Bab 5

Karya

ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Pencipta @Benitobonita


Laki-laki itu berhenti memukuli wajah Aura. Dia menoleh ke arah Aidan dengan alis terangkat. "Siko kenal Ambo?"

"Ten-tentu saja kenal," jawab Aidan tergagap. Remaja itu melirik ke arah Aura yang babak belur dan hampir berubah sepenuhnya menjadi batu. "Tolong kembalikan dia jadi manusia lagi …."

"Tino ini galak, lebih cocok jadi batu," tolak si Pahit Lidah.

Aura menggeram dan wajahnya menunjukkan ekspresi marah. Gadis itu mungkin berusaha bergerak walau tentu saja gagal total.

Aidan menelan ludah. Remaja itu berjalan mendekat lambat sambil melirik sekitar. Dalam legenda kelemahan si Pahit Lidah ada di rumput yang bergetar tanpa tertiup angin.

Si Pahit Lidah mengamati tingkah Aidan dengan penasaran. Dia bahkan sudah tidak memedulikan Aura yang tidak membutuhkan waktu lama lagi akan sepenuhnya menjadi arca.

"Siko cari apa?"

Pertanyaan si Pahit Lidah membuat gerakan Aidan terhenti seketika. Remaja itu tersenyum jengah sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Enggak …, enggak cari apa-apa …."

Namun, si Pahit Lidah tidak percaya begitu saja. Dia memiringkan wajah untuk mengamati ekspresi palsu yang ditunjukkan oleh Aidan. "Ambo tidak suka pembohong …, siko cocok jadi ba-"

Hantaman keras yang entah dari mana asalnya membuat si Pahit Lidah terjungkal ke belakang. Aidan melihat ke arah Patung Aura seharusnya berada dan tidak menemukan tanda-tanda gadis itu.

"… makhluk mengesalkan …."

Suara Aura terdengar samar bersamaan angin yang menderu kencang ke arah si Pahit Lidah dan menyebabkan rambut hitam sebahunya melambai ke atas. Pria itu menutupi wajahnya dengan kedua lengan yang menyilang sambil berteriak terkejut.

Aidan tanpa sadar mendesah lega. Si Pahit Lidah tidak mungkin bisa mengubah sosok Aura yang tidak kasatmata menjadi batu. Remaja itu segera mengambil kesempatan untuk mengamati sekeliling lebih cermat.

Dasar pijakan di sekitar mereka telah tertutup semen dan aspal, tentu tidak mungkin ada rumput yang bisa tumbuh. Si Pahit Lidah sepertinya mulai berhasil bangkit berdiri. Kekuatan angin Aura hanya sanggup mendorong tubuh lawannya dan bukan mengangkatnya ke udara.

"Siluman! Berhenti meniup Ambo!" seru si Pahit Lidah yang tentu saja tidak dituruti oleh Aura.

Aura dengan sosok anginnya mulai menghajar si Pahit Lidah yang berusaha berkelit sambil mengaduh berulang kali, sedangkan Aidan terus merunduk untuk mencari sumber kelemahan lawan mereka.

Mata Aidan berbinar seketika saat dia melihat sebuah ilalang yang bergoyang liar yang tumbuh tidak wajar di dekat salah satu dinding pertokoan. Remaja itu segera berlari menuju rumput aneh itu saat dia mendengar si Pahit Lidah sedang mengutuk si angin agar berubah menjadi batu.

Napas Aidan tercekat ketika langit mendadak sedikit lebih gelap. Angin tidak mungkin bisa berubah menjadi batu, "kan?

Namun, Aidan tidak mau mengambil risiko. Dia  berjongkok dan menarik ilalang itu. Teriakan kesakitan sontak terdengar dari si Pahit Lidah.

"Hen-hentikan!"

Jantung Aidan berdebar lebih cepat. Tebakannya terbukti benar. Remaja itu memakai kedua tangan untuk mencoba menarik lepas sang ilalang.

Jeritan memekakkan membuat kuping Aidan berdenging saat dia terjatuh ke belakang dengan sehelai ilalang di dalam genggamannya.

Gelapnya langit perlahan memudar bersamaan dengan arca-arca di sekitar yang dengan kecepatan menakjubkan berubah menjadi manusia-manusia hidup.

Seekor anjing yang sebelumnya sedang menaikkan kaki belakang untuk buang air di dekat posisi Aidan, melanjutkan aksinya sehingga remaja itu langsung beringsut mundur.

Punggung Aidan tiba-tiba beradu dengan sesuatu. Remaja itu refleks menoleh dan menemukan Aura dalam wujud gadis menyeringai ke arahnya sambil berkata, "Kerja bagus, Pochi."

"Berhenti memanggilku Pochi!" teriak Aidan dengan penuh perasaan.

Tiba-tiba dering telepon terdengar jelas. Aidan segera merogoh kantong celana dan matanya berbinar seketika. Dia akhirnya mendapatkan sinyal telepon.!

Remaja itu dengan ceria segera membuka layar. Pesan sebelumnya telah dibaca Nadia. Namun, yang membuat kening Aidan berkerut ketika dia membaca balasan dari saudari kembarnya.

Nadia : Aidan, bagaimana kabarmu?

Aidan mematung sejenak saat membaca pesan yang tertulis di layar telepon. Remaja itu melirik sejenak ke arah Aura yang sedang mengawasinya dengan raut penasaran, lalu mengetik.

Aidan : Aku baik-baik saja, kamu sendiri tidak berubah jadi patung, 'kan?

Suara dering telepon dengan nama Nadia tertera di layar membuat Aidan tersenyum kecil. Saudarinya yang secerewet burung memang tidak sabaran untuk mengetik pesan.

Remaja itu menekan tombol terima dan berkata, "Halo?"

"WOI KAKAK GA GUNA!!! KE MANA SAJA KAMU DUA HARI INI?!"

Teriakan Nadia terdengar memekakkan telinga dan membuat Aidan segera menjauhkan ponsel dari kupingnya yang berdenging.

Nadia terus bicara tanpa henti dengan nada cempreng dan membuat Aidan tidak berani menempelkan daun telinganya pada ponsel. Bagaimana kalau gendang telinganya pecah dan dia jadi tuli?!

Hening beberapa saat, mungkin saudarinya sedang mengambil napas. Aidan segera mengambil kesempatan untuk bicara.

"Bukan aku yang matiin HP. Teleponku kehilangan sinyal."

"Jangan cari alasan!" sergah Nadia walau suaranya lebih lunak. "Kamu baik-baik aja? Terluka? Apa ada kejadian aneh yang terjadi?"

Mata Aidan melirik ke arah Aura yang kini secara terang-terangan menguping, lalu berkata pelan. "Ehm, aku baru berurusan dengan arca manusia ...."

"Hah?! Bagaimana bisa?!"

"Apa kamu ada kelas kesenian?"

Aidan menarik kerah kaosnya. Dia ragu menceritakan kepada Nadia tentang Aura ataupun perkelahiannya dengan si Pahit Lidah. Dia tidak mau disangka gila.

"HALOOOOO!!! Bumi kepada Aidan!!!" Seruan Nadia menggelegar dari speaker telepon dan membuat  Aidan terkejut. "Pulsa ga murah, Kakakku sayang!"

Remaja itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu menjawab, "Aku berkelahi dengan si Pahit Lidah ...."

"Hah? Pahit Lidah? Siapa sih yang pake nama seaneh itu?"

Aidan menghela napas. Dia lupa Nadia tidak suka membaca dongeng nusantara, tentu saudarinya tidak tahu tentang si Pahit Lidah. "Dia ... salah satu tokoh dongeng anak-anak ...."

Hening sejenak. Aidan menunggu dengan gugup reaksi dari Nadia. Bisa saja saudarinya melaporkan kewarasan dirinya ke orang tua mereka, lalu dia terpaksa menemui psikiater.

Namun, tiba-tiba Nadia bertanya dengan nada pelan. "Kamu juga?"

"Juga?" Alis Aidan bertaut kebingungan, lalu berbisik, "Kamu juga apa?"

"Juga bertemu makhluk legenda yang menjadi nyata," ucap Nadia sambil berdecak.

Aidan menarik napas cepat. Ternyata bukan di sekitar dia yang mengalami kejadian aneh. "Siapa?"

"Sangkuriang," balas Nadia, "dan Keong Mas. Sekarang aku harus menolong Sangkuriang bertemu dengan Dayang Sumbi dan membawa Keong Mas kembali ke Pangeran."

"Aku mendapat visi kalau kamu bakal dikejar raksasa karena kamu punya kristal," sambung Nadia dengan kecepatan kereta api ekspres. Sepertinya saudarinya dapat berbicara panjang tanpa butuh bernapas.

"Kristal?" tanya Aidan membeo. Dia berusaha mengingat hal yang penting.

Senggolan Aura membuat tubuh Aidan terdorong ke depan. Remaja itu bahkan terpaksa menjadi penyanggah tubuh si Gadis Angin yang kini menempelkan telinga pada teleponnya.

"Minggir sedikit dong," gerutu Aidan sambil menutup saluran bicara memakai tangannya sebelum dia berkata kepada Nadia dengan nada masam.

"Jadi, aku mendapatkan tugas dari Perempuan Angin untuk mencari kristal kemudian akan dikejar raksasa? Bagus sekali."

"Yah, begitulah. Selamat repot ya!" Tawa Nadia lepas dan membuat Aidan semakin jengkel. "Di visi yang kulihat, ada dua kristal, satunya jatuh di pulau Sumatera, satunya lagi di daerah Jawa Tengah. Aku melihat sebuah kota dengan menara jam di pusat kota.”

Hening seketika. Aidan mencoba menerka-nerka petunjuk dari saudarinya sebelum dia melompat berdiri dan menyebabkan Aura menyumpah akibat kepalanya terantuk keras.

"Menara jam dengan atap runcing? Kristal itu ada di London, Inggris?!"

"Aku belum punya paspor!" lanjut Aidan dengan tampang bingung. Dia tidak mungkin menjadi penumpang gelap di bagasi pesawat, 'kan?

“SUMATERA KAKAKKU SAYANG!” Teriakan Nadia yang suaranya semakin mirip piring pecah membuat Aidan mengenyit kesakitan.

“Kenapa bisa sampai London, sih? Menara jam itu berwarna putih dengan atap yang mencuat ke empat sisi.” Nadia terdiam sejenak dan membuat Aidan bernapas lega. Namun, suara cempreng saudarinya kembali terdengar. “Persis seperti dekorasi rumah makan Padang yang ayah suka datangi bersama kita.”

Mata Aidan berbinar seketika. “Ah! Padang! Benar! Aku ingat di sana ada menara jam di sana. Jam Gadang. Itu adalah jam yang memiliki mesin yang sama dengan Big Ben London!”

“Ya, ya, ya,” sela Nadia yang sepertinya tidak menghargai kecerdasan Aidan. “Sepertinya pembagian tugasnya jelas. Kamu cari Kristal di Padang dan aku cari di Jawa Tengah. Kayanya kristal-kristal ini penyebab keanehan ini. Pokoknya, jauh-jauh dari Raksasa, oke?!”

“Siapa yang mau mendekati raksasa,” omel Aidan. Dia sudah cukup direpotkan dengan kehadiran si Wanita Angin. "Lalu kamu ke Jawa Tengah pakai apa?"

Tidak ada jawaban.

Kening Aidan berkerut kebingungan. Remaja itu menempelkan telepon lebih erat dan kembali bertanya, "Nadia?"

Hening.

Aidan melihat layar ponsel dan menemukan sambungan mereka terputus. Remaja itu spontan ingin menekan tombol dial. Namun, suara berisik Nadia membuat dia membatalkan niatnya.

Mungkin Nadia keselek karena terus berteriak, pikir Aidan bijak.

Namun, tiba-tiba nada khas pesan masuk bersamaan layar menyala membuat Aidan segera membaca tulisan yang berada di layar.

Nadia :  Pastikan ponselmu tetap aktif, Kakak Gaptek.

Wajah Aidan masam seketika. Dia segera membalas pesan dengan sangat singkat. "Oke, Bawel."

Remaja itu menoleh ke arah Aura yang sedang mengamatinya dengan wajah cemberut, lalu berkata, "Kita ke Padang."

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top