Bab 1

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Pencipta @Benitobonita


Halo ....
Ehm ....

Jujur aku bingung bagaimana memulai kisah ini. Namun, karena permintaan dari pihak yang telah menyelamatkan hidupku ... tentu aku sulit untuk menolak.

Jadi, namaku ... Ahalya.

Aku tidak tahu mengapa kedua orang tuaku memberikan nama yang memiliki arti malam, mungkin karena aku dilahirkan pada malam hari atau bisa saja karena warna kulitku yang gelap. Namun, aku rasa itu akan selamanya menjadi rahasia ... sebab aku pun tidak tahu siapa orang tuaku.

Lima belas tahun silam mereka telah menjualku atau bahasa halusnya mempersembahkanku ke sebuah kuil pemujaan untuk bergabung dengan kaum devadasi, para gadis yang memiliki tugas untuk melayani sang dewa dengan tubuhnya ....

Apakah kau memikirkan sebuah sebutan yang pantas untuk kami?

Iya, kau betul ....

Kami adalah para pelacur suci ....

Namun, kisah ini bukanlah mengenai bagaimana aku menjalani hidupku saat melayani para dewa, tetapi bagaimana caraku selamat dari kiamat yang sedang terjadi ....

*****

Aku tumbuh di sebuah desa kecil di daerah Karnataka Utara tanpa mengenal orang tua kandungku. Sama seperti saudari-saudariku yang dipersembahkan ke kuil, kami dibesarkan oleh para ibu angkat kami yang juga merupakan kaum devadasi.

Hidup dalam keluarga yang semuanya hanya beranggotakan perempuan bukan hal yang menyenangkan. Persaingan untuk mendapatkan segala sesuatunya lebih berat karena kami tidak mengenal kata mengalah.

Saat aku mencapai usia 12 tahun, mereka akhirnya memperkenalkanku akan pekerjaanku yang sebenarnya. Malam pertama yang menjijikkan harus kulalui demi beberapa lembar rupee dari penawar tertinggi yang akan kami persembahkan kepada sang dewa.

Apakah sang dewa memerlukan uang? Entahlah .... Namun, aku sering melihat Ibu memakai uang yang kuhasilkan untuk membeli perhiasan dan bedak untuk bersolek.

Aku pernah bertanya kepadanya, tetapi beberapa tamparan keras pada pipi cukup untuk membuatku paham bahwa ada hal-hal yang lebih baik tidak ditanyakan.

Kisah ini bermula sekitar bulan Februari tahun 2025 di mana aku dan Kananta, saudari angkatku, melarikan diri ke ibu kota karena pembunuhan yang tidak sengaja yang kulakukan kepada salah seorang 'pemuja' yang memperkosa dan menyakiti Kananta ketika dia sedang menjalankan tugasnya.

Keputusan untuk pergi ke ibu kota tanpa membawa apa pun kecuali sari yang menempel di tubuh kami adalah hal terbaik dapat kami lakukan. Perempuan yang berasal dari kasta rendah seperti kami tidak punya pilihan lain kecuali membiarkan mereka menggantung atau merajam kami dengan batu karena telah melakukan pembunuhan.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, kami menjual diri. Sebuah ilmu yang kami telah pelajari sejak bertahun-tahun silam.

Keadaan ibu kota tidak seindah yang kami harapkan. Berita bahwa pemanasan global telah menyebabkan daerah kutub mencair dan menenggelamkan sebagian kota di daerah pesisir.

Kepanikan dan kerusuhan terjadi di mana-mana. Orang-orang berduit telah pergi melarikan diri ke tempat yang lebih tinggi. Mereka meninggalkan banyak harta untuk dijarah.

Hari itu kami mendapatkan pelanggan, lima orang pemuda yang membutuhkan penyaluran gairah setelah puas bersenang-senang dengan rampasan mereka.

Mereka memilih sebuah rumah mewah berlantai dua untuk membawa kami. Hanya satu orang yang tertarik kepadaku dan aku entah harus merasa cemburu atau bersyukur ....

Aku menunggu hingga sore hari di teras hingga akhirnya Kananta berjalan keluar rumah dengan wajah kelelahan. Dia tersenyum ke arahku dan menunjukkan sekantung roti yang bisa kami makan hingga untuk dua sampai tiga hari.

Kami kemudian berjalan mencari tempat yang cukup nyaman dan memutuskan bawah jembatan sebagai tempat bermalam. Kami menjauhi area sungai, sebab sejak pemanasan global, daerah itu telah menjadi tempat yang paling berbahaya, selain pantai yang sudah tenggelam tentunya.

Tempat itu cukup sepi, hanya ada seorang laki-laki tuna wisma yang duduk tidak terlalu dekat dari kami. Kananta langsung tertidur saat dia mendapatkan posisi nyaman di atas rumput yang diselimuti kain milik kami. Aku mengamati pria itu sejenak dan menganggap dia tidak berbahaya.

Dengkuran Kananta seakan mengajakku untuk ikut menutup mata. Aku menjaga kantung roti yang telah diperoleh saudariku secara susah payah dengan memeluknya erat, setidaknya aku akan sadar apabila ada yang berusaha mencurinya, sedangkan rupee milik kami aman tersembunyi di balik pakaian dalam. Rasa kantuk membuatku menguap lebar sebelum akhirnya terlelap.

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^

7 Januari 2020

Benitobonita

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top