan aku bukan tukang jam!" bentak Aidan dengan penuh penghayatan. "Aidan! Namaku Aidan!"
Suara sirine polisi terdengar sayup-sayup dari bawah. Wajah Aidan pucat seketika. "Kita harus pergi sekarang!"
Aura dan Rambun melesat turun. Mereka nyaris melompati tangga yang ada tanpa kesulitan. Namun, berbeda dengan Aidan yang harus menapak turun undakan satu per satu.
Lututnya sakit!
"Pochi! Aku akan menghalau para manusia! Kamu segera pergi ketika ada kesempatan!"
Teriakan Aura membuat Aidan mempercepat langkahnya dan berhenti di lantai satu. Remaja itu bersembunyi, saat suara para polisi yang mengejar Aura dan Rimbun terdengar gaduh di bawah.
Sekitar sepuluh menit berlalu, Aidan tidak lagi mendengar apa-apa dari lantai dasar. Dia segera mengambil kesempatan untuk turun dan berlari keluar dari Jam Gadang.
Kondisi halaman sepi. Kerumunan manusia yang sebelumnya terpaku dengan keanehan yang terjadi di Jam Gadang hilang tanpa jejak.
Alis Aidan bertaut, keheranan. Namun, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk segera menjauh dari tempat itu.
Banyak pertokoan yang dilewati Aidan. Rasa lapar mulai membuat perutnya berbunyi nyaring. Remaja itu melihat sebuah rumah makan Padang dan memutuskan untuk masuk.
*****
Dua piring nasi, tiga ayam pop, dua telur bulat, berhasil mengisi perut Aidan sebelum sebuah pukulan mendarat ke kepalanya. "Aduh!"
"Terlalu! Aku sibuk mengusir para manusia itu dan kamu malah makan?!" Suara Aura terdengar buas.
Aidan menengok sambil memegang bagian belakang kepalanya. "Kamu kenapa kasar banget sih?!"
Pukulan lain dirasakan oleh bahu Aidan. "Kamu harusnya khawatir sama aku! Bukannya malah santai-santai!"
"Aku lapar," balas Aidan sambil melihat sekeliling. Rumah makan itu cukup ramai dan ulah Aura membuat mereka jadi tontonan. "Berhenti menarik perhatian …. Kita dilihatin jadinya."
Aura mendengkus dan menyebabkan tisu yang berada di atas meja bergerak menjauh. Dia duduk dengan membanting tubuhnya sambil memasang wajah masam.
Aidan tiba-tiba tidak dapat menahan senyum. Sikap Aura mengingatkan dia akan Nadia. Remaja itu menutupi mulutnya yang kini terkekeh.
"Kenapa malah ketawa?!" tanya Aura sambil melirik jengkel ke arah Aidan yang menyeringai.
"Enggak apa-apa. Kamu apa bisa makan? Aku yang bayar."
Aura memutar mata. "Please, deh, aku roh alam, masa ditawarin makanan Padang?"
Aidan tertawa kecil. Remaja itu memanggil pelayan untuk membayar, lalu meraih tongkatnya yang dia sandarkan sebelumnya pada dinding di sebelahnya.
"Ayo, kita pergi ke Danau Kembar."
Aura ikut berdiri, matanya menyiratkan kecurigaan. "Kenapa kamu mendadak antusias?"
Aidan menggenggam tongkat saktinya dengan lebih erat. "Rambun Pamenang mempercayai tongkat ini ke aku. Aku harus bisa membuatnya bangga."
Aura menaikkan salah satu alis. Namun, gadis itu tidak berkomentar lagi. "Ayok, berangkat."
Aidan tersenyum lebar. Mungkin dia memang membutuhkan petualangan untuk menaikkan rasa percaya dirinya.
"Kita naik taksi dan cari penginapan di dekat sana. Besok kita baru ke Danau Kembar," ucap Aidan sambil berjalan keluar rumah makan.
Aura hanya mengangguk kecil. Langit sudah menunjukkan sore hari. Aidan menghentikan sebuah taksi dan keduanya naik.
Perjalanan menuju Kabupaten Solok cukup lama. Mereka juga harus melewati Kota Padang terlebih dahulu.
Aidan berulang kali melihat telepon untuk memeriksa pesan. Satu-satunya petunjuk yang sempat masuk adalah Nadia ke Yogyakarta dan sepertinya pesan itu seharusnya sudah masuk sebelum dia naik ke pesawat untuk pergi ke Padang.
"Sinyal reseh!" umpat Aidan. Wangi melati tiba-tiba tercium pekat. Remaja itu menoleh ke samping hanya untuk mendapati wajah Aura yang sedang membaca isi pesan Nadia secara terang-terangan hampir menempel pada pundaknya.
Jantung Aidan serasa mau meledak ….
Aura mendongak dan membalas tatapan Aidan. Mereka saling berpandangan sebelum gadis itu mengerutkan kening.
"Kenapa lihat-lihat?"
Seketika sensasi terpesona yang sebelumnya Aidan rasakan buyar seketika. Dia sontak memasang wajah masam sambil memasukkan teleponnya ke dalam saku. "Jauhan sedikit, bau kamu enggak enak."
Sebuah getokan dihadiahkan Aura ke kepala Aidan hingga remaja itu mengaduh. "Berhenti mukul kepala! Nanti aku geger otak!"
"Dasar lemah," balas Aura sambil mendengkus dan seketika menghasilkan udara dingin di dalam taksi.
"Kok dingin, ya …," keluh supir taksi yang sedari tadi tidak berminat ikut perdebatan yang terjadi.
Aidan dan Aura tidak menjawab. Mereka hanya saling melotot sebelum buang muka dan melihat jendela masing-masing.
*****
Satu-satunya motivasi Aidan saat memesan hanya satu kamar di Green Hill Hotel Alanpanjang bukan karena dia laki-laki mesum yang ingin mengambil kesempatan untuk tidur berdua dengan cewek manis yang kini sudah memakai kaos ketat dan celana jins robek di bagian lutut.
Sama sekali bukan ….
Alasan Aidan hanyalah dia tidak mau membuang uangnya untuk membayar kamar hotel yang tidak dibutuhkan oleh cewek jadi-jadian yang bisa berubah menjadi angin sewaktu-waktu.
Aura telah menjadi tidak kasatmata sewaktu Aidan check in dan remaja itu mengira si cewek jadi-jadian akan terus dalam wujud aslinya selama di penginapan.
Oleh karena itu, dia merasa sangat keberatan ketika kamarnya yang hanya memiliki satu ranjang dikuasai oleh Aura seorang diri.
"Hei! Kamu minggir dong!" omel Aidan sambil berdiri di sisi ranjang. Dia baru saja selesai mandi dan sekarang ingin berbaring santai.
Aura yang sedang tidur tengkurap sambil membaca majalah yang entah dia dapatkan dari mana hanya mengerling sejenak sebelum kembali memusatkan perhatian pada artikel perawatan wajah.
Rasa kesal menggelegak dalam hati Aidan. Remaja itu menunggu hingga hitungan ke sepuluh sebelum menghantamkan bokongnya ke atas ranjang hingga Aura menjerit kecil akibat terkejut.
"Turun! Aku mau tidur!" perintah Aidan sambil menggeser tubuhnya sehingga Aura terpaksa menjauh atau kulit mereka akan bergesekan.
"Dasar Manusia Barbar! Apa kamu enggak tahu kalau cewek yang harus di atas ranjang dan cowok yang mengalah?!" Suara Aura terdengar sengit. Namun, gadis itu telah beringsut jauh hingga hampir jatuh dari tepi ranjang.
Aidan menulikan telinganya. Cewek menyebalkan kaya Aura harus diberi pelajaran.
"Aku harus tidur atau besok aku enggak kuat cari kristal."
Ucapan terakhir Aidan membuat Aura tidak membantah lagi. Dia memukul bahu remaja itu sebelum bangkit dari ranjang dan duduk di atas kursi.
Aidan tersenyum kecil. Tingkah Aura mengingatkannya akan Nadia. Remaja itu menghela napas panjang. Semoga saudarinya dalam kondisi baik-baik saja.
Rasa kantuk dan suara televisi seakan membuat Aidan. Dia akhirnya tertidur lelap.
Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^
Halo semua, setelah lama tidak menyapa, aku kembali lagi dan kini, aku mulai bisa sedikit menggambar. Gambar di atas adalah Aura, si cewek angin yang sering membuat Aidan kesal. Next time aku akan coba gambar Aidan, ya
Salam
Benitobonita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top