Bab 10

Karya

ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Pencipta @Benitobonita


"Berhenti teriak-teriak." Sebuah pukulan ringan dirasakan bagian kepala Aidan.

Remaja itu refleks mengaduh. Dia membelai kepalanya sendiri sambil mendelik ke arah gadis genit yang sekarang lagi-lagi sudah berganti pakaian. Celana cokelat tujuh per delapan dengan kaos gombrong yang memamerkan bahu kiri dengan tulisan besar di bagian depannya Aku Sadar Kalau Aku Cantik.

"Kamu payah," ucap Aura blak-blakan. "Tongkat itu tidak akan berguna banyak kalau kamu tidak mau belajar ilmu bela diri."

"Berhenti mengatakan hal yang sama berulang-ulang," gerutu Aidan. "Di zaman sekarang otak itu lebih penting daripada otot, tauk?!"

Pukulan lain kini dirasakan bahu kiri Aidan hingga remaja itu hampir terjungkal ke depan.

"Lemah."

Cibiran terakhir Aura sukses membuat darah Aidan mendidih. Remaja itu melepaskan ransel, lalu memasang kuda-kuda dan menggenggam tongkat dengan kedua tangan.

"Sini kalo berani!" seru Aidan galak. Langit belum terlalu terang dan penonton mereka hanya beberapa ekor kucing yang sepertinya tidak lagi berminat tidur.

Satu dua kendaraan memang lewat di jalan raya dekat hotel di mana Aidan telah diusir secara tidak hormat. Namun, tidak ada yang terlihat menghentikan kendaraan untuk menonton tingkah remaja aneh yang mengayun-ayunkan tongkat mirip tiang bendera ke gadis yang berada di hadapannya.

Aura menyeringai. Gadis itu ikut memasang kuda-kuda dan membentuk tangan seperti orang akan bertinju. "Ayo, Pochi! Kita lihat kemampuanmu!"

Aura berlari cepat ke arah Aidan yang melotot kaget. Remaja itu spontan mengayunkan tongkat sakti ke arah lengan kiri lawannya. Namun, serangannya langsung ditangkis dan belum juga dia bernapas, sebuah tendangan pada dada sukses membuat dirinya jatuh terjengkang ke belakang.

Sakit.

Bokongnya sakit!

Aidan berusaha tidak menangis ketika dia kembali berdiri. Boy Never Cry! Apalagi karena ditendang sama cewek!

Aidan berteriak sambil mengangkat tongkat tinggi-tinggi melampaui kepala dan berlari ke arah Aura. Namun, gadis itu hanya bergeser sedikit dan pukulan yang ditunjukan kepadanya langsung menghantam tanah bersamaan dengan sang pemilik senjata yang jatuh mencium semen trotoar.

Aidan berdiri sambil meludah dan mengelap bibir memakai lengan baju. Dia tidak suka rasa semen. Remaja itu menyerang Aura dengan kalap lagi dan lagi sebelum akhirnya berlutut dengan napas tersengal-sengal.

Helaan napas panjang terdengar dari Aura. Gadis itu berjongkok di hadapan Aidan dan menopang kepala dengan kedua tangan.

"Pochi, kalau kaya gini, enggak akan ada gunanya kita ke Danau Kembar. Kamu akan langsung ditelan naga pada serangan pertama."

Aidan membalas tatapan malas Aura dengan mata berkaca-kaca. Dia mau Nadia! Kalau ada Nadia, saudarinya pasti akan menghajar cewek resek yang sedang membully-nya sedari tadi.

"Aku enggak bisa, kamu cari aja orang lain buat bantu," ucap Aidan pada akhirnya. Dia mau pulang ke rumah. Main game PlayStation sambil makan camilan ringan di atas ranjang dengan AC enam belas derajat celcius!

"Dan membiarkan Nadia jadi batu?"

Perkataan Aura sontak mengingatkan Aidan pada mimpi terakhirnya. Seorang anak kecil yang diduga punya kelainan jiwa telah mengubah saudarinya menjadi arca manusia.

Aura mengamati sejenak wajah pucat Aidan sebelum tiba-tiba menoyor dahi remaja itu. "Bangun, kita cobq cara lain."

"Apaan sih." Aidan menepis tangan Aura. Namun, dia menurut untuk berdiri. Matahari mulai mengintip dari sela gedung-gedung di sisi timur. Beberapa pedagang asongan juga sudah terlihat di sekitar mereka.

"Aku sebetulnya enggak suka cara ini, tapi ini cara termudah," ujar Aura dengan tampang pasrah.

Gadis itu mengaitkan kedua tangan di punggung, lalu berjalan mendekat dengan kepala mendongak.

"He-hei, kamu mau ngapain?!" Aidan refleks mundur ketika wajah mereka hampir bersentuhan. Gadis itu seakan-akan hendak menciumnya.

"Diam dong, jangan bergerak," ucap Aura dengan nada jengkel. Gadis itu terus maju.

Namun, Aidan tidak bodoh. Remaja itu tetap menghindar dengan berjalan mundur. Dia takut ciuman pertamanya diambil oleh cewek yang enggak jelas. "Enak aja, memangnya kamu mau apa?!"

Wajah Aura berkerut kesal. Dia mempercepat langkahnya untuk menggapai Aidan. "Jangan bergerak!"

"Enggak mau!" Aidan juga terus memperlebar jarak mereka.

"Pochi! Diam dong!"

"Dasar cewek aneh!" Aidan akhirnya memutuskan memutar tubuh dan lari terbirit-birit. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba remaja itu merasakan sensasi dingin yang masuk melalui punggung.

Mata Aidan terbelalak dengan mulut terbuka dan dia berhenti bernapas selama beberapa detik sebelum remaja itu mengangkat dan memperhatikan kedua tangannya, lalu berkata, "Tidak buruk."

Jantung Aidan berdebar seketika. Badan dan mulutnya baru saja bergerak sendiri.

Dia menurunkan kedua tangan sambil berujar panik. "A-apa …."

Namun, kakinya mendadak bergerak dan tangan kiri remaja itu menggenggam erat tongkat, lalu mengayun-ayunkannya. "Kita harus ke Danau Kembar sekarang."

Sebuah kesadaran menghantam Aidan ketika remaja itu mulai melompat-lompat kecil dengan gaya centil hingga menjadi tontonan orang-orang yang kebetulan lewat. Dia berusaha mendaratkan kedua kakinya sambil berteriak marah. "Keluar dari tubuhku!"

Namun, badan Aidan tidak menurut. Remaja itu bahkan mengedipkan sebelah mata kepada seorang petugas Dishub yang baru saja akan mulai mengatur lalu lintas sebelum berlari dengan gaya manja ke arah ransel yang ditinggalkannya.

"Aura! Keluar dari badanku sekarang!" jerit Aidan dengan ekspresi hampir menangis. Dia benar-benar benci dengan roh alam yang satu ini, tapi gadis itu tidak menanggapi. Mereka menghentikan sebuah taksi dan masuk ke dalamnya.

"Danau kembar, Pak," ucap Aidan sambil mendorong tongkat yang dia pegang hingga hampir menghantam kepala sang supir.

"Mas, hati-hati dong! Itu tongkat kepanjangan, enggak bisa dimasukin ke dalam mobil."

Ekspresi wajah Aidan berubah-ubah selama beberapa detik. Awalnya remaja itu mengerucutkan bibir, kemudian mendesis, setelahnya dia berdecak sambil mendorong tongkat keluar jendela yang dia buka dan hampir menghajar pengendara motor yang melintas.

"Mas, kalo gila mendingan turun deh," omel si supir yang kesal karena mendapatkan sumpah serapah padahal tidak bersalah.

"Ma-maaf, Pak. Aku bayar lebih. Tongkatnya aman kok kalo dimiringin ke atas."

Pria berkumis lebat yang berada di belakang setir mengangkat alis kanan sambil menoleh melalui balik bahu. "Maksudnya matiin argo?"

"Hah?"

"Tadi katanya mau bayar lebih," tegas si supir dengan memasang wajah sangar.

"O-oh, iya, Pak." Aidan membetulkan posisi tongkat dan menyangga ujungnya yang bersandar pada lantai taksi dengan memakai ransel.

"Tiga ratus ribu," ucap si supir dengan kedua tangan menggenggam setir.

"Hah? Kok, mahal banget!"

Pria tua bertubuh gemuk itu tidak menjawab dan hanya menatap mata penumpangnya dengan penuh tekad. Hening beberapa saat sebelum Aidan akhirnya menghela napas. "Iya, Pak. Saya bayar saat sudah sampai."

Sang supir tersenyum lebar. Dia menoleh ke arah depan dan langsung menginjak gas.

*****

Aidan menahan mulut selama perjalanan agar tidak disangka gila oleh sang supir. Namun, remaja itu berulang kali berusaha menghentikan tingkah kecewekan Aura yang terlalu sering memainkan rambut dengan jari ataupun melipat kaki dengan gaya feminim.

"Berhenti …." Aidan mendesis, tidak tahan lagi ketika dirinya secara otomatis mengamati jari-jari tangannya dengan penuh minat.

"Kenapa, Mas?" tanya supir taksi sambil melihat dari kaca tengah.

Aidan menurunkan tangan kemudian tersenyum kikuk. "Eng-enggak, Danau Kembar."

Si supir menaikkan satu alis sebelum kembali melihat ke depan. Aidan menghela napas panjang. Dia melihat ke arah jendela dan menikmati pemandangan sebelum tubuhnya kembali bergerak-gerak tanpa dia kehendaki.

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top