Bab 17
Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Pencipta @Benitobonita
"Ka-kamu kenal ambo?" Mata pria sipit itu melebar akibat terkejut. "A-apa kamu juga tahu kalau ambo kehilangan emas?"
Aidan mengembuskan napas panjang. Dari legenda-legenda yang pernah dia baca, kisah Tan Bun An adalah salah satu kisah terngenes yang pernah dia tahu.
Sepasang calon pengantin itu tewas tenggelam bukan karena cinta terlarang ....
Bukan karena kutukan seseorang ....
Bukan juga karena karma buruk.
Pasangan yang kini menatapnya dengan sorot penasaran itu, terlebih calon pengantin laki-lakinya, adalah pria paling ceroboh yang pernah Aidan temui dalam kisah-kisah rakyat.
"Ya, saya tahu," balas Aidan pada akhirnya. "Bapak kesal karena Bapak pikir orang tua Bapak mengirimkan sayuran untuk mas kawin dan baru sadar kalau di bawah sayuran itu tersimpan banyak emas setelah Bapak membuang semua guci ke dalam sungai."
Raungan tangis Sita Fatimah pun sontak berkumandang, membuat jantung Aidan hampir melompat keluar. Remaja itu segera melihat ke kanan kiri, khawatir ditangkap oleh petugas keamanan karena telah membuat calon istri orang menangis.
"B-Bu, j-jangan keras-keras nangisnya," ucap Aidan tergagap sambil melirik cemas ke arah beberapa pengunjung yang melintas di kejauhan. "Bi-bisik-bisik aja nangisnya, Bu."
Sayang, saran tidak berbobot dari Aidan malah membuat raungan Siti Fatimah semakin menggelegar. Wanita itu mengembuskan ingus pada lengan bajunya, menyebabkan Aidan melangkah mundur beberapa kaki dengan ekspresi jijik.
Kenapa jorok sekali perempuan ini?
Aura yang sedari menonton sama sekali tidak membantu. Gadis yang tidak sensitif itu malah meniup permen karet hingga membentuk gelembung dan pecah beberapa sentimeter di dekat telinga kiri Aidan.
"Tu-tunggu! Kalau kamu tahu guci itu isinya emas, apa kamu ambil emasnya?!" Wajah Tan Bun An kini mengerut curiga. Pria itu menyipitkan mata hingga hampir tidak terlihat. Dia berjalan mendekati Aidan dengan gerakan mengancam. "Jujur! Apa kamu ambil emasnya?!"
"Loh, Pak! Jangan asal nuduh!" balas Aidan tidak terima. Tubuhnya lelah dan bau keringat. Dia lapar dan teman seperjalanannya sangat menyebalkan. Kini, remaja itu pun terancam mendapat julukan si Pencuri Emas. "Saya saja baru sampai! Memang kalau saya ambil emasnya saya simpan di mana?!"
Sayang, Tan Bun An tidak langsung percaya. Dia secara perlahan berjalan membentuk lingkaran, memutari tubuh Aidan untuk mengamati remaja itu dari berbagai sudut.
Tidak berapa lama, Tan Bun An pun mengembuskan napas panjang, seakan menyerah. "Kamu kurus kerempeng, tidak mungkin bisa mengangkat guci-guci itu."
Pria itu pun meninggalkan Aidan untuk kembali berdiri di sebelah calon istrinya yang masih sibuk menangis.
Makhluk-makhluk menyebalkan yang tidak sopan! Aidan menatap sebal pria yang tidak memiliki tata krama itu. Sayang Tan Bun An sama sekali tidak terlihat peduli. Dia malah kembali memasang ekspresi merana dan mungkin hendak ikut menangis bersama calon istrinya, membentuk koor ratapan, yang bisa membuat orang mengira tempat itu berhantu.
"Hei! Apa kalian tahu di mana Kristal Kembar?"
Pertanyaan Aura membuat pasangan itu kembali menoleh ke arah mereka. Aura memiringkan kepala untuk membalas tatapan kebingungan Tan Bun An sebelum kembali berkata sambil menunjuk ke arah Aidan. "Dia akan menyelam untuk mengambil tujuh guci kalau kalian tahu lokasi Kristal Kembar."
"Hah?!" Aidan refleks melotot terkejut. Selama ini dia hanya bisa berenang gaya katak dengan kecepatan setara anak SD kelas empat. Kalau dia diharusnya menyelam, tentu nasibnya akan sama seperti pasangan ceroboh itu. Tenggelam.
"Kami tidak punya banyak waktu. Kalian tahu atau tidak?" desak Aura tanpa memedulikan wajah Aidan yang kini seperti selembar kertas lecak.
Tan Bun An dan Siti Fatimah saling berpandangan sebelum pria sipit itu mengangguk secara perlahan. "Kami tahu."
"Di mana?" balas Aura cepat. Gadis itu sepertinya mulai bosan dan ingin segera beraksi.
Akan tetapi, Tan Bun An tidak langsung menjawab. Pria itu melirik ke arah Aidan yang kini terlihat gemetar dan berkata, "Ambil dulu ketujuh guci itu baru Ambo akan katakan lokasinya."
"Satu guci," tawar Aura sambil bertolak pinggang. "Setelah kami tahu di mana lokasinya, baru dia akan mengambil sisanya."
Sayang, Tan Bun An yang penuh perhitungan menggelengkan kepala, menolak tawaran Aura. "Emasnya banyak tercecer. Mungkin isi gucinya hanya tinggal sedikit. Enam guci."
"Dua."
"Lima."
"Ti—"
"Aura, sini dulu!" Tarikan pada lengan baju gadis itu membuat Aura berjalan mundur dan berhenti melakukan negosiasi.
Aidan segera berbalik badan, membelakangi pasangan yang menunggu itu sebelum berbisik ke arah gadis yang kini mendongak ke arahnya.
"Aku enggak bisa menyelam," bisik Aidan dengan jantung berdebar kencang. "Aku cuma bisa nahan napas satu menit di dalam kolam renang."
Aura memutar bola mata saat mendengar ucapan remaja itu. Dia menepis tubuh lawan bicaranya hingga Aidan terpaksa menepi lalu berseru nyaring. "Tiga guci atau Pochi enggak mau ngambilinnya!"
"Namaku Aidan!" bentak Aidan sambil mengentakkan tongkat panjang yang dia genggam.
Tan Bun An dan Siti Fatimah kembali saling bersitatap, entah bagaimana cara mereka berkomunikasi, tetapi tidak berapa lama pria itu mengangguk. "Tiga guci, lalu Pochi akan mengambil sisanya setelah kami beritahu di mana lokasi Kristal Kembar."
"Aidan!" koreksi Aidan dengan emosi membara. Muak! Dia benar-benar muak dengan para makhluk jadi-jadian ini.
"Baik, Pochi Aidan, kami tunggu di sini," balas Tan Bun An sambil memeluk Siti Fatimah dengan lebih erat. "Jangan lama-lama."
"Aidan! Cukup Aidan! Enggak usah pake Po— Hei! Berhenti tarik-tarik saya!" protes Aidan ketika tubuhnya tiba-tiba terseret karena Aura menarik kaos punggungnya.
"Ayo, Pochi. Kita harus bergegas." Sayang, Aura yang memang tidak pernah sensitif itu terus melangkah dan membuat Aidan dengan wajah masam mengikutinya.
*****
Hamparan sungai membentang di hadapan Aidan dan Aura. Remaja itu memincingkan mata untuk mengamati beberapa perahu yang membelah air.
Indah ....
Aidan tanpa sadar menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Dia menoleh ke arah Aura yang terlihat santai dan bertanya, "Terus sekarang bagaimana?"
Aura pun menoleh ke arah remaja itu dan menjawab, "Yah, kamu nyelam."
"Hah?! Kan, sudah saya bilang saya enggak bisa berenang!" tolak Aidan sambil berjalan mundur, menjauhi tepi sungai, khawatir didorong tiba-tiba oleh gadis menyebalkan itu. "Kamu aja! Kamu, kan, enggak mungkin mati tenggelam!"
Aura mendengkus. Dia membuang muka untuk mengamati sungai yang sangat luas itu dan berkata, "Tempat ini terlalu luas, kita harus berpencar. Kamu dari sini dan aku nanti cari di sisi lain."
Enak aja!
Bayangan mayat seorang remaja mengambang di Sungai Musi dengan perut kembung sontak terlintas dalam benak Aidan. "Saya enggak bisa nyelam! Kamu aja sendiri!"
Kening Aura pun mengerut sebal. Gadis itu mengamati sosok Aidan yang menyedihkan baik dari penampilan fisik hingga gaya berpakaiannya, sebelum mencibir. "Dasar payah."
"Hei! Tiga orang itu juga mati tenggelam, tauk! Kamu pengen aku juga ikutan mati?!"
Tunggu! Tiga orang?
Aidan sontak teringat akan satu orang lain yang ikut tenggelam dalam kisah legenda itu. Dia pun segera melihat ke berbagai sisi dengan waspada.
"Kamu ngapain?" tanya Aura sambil ikut memutar kepala, melihat sekeliling.
Tempat itu termasuk sepi. Wajar, sebab penghuni di sekitar Sungai Musi memang tidak terlalu banyak, menyebabkan keasrian daerah ini masih terjaga.
"Pengawal," ucap Aidan sambil melihat ke kejauhan. Mata remaja itu melebar saat mendapatkan apa yang dia cari dan segera berlari. "Pengawal Tan Bun An! Dia pasti tahu lokasi guci itu!"
Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang^^
24 April 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top