Bab 16

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Pencipta @Benitobonita

Ini .... Ini kenapa? Saya kenapa?"

Bibir tebal si supir taksi untuk sekian kalinya berucap sebelum tangan gempal pria itu mendadak bergerak sendiri ke setir mobil sambil berkata dengan nada manja. "Ini klakson, ya ...."

Suara klakson terdengar nyaring dan membuat sang supir berikut penumpang gelap yang sudah berada di kursi belakang hampir melompat dari kursi mereka. Pria gemuk itu pun kembali teriak-teriak ketakutan ketika kakinya secara otomatis menginjak gas sehingga mobil pun melaju terlalu kencang. "Tolong! Tolong! Saya kenapa ini?! Kenapa saya gerak sendiri?! Motor! Itu motor! Awas!"

Tangan gempal sang supir langsung memutar setir sebelum pria itu mendecakkan lidah dan mulai bernyanyi, mengikuti sebuah lagu yang disiarkan oleh saluran radio. "... bilang papamu enggak perlu urusin kau dan aku ...."

"Saya enggak suka lagunya. Saya .... Mereka pun pernah muda .... Berhenti! Tolong berhenti nyanyi! Awas kambing! Itu kambing!"

Aidan memposisikan tongkat panjangnya agar tidak terlalu mengganggu pengemudi kendaraan lain menoleh ke arah depan dan berkata dengan perasaan tidak enak. "Pak, maaf, ya. Nanti saya bayar kok."

Sayang, sang supir tidak mendengar. Pria itu sibuk dengan dirinya sendiri yang sesekali menangis dan di lain waktu bernyanyi riang.

Aidan menguap kelelahan. Dia akhirnya mengabaikan kendaraan yang sedari tadi berzigzag dan mengocok perutnya dan memutuskan untuk mengumpulkan energi dengan menutup mata.

*****

"Udah! Ini udah di Pulai Kamaro! Palembang! Ampun! Saya minta ampun! Berhenti! Tolong berhenti!"

Seruan penuh penderitaan dari supir taksi sayup-sayup masuk ke pendengaran Aidan. Remaja itu membuka mata dan melihat langit sudah cerah. Taksi berjalan mulus, sepertinya Aura sudah semakin ahli mengendalikan kendaraan itu.

Sang supir taksi yang menjadi bulan-bulanan si Gadis Angin juga terlihat sangat menyedihkan. Tubuh gempalnya gemetar dan terkadang bergerak tak beraturan.

Kasihan.

Aidan menegakkan punggung, lalu berkata, "Aura, udah, berhenti. Ini udah sampai, 'kan?"

Kepala si supir taksi pun menoleh cepat ke arah Aidan sebelum dia tersenyum manis, membuat bulu kuduk remaja itu meremang. Taksi yang ditumpangi pun berhenti tepat di sebuah menara sembilan lantai yang mirip seperti sebuah menara dengan sebuah patung emas biksu gendut.

Ini pagoda yang terkenal di dekat kelenteng Hok Tjing Rio, 'kan?

Aidan yang mengenali bangunan itu pun keluar dari taksi bersama tongkatnya yang kepanjangan. Namun, baru saja dia menutup pintu taksi, Aura sudah berada di sebelah dirinya dan taksi yang belum dibayar itu sontak melaju pergi dengan kecepatan tinggi.

"Hoa! Loh, Pak! Saya belum bayar!" seru Aidan yang hampir terserempet taksi.

Remaja itu ternganga kala melihat taksi itu menikung tanpa rem dan membuatnya mengeluarkan suara decitan, sedangkan Aura, si Biang Kerok, hanya melambaikan tangan sambil berseru riang. "Terima kasih, Pak Ganteng! Lain kali kita ketemu lagi, ya!"

Amit-amit deh. Enggak akan mau dia.

Aidan melirik malas ke arah Aura. Namun, remaja itu tidak berkata apa-apa. Mereka sudah sampai di Pulau Kamaro tanpa mengeluarkan uang sama sekali. Dia juga sempat tertidur memakai AC di kursi yang nyaman. Jadi, kalau mengeluh sepertinya tidak pantas juga.

Aura yang terlihat bugar meski telah menyalahgunakan tubuh manusia dengan seenaknya selama 20 jam itu menoleh ke arah Aidan dan memberikan cengiran kuda. Sepasang rambutnya yang dikuncir bergoyang manis saat gadis itu bertanya, "Mau sarapan dulu?"

Kok, dia jadi imut?

Aidan mengedipkan mata dua kali saat remaja itu merasa jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Aura sendiri pun tiba-tiba mematung. Dia memajukan wajah sehingga memotong jarak pandang mereka.

"A-apa?" tanya Aidan tergagap. Remaja itu refleks melangkah mundur. Mata yang manis. Hidung mancung. Bibir merah muda ....

"Itu belek?" Wajah Aura tiba-tiba mengerut jijik. Dia mengamati mata kanan Aidan sambil bertolak pinggang. "Ih, jorok!"

"Eh! Enggak kok! Bukan!" bantah Aidan sambil cepat-cepat menggosok matanya dengan lengan kaos.

Aura memberikan tatapan tidak tertarik. Gadis itu pun membuang pandang untuk mengamati sekeliling. "Mau lihat-lihat ke dalam?"

Tempat wisata itu terlihat bersih. Aidan yang merasa kotor pun dengan tahu diri menolak tawaran Aura, sebab petugas pasti melarang mereka untuk mengunjungi kelenteng ataupun pagoda.

"Enggak usah, setahuku bangunan itu tidak bisa dimasukin sembarangan orang."

Akan tetapi, Aura malah mendengkus meremehkan. Gadis itu dengan santai melenggang mendekati salah satu orang yang berjaga di sana dan membuat mata Aidan membelalak kaget.

"Aura, jangan! Enggak usah!"

Aidan hendak mengejar gadis yang menyebalkan itu. Namun, bau rumput basah yang familier membuat langkahnya terhenti. Dia segera berbalik untuk melihat sekeliling.

Tidak jauh dari tempat mereka berada, terlihat daerah pemakaman yang terawat rapi. Kening Aidan mengerut curiga. Wangi rumput basah itu sepertinya tercium dari sana.

"Aura, sini! Sini sekarang!" seru Aidan saat gadis jadi-jadian itu sepertinya hampir mengeluarkan jurus rayuan berbahayanya kepada petugas jaga yang tidak bersalah.

Wajah Aura sontak cemberut. Dia berjalan dengan langkah lebar-lebar untuk mendekati Aidan dan mendesis kesal. "Apa sih bentak-bentak! Bisa lebih sopan enggak manggilnya?!"

"Stt!" Aidan sontak membekap mulut comel Aura. Remaja itu kini mengamati sepasang pria dan wanita berpakaian kuno yang terlihat mondar mandir di dekat kuburan dengan tingkah mencurigakan.

"Auh! Jangan gigit dong!"

Akan tetapi, Aidan sontak memekik dengan melepaskan tangannya ketika dia merasakan sakit pada telapak tangannya. Remaja itu langsung mengibas-ngibaskan tangan dan balas melotot ke arah Aura yang sedang bertolak pinggang ke arahnya.

"Dasar cewek kasar!" omel Aidan. Dia kembali menoleh ke arah pasangan yang mencurigakan dan keningnya kembali mengerut, sepertinya yang perempuan sedang menangis, sedangkan yang pria pun terlihat gelisah.

Mereka kenapa?

"Siapa yang cewek kasar!" Aura yang tidak terima pun memukul kepala Aidan dan membuat Aidan kembali melihat ke arah gadis menyebalkan itu. Surut sudah rasa kesemsem yang tadi sempat muncul sejenak.

"Aduh! Bisa kalem enggak sih?!" protes Aidan sebal. Enggak Aura, enggak Nadia, kenapa semua cewek-cewek di sekitar dia sangat tidak feminim? "Itu lihat, mereka tingkahnya aneh."

Ekspresi cemberut Aura berangsur menghilang. Gadis itu akhirnya menoleh ke arah yang ditunjuk Aidan lalu memiringkan kepala. "Mereka lagi ngapain?"

"Ayo, kita ke sana," ucap Aidan. Remaja itu memperbaiki panggulan ranselnya sebelum menyeret tongkat kotornya ke area dekat pemakaman dan dieekori oleh Aura.

Suara isak tangis semakin jelas saat keduanya mendekati pasangan yang terlihat sedih itu. Aidan mengamati mereka dengan saksama. Yang pria berkulit kuning langsat, memakai pakaian seperti di film-film silat China zaman dulu, sedangkan yang perempuan memakai kostum khas orang Palembang.

"Hei? Kamu kenapa nangis?" Aura yang tidak tahu tata krama sontak menegur wanita yang sedang menangkupkan wajah dengan kedua tangan.

Pasangan itu pun menoleh ke arah Aidan dan Aura. Yang wanita menurunkan tangan sebelum menyeka matanya yang basah oleh air mata.

"Tolong bantu. Harta kami hilang."

"Harta? Maksudnya uang?" tanya Aura kebingungan. "Apa jatuh?"

"Di sungai ...." Logat cadel khas orang China kini menggantikan isak tangis yang perempuan. Pria itu terlihat sangat pucat sebelum melanjutkan kata-katanya. "Tujuh guci, hilang semua ...."

Tujuh guci? Aidan berusaha mengingat-ingat cerita rakyat yang telah dia baca. Mata remaja itu sontak melebar saat tahu siapa mereka. "Tan Bun An dan Siti Fatimah!"

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.

Ayo! Ada yang tau kisah mereka? Spill yaks yang tau.

21 Maret 2024
Benitobonita

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top