Bab 14
Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Pencipta @Benitobonita
Aidan berjalan menyusuri tepian Danau Diatas dengan terpesona. Air danau itu benar-benar jernih dan bukit hijau yang terhampar di sana seakan berhasil mencuci matanya. Remaja itu bahkan dapat menolerir suara kunyahan dan pecahan permen karet yang sedari tadi mengganggu pendengarannya.
Para wisatawan semakin banyak. Mungkin karena musim liburan sudah tiba, banyak keluarga yang membawa anak-anak mereka bermain ke sana.
Aura berjalan di sisi Aidan. Gadis centil itu sibuk memilin-milin dua rambutnya yang diikat sambil sesekali bercermin pada air. Dia kemudian menoleh ke arah Aidan dan bertanya, "Menurutmu, apa aku lebih baik ubah rambutku menjadi model bob?"
Apa pula artinya bob?
Aidan hendak menjawab asal. Namun, bau rumput basah tiba-tiba tercium. Remaja itu sontak menoleh ke sumber bau dan berjalan sambil mengendus-endus.
"Pochi! Kamu nemuin sesuatu?"
"Aidan! Namaku Aidan!" protes Aidan dengan wajah mengerut kesal. Sesuatu di tanah dekat mereka sepertinya bergerak, sangat pelan, tetapi dia dapat merasakannya.
Remaja itu sedikit merunduk dan mengamati sedikit retakan pada tanah. Cahaya matahari pukul dua siang memantul dari permukaan hitam, bersisik, dan sepertinya licin ....
U-ular! tebak Aidan dalam hati. Remaja itu sontak mundur sejauh mungkin dengan jantung berdebar cepat.
"Pochi, kamu kenapa?"
"A-aura, menjauh da-dari situ!" cicit Aidan saat Aura malah melangkah mendekati tempat si ular bersembunyi. "U-ular! D-di situ ada u-ular."
Aidan tidak menyukai banyak hal. Dia tidak menyukai olahraga. Dia juga tidak suka berteman kecuali dengan Nadia. Namun, hal lain yang paling tidak dia sukai adalah binatang melata dan serangga.
"Berhenti, jangan ke sana!" Aidan yang kini sudah berjarak beberapa meter jauhnya pun berseru lebih nyaring. Beruntung tidak ada orang lain di sana atau dia akan kembali menjadi sumber keributan dan terancam diusir dari tempat wisata itu.
Akan tetapi, Aura tampak tidak peduli dengan peringatan dari Aidan. Gadis itu malah semakin mendekati daerah retakan sebelum berjongkok di sana. Dia mengamati pantulan cahaya dari sisik-sisik yang tersembunyi dalam tanah sebelum menyentuhnya dengan ujung jari. "Apa ini?"
"Jangan sentuh itu!" pekik Aidan menjadi-jadi. Dia tidak mau binatang yang berada di sana malah nanti merayap keluar dan mengejar mereka.
Sayang, gadis tengik itu benar-benar mengabaikan peringatan Aidan. Aura malah menyentil-nyentil sisik yang masih terus bergetar pelan sebelum tiba-tiba memonyongkan bibir dan mengembuskan udara dari mulutnya.
Angin cukup kencang sontak keluar dari bibir merah jambu Aura, menerbangkan tumpukan tanah yang menyembunyikan binatang melata itu dan membuat rambut Aidan ikut melayang ke atas.
Aidan terbatuk akibat terpaksa menelan debu yang begitu saja masuk ke dalam mulut. Remaja itu bahkan harus mengucek matanya yang sedikit perih sebelum suara Aura membuatnya membuka mata.
"Pochi, kurasa kamu sudah menemukan naganya."
*****
Aidan melihat sekeliling dengan perasaan was-was. Dia dan si gadis jadi-jadian saat ini sedang merusak kawasan wisata dengan menggali bagian tanah tempat si naga terkubur. Karena tubuh naga itu sangat panjang, mereka terpaksa mengorek tanah di sepanjang jalan untuk menemukan bagian kepalanya.
"Pochi, coba gali di sana," tunjuk Aura ke arah sebuah lekukan tanah yang sedikit mencurigakan.
"Berhenti menyuruh-nyuruh aku!" Aidan melotot, tidak terima dengan kesewenang-wenangan yang dia peroleh. Tongkat saktinya kini telah beralih fungsi menjadi alat gali, menyebabkan ujungnya kotor penuh tanah, sama seperti sepatu juga celana panjang kesayangannya. "Kamu, kan, bisa bantu biar lebih cepat!"
"Dan, buat naga itu bisa keluar dari tanah?"
Pertanyaan balik dari Aura membuat tubuh Aidan bergidik ngeri. Dia tidak mau melihat keseluruhan tubuh naga yang sepertinya sangat menyerupai ular piton hitam yang pernah dia lihat di salah satu berita nasional di televisi.
"Ayo, cepat, gali." Aura dengan bertolak pinggang, menunjuk daerah yang membutuhkan perhatian.
Aidan berdecak sebal. Remaja itu pun menyeret tongkat kotornya sebelum kembali menyolok-nyolok tanah yang ada. Untung tanah di dekat danau ini tidak terlalu keras, dia jadi tidak terlalu lelah untuk mengorek permukaannya.
Warna hitam bersisik lagi-lagi terlihat, bergetar pelan, dan membuat bulu kuduk Aidan meremang jijik.
Udahan, kek! pekik remaja itu dalam hati. Dia benar-benar muak dengan tugasnya yang diemban tanpa sukarela.
Warna merah darah tiba-tiba mengalir dari lubang terakhir yang baru saja dia gali. Mata Aidan sontak membulat sebelum remaja itu bergegas mundur, menjauh.
Apa itu?! Itu darah!
Aidan dengan jantung berdebar-debar mengamati aliran darah segar yang membasahi sekitar lubang tanah. Remaja itu kemudian mengamati ujung tongkatnya, khawatir tindakan terakhir dialah yang telah melukai si naga.
Getaran terasa semakin keras meski tidak sampai membuat bumi berguncang. Aura yang merasa penasaran malah mendekati aliran darah itu dan berjongkok di sana. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya, membuat coakan tanah yang ada semakin besar.
Apa itu?!
Bulu kuduk Aidan meremang disko saat sebuah mata raksasa, sebesar bola basket, berwarna kuning, dengan pupil panjang berwarna hitam, bergerak-gerak secara perlahan di antara gundukan tanah. Suara erangan lemah, mirip raungan, samar-samar terdengar dari sana.
Aura yang masih berjongkok di sana pun memiringkan kepala. Gadis tengil itu tanpa takut malah menatap mata sang naga dan bertanya, "Hei, apa kamu tahu di mana kristal kembar? Kami sedang mencarinya."
Dengkuran panjang terdengar bersamaan dengan tubuh bersisik itu gemetar. Aidan meneguk ludah. Dia maju beberapa langkah sebelum berbisik takut-takut. "A-aura, kurasa dia terluka."
Kening Aura mengerut saat melihat genangan merah yang mengotori sepatunya semakin banyak. Gadis itu pun bangkit berdiri dan berkata kepada Aidan. "Kalau begitu obati dia."
"Bagaimana caranya?!" bentak Aidan. Rasa kesalnya terhadap sikap bossy gadis jadi-jadian itu melupakan sejenak ketakutannya. Nadia memang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan orang atau begitulah yang saudari kembarnya percayai. Namun, dia tidak memiliki kemampuan itu.
"Dasar tidak berguna."
Cemoohan Aura membuat aliran darah Aidan melaju cepat. Dia berniat mendorong gadis menyebalkan itu sedikit saja dengan ujung tongkat sebelum terdengar suara lemah dari balik ceruk lubang.
"T-tolong ambo .... S-sakik ...."
Aidan dan Aura sontak melupakan perdebatan mereka. Keduanya menoleh ke arah mata besar yang bergerak-gerak mengamati mereka.
Warna merah terus mengalir, merembes tanpa henti, membuat Aidan mengurungkan niat untuk lebih mendekat. Namun, remaja itu memutuskan untuk mengurangi sedikit rasa takutnya dengan bertanya, "N-naga, a-apa kamu tahu d-di mana kristal k-kembar?"
"Kenapa suaramu tergagap-gagap begitu?" Aura yang sepertinya terganggu dengan nada suara Aidan memberikan tatapan penuh kritik kepada remaja itu.
Dia benar-benar menyebalkan!
Aidan membalas pandangan Aura dengan memelotot sebelum membesarkan suaranya sehingga menjadi lebih tegas. "Naga! Apa kamu tahu di mana kristal kembar?!"
Raungan lemah dan disertai getaran pada permukaan bumi membuat Aidan refleks mundur dua langkah dengan kaki gemetar.
Mata besar itu kini fokus menatap ke arah Aidan, membuat dia teringat bahwa dirinya belum sempat ke kamar mandi untuk buang air kecil sedari tadi pagi. Sial, kenapa nasibku seperti ini?
"Sakik ...." Erangan itu kembali terdengar. "Tolong ... ambo."
"Beritahu dulu di mana kristal kembar, nanti dia akan menolongmu," ucap Aura sambil menunjuk ke arah Aidan, membuat remaja itu sontak memekik protes.
"Hei!"
Aidan meneguk ludah saat mata raksasa itu menatapnya dengan penuh harap. Rembesan darah masih terus mengalir, sedangkan tubuh hitam yang setengah terkubur tanah itu terus menerus bergetar menahan sakit.
"D-dengar, aku tidak bisa m-mengobatimu, t-tapi aku tahu orang y-yang bisa," ucap Aidan pada akhirnya. Semoga Nadia bersedia ke sini. "T-tapi, aku harus menemukan kristal kembar dulu."
"P-pulau K-karamo ...."
Rintihan pelan sang naga membuat mulut Aidan menganga. Sepertinya naga itu terlalu sakit dan setuju begitu saja dengan janji tidak jelas yang baru saja diutarakan oleh seorang remaja asing yang berpetualang bersama makhluk jadi-jadian.
"Jadi, di Pulau Karamo." Aura yang akhirnya mendapatkan petunjuk pun mengangguk sambil memukul tangan kanannya yang terkepal ke telapak tangan lainnya. "Baik, mari kita ke sana!"
"Eh, t-tapi bagaimana dengan naga itu?" tanya Aidan dengan kebingungan. Warna merah yang mengalir kini perlahan terlihat semakin bening, meski demikian dari jumlah air yang keluar apabila dibiarkan nanti bisa memperluas besar danau yang ada dan menyebabkan kepanikan massal.
Aura menunduk, mengamati coakan tanah yang menyeburkan darah, sebelum gadis itu memonyongkan bibir, dan mengembuskan udara, menyebabkan serpihan tanah terbang dan menutupi bagian yang sebelumnya berlubang, termasuk mata sang naga.
"Loh, kok, ditutup! Nanti naganya gimana?!" tanya Aidan terkaget-kaget. "D-dia, kan, lagi luka!"
"Terus kamu mau agar para manusia melihat naga itu?" Aura balik bertanya. Gadis itu berjalan dengan gaya centil sebelum melanjutkan, "Kalau kamu memang khawatir sama naga itu, kita jalan sekarang. Semakin cepat kristal kembar itu ketemu, semakin cepat kita bisa kembali ke sini."
Aidan terdiam sejenak. Remaja itu melirik ke arah sang naga yang tertimbun dan berkata dengan sungguh-sungguh. "N-naga, t-tunggu aku. A-aku pasti akan kembali lagi k-ke sini."
"Pochi, ayo!"
Seruan dari Aura membuat Aidan menoleh. Remaja itu pun menyusul si Gadis Angin sambil berseru kesal. "Aidan! Namaku Aidan!"
Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.
15 Maret 2024
Wulan Benitobonita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top