Bab 3 : Hari Bersejarah
Part 3 sudah meluncur 🚀🚀
Selamat Membaca 🥀
KAFE Ceria Cara menjadi tempat pilihan kencan yang akan mempengaruhi keberlangsungan hidup Yuki, terkhusus reputasinya dalam menjalin relasi dengan seorang pria. Jika saja sudah memiliki kekasih, ia tidak mungkin berakhir menyetujui kencan buta bersama keponakan Bude Hani malam ini.
Yuki menghampiri salah satu pelayan wanita yang berjaga di depan pintu.
"Reservasi atas nama Bu Lilis?" tanyanya. Semua kebutuhan kencan malam ini telah dipersiapkan oleh Ibunda Narendra, Lilis Herawati. Begitulah informasi yang ia dapat sejak dua hari yang lalu dari pesan whatsapp yang membuatnya gelisah setengah mampus.
Pelayan wanita itu memastikan dengan sopan. "Ini dengan Kak Yuki?"
Yuki mengangguk. "Benar," jawabnya kaku, agak aneh juga mengetahui bahwa pelayan sudah mengetahui namanya. Pasti pelayan ini juga tahu tentang Narendra, pikirnya.
Mengikuti instruksi, Yuki segera mengikuti arah langkah pelayan ke sebuah ruangan lebar berdinding kaca. "Yang cowok belum dat– eh, salah. Maksud saya Narendra belum datang?" tanyanya lagi.
"Belum, Kak."
Yuki mendadak lega. Setidaknya ada sedikit waktu baginya untuk mengistirahatkan kaki.
"Kakak mau pesan minum apa?"
"Es teh lemon."
"Baik. Untuk makanan utama, sebaiknya diantarkan sekarang atau nanti?"
"Nanti saja kalo Narendra sudah datang," putusnya.
Sejauh yang Yuki pikirkan, makan bersama seseorang dalam kondisi canggung itu tidak mengenakkan. Sekalipun hidangan yang disajikan berupa daging wagyu A5. Wanita itu akan memastikan obrolan mereka akan berjalan dengan lancar sebelum menikmati hidangan.
Sambil menunggu kedatangan Narendra, Yuki menikmati minuman dingin dan mengamati area kafe dari balik dinding kaca. Suasana outdoor yang terlihat itu mampu memberikan kesan yang segar dan cocok sebagai tempat berkumpul bersama teman dan keluarga. Kafe ini memang memiliki desain semi outdoor. Terdapat ruangan tertutup dengan AC serta area terbuka yang menghadirkan kesejukan alami. Pada hari kerja saja tempat makan ini sudah ramai pengunjung. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana keramaian kafe ini saat weekend berlangsung.
Yuki sudah mengetahui beberapa informasi tentang Narendra dari informan valid yang bernama Bude Hani. Meskipun tidak banyak, tapi itu berguna untuk mengatur apa saja topik penting dan tidak penting yang bisa disampaikan dalam obrolan. Tentu saja Yuki tidak ingin membuat pria itu ilfil, meskipun juga tidak berusaha membuat kesan baik untuk menarik perhatian.
Beberapa kali tangan wanita itu mengetuk pinggiran meja, menyalurkan ketegangan yang sudah menjalar di seluruh tubuhnya.
Santai aja, nggak usah takut, Ki! Kayak mau dinikahin langsung aja! rutuknya pada diri sendiri.
Untuk mengusir kegugupan yang kian mengganggu, Yuki memesan makanan ringan dan bersenandung lirih mengikuti iringan lagu yang diputar oleh pihak kafe dalam meramaikan suasana malam hari ini.
Detik, menit, jam telah bergulir. Tidak terasa sudah dua gelas es teh lemon dan dua porsi gyoza yang telah Yuki habiskan. Akan tetapi, sampai saat ini—pria yang memiliki janji temu dengannya tidak kunjung datang.
Sialan!
"Nunggu sampai kapan, nih?" keluhnya sambil mengusap pipinya yang mulai mendingin karena terkena paparan AC. Udara dingin makin membuatnya tidak nyaman.
Yuki mengecek arlojinya yang melingkar di tangan, lalu bergeser melihat layar ponselnya. Hasilnya sama. Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Bila dihitung sejak kedatangannya ke kafe, ia telah menghabiskan dua jam hanya untuk menunggu. Dalam kebingungan, wanita itu coba berpikir positif bahwa Narendra tidak mungkin lupa dengan pertemuan malam ini. Dari sumber terpercaya, latar belakang kehidupan pria itu tidaklah neko-neko.
Seingatnya, Bude Hani telah mengirimkan foto miliknya kepada Narendra. Jadi tidak mungkin pria itu tersesat dan tidak menemukan dirinya. Jika lupa, bertanya kepada pelayan di depan pintu apa susahnya?
Mungkin ini akan terlihat bodoh dalam kencan buta di zaman yang serba canggih dan penuh tipu muslihat. Yuki tidak memiliki nomor ponsel Narendra. Benar, ia memang sudah mengantongi kartu nama milik pria itu, tetapi tidak ada informasi mengenai nomor ponsel atau whatsapp, hanya tertera akun instagram dan email pribadi.
Bude Hani juga tidak memberikan nomor Narendra, tidak pula menyarankan untuk berhubungan lewat pesan secara pribadi. Wanita paruh baya itu malah menyuruh Yuki untuk bertemu dan mengobrol langsung dengan keponakannya terlebih dulu. Jadi, setelah merasa ada kecocokan, mereka bisa saling bertukar nomor dan berkabar sepuasnya.
Tidak ingin menunggu lebih lama, Yuki membuka ponselnya dan masuk dalam aplikasi Instagram. Dengan keberanian besar yang datang entah dari mana, ia mengetikkan pesan singkat untuk mengetahui keberadaan Narendra. Takutnya ada sesuatu yang terjadi kepada pria itu sehingga tidak bisa datang tepat waktu. Bisa jadi mobilnya mogok? Ada rapat mendadak? Mungkin saja kecelakaan? Aduhh ... isi kepala Yuki mulai kacau.
Yuki hampir mengumpat saat pesan darinya tidak kunjung dibaca dan mendapat jawaban. Kondisi kafe yang semula diisi oleh banyak orang kini hanya meninggalkan tiga pelanggan, termasuk dirinya. Ia mengecek ponselnya untuk kesekian kali, berharap pria itu membaca pesannya, tapi nihil. Dalam kebuntuan, Yuki tidak berpikir untuk menghubungi Bude Hani dan menanyakan kabar tentang Narendra. Bisa-bisa Bude jadi panik dan tekanan darahnya naik.
Ya, Gusti! Apa Narendra menganggap pertemuan ini main-main? Yuki membatin penuh kesal. Jika tahu bahwa menunggu kedatangan Narendra akan memakan waktu lama, tahu begitu ia bisa membawa berkas kantor untuk dikerjakan.
Suasana hati Yuki semakin tidak tenang setelah menyaksikan satu per satu pelanggan mulai hilang dari pandangannya. Ia menoleh ke segala arah ketik lampu di beberapa sudut kafe mulai padam. Atensinya kembali saat pelayan kafe menghampirinya.
"Maaf, Kak. Pelanggan atas nama Kak Narendra belum datang." Pelayan wanita memberitahu dengan tatapan iba. "Masalahnya ...," jedanya, sesekali melirik ragu, "sebentar lagi kafe kami akan tutup," sambungnya lirih.
Yuki mengangguk paham meski tidak bisa menyembunyikan wajah kecewanya. Ia tidak mungkin memprotes terkait SOP yang dijalankan oleh pegawai kafe. Dalam hal ini, yang paling disalahkan adalah situasi yang tidak mendukung.
"Untuk makanannya bagaimana? Mau saya bungkuskan atau Kakak mau makan di sini saja? Kalo iya, kami bisa tunggu Kakak sampai selesai." Pelayan menawarkan opsi yang menguntungkan bagi perut lapar Yuki.
"Makanannya banyak nggak, Mbak?"
"Lumayan sih, Kak"
Yuki menimbang. "Nggak usah, deh. Makanannya buat Mbak aja sama teman-teman," putusnya.
"Jangan, Kak. Ini pesanannya sudah dibayar lunas sama Ibu Lilis."
"Iya, nggak papa. Anggap aja itu traktiran dari saya dan Bu Lilis." jawabnya mantap. Yuki lantas meneguk es teh lemon yang tersisa setengah di dalam gelas. Sebelum beranjak meninggalkan meja, ia menambahkan, "Saya boleh minta tolong sekali lagi, Mbak?"
"Iya, Kak?"
"Kalo nanti Bu Lilis tanya kabar tentang saya, bilang saja saya sudah ketemu sama anaknya. Terima kasih." pintanya yang langsung mendapat anggukan penuh dan ucapan terima kasih dari pelayan.
Yuki berjalan menuju gerbang kafe. Ia melewati tempat parkir yang hanya tersisa segelintir mobil dan motor para karyawan. Dengan langkah gontai, wanita itu melihat salah satu mobil yang masih terparkir di sana.
Ia mengurungkan niat untuk pergi dari kafe. Yuki lebih memilih berjalan mendekat ke arah mobil agar bisa melihat dengan jelas plat nomor mobil yang berhasil mengusik pikirannya.
"Tunggu ... model dan warna mobilnya sama..." lirihnya pelan sebelum menyadari keberadaan siluet pria yang tengah duduk dibalik kemudi.
Wedus Gembel!
Tanpa mengulur waktu berharganya lagi, Yuki berjalan menuju samping mobil dan mengetuk beberapa kali kaca pintu mobil. Ia tidak akan berhenti hingga pria itu membuka pintu dan menampakkan wujudnya.
Setelah pintu terbuka, wanita itu lantas mengatur ekspresinya secerah mungkin untuk menyapa.
"Hai ... kamu Narendra Juna, kan? Salam Kenal."
***
Menghabiskan waktu dengan menggulir feed akun instagram teman kencan ternyata ada gunanya juga. Yuki jadi tahu bahwa malam ini dirinya dicampakkan oleh seorang pria yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya. Harusnya tidak begini! Bukankah lebih baik jika dirinya tidak mengetahui apapun?
Meskipun tidak terima dengan apa yang terjadi, Yuki harus tetap rendah hati, kan? Terlebih untuk menghargai kerja keras Bude Hani yang mencegahnya jadi fakir asmara.
"Narendra." Pria itu akhirnya memperkenalkan diri sambil menjabat tangannya. Terdengar tenang seperti tidak terjadi apa-apa.
Yuki mengamati Narendra mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Terserah saja jika pria berbadan jangkung ini menganggapnya tidak sopan. Perawakan Narendra yang rapi dengan setelan kemeja biru muda ditekuk hingga perpotongan lengan, rambut tebal hitam kecoklatan, serta aura yang nampak dewasa itu tidak serta melunturkan kedongkolannya.
Narendra terlihat mengusap tengkuk. "Sebelumnya, saya mau minta maaf sama kamu, Yuki. Saya nggak ada niatan untuk nggak hadir di acara ..."
"It's okay. Aku tahu kamu lagi banyak pikiran. Benar, kan?" potong Yuki.
Narendra balas menatap tidak paham.
"Itu ..." Yuki menunjuk Narendra tanpa ragu, "jidat kamu banyak kerutannya."
Narendra seketika menyentuh dahinya sendiri. Sementara itu, Yuki menahan diri agar tidak tersenyum saat melihat wajah bingung pria yang tidak bisa mencerna leluconnya.
"Aku bercanda," imbuhnya.
"Mau saya antar pulang sekarang? Ini sudah larut malam," tawar Narendra ramah.
Tidak. Yuki tidak akan membiarkan pria itu lepas begitu saja. Sudah meninggalkannya sendirian, masa langsung ingin memulangkannya juga? Enak saja!
"Kalo kita cari angkringan di sekitar daerah sini, mau? Kamu pasti haus karena nunggu lama di dalam mobil. Aku, sih, udah kenyang tadi makan banyak di sana," Yuki berbohong sambil menunjuk bangunan kafe yang mulai menggelap.
Narendra setuju. Keduanya lantas menuju angkringan atas usulan Yuki. Mobil Narendra akhirnya berhenti di salah satu warung tenda bertuliskan 'Doa Ibu' yang masih ramai oleh pengunjung di bawah jembatan jalan semampir.
Yuki mengoper segelas teh hangat kepada pria yang duduk berjarak satu meter darinya. "Belum pernah jajan di tempat kayak gini, ya?"
"Ehmm ... pernah. Pernah sekali kalo saya lupa," jawab Narendra hati-hati.
"Pantas. Kelihatan sih dari muka kamu." Yuki melihat Narendra spontan tersenyum mendengar celetukannya. "Aku panggil kamu Juna, boleh?"
Narendra mengangguk setuju. Duduk di bangku kayu panjang ditemani dengan embusan angin malam yang menyejukkan membuat mereka larut dalam pikiran masing-masing. Jika saja pertemuan kencan tidak diawali dengan drama, suasana malam hari ini pasti lebih bersahabat.
"Juna ..."
Narendra menoleh. "Iya?"
"Kamu keberatan ya sama acara kencan malam ini?" Yuki penasaran mengapa Narendra harus menghindarinya.
Lelaki itu masih belum menjawab.
"Aku harap sih kamu nggak tertekan sama rencana Bude Hani yang satu ini. Aku pikir kamu tahu sifat beliau yang agak-agak itu ..."
Narendra menatap bingung, masih menunggu Yuki menyelesaikan kalimatnya.
"Aku nggak bilang Bude kamu gila, ya! Aduhh.. aku nggak bikin kamu salah paham, kan?" Yuki sedikit panik dengan ucapannya. ia tidak ingin dicap sebagai manusia kurang ajar. "Sebagai generasi tua, Bude Hani pasti punya niat yang baik buat nolongin generasi kita-kita ini biar cepet dapat jodoh. Kamu pasti tau kalo kita bukan korban satu-satunya, kan?"
Yuki bisa melihat lesung pria di sampingnya ketika sedang menahan senyum. Ia melanjutkan, "Nah, kalo gitu harusnya kamu lebih rileks ikutin alur rencananya beliau. Sebagai rasa hormat, aku setuju ketemu kamu karena aku percaya ini hanya pertemuan biasa, bukan perjodohan paksa seperti di film-film."
Yuki menahan diri ketika kekhawatiran mulai muncul di mata Narendra. Seingatnya, ia jarang bertemu pria dengan tipe seperti ini. Wanita itu terbiasa melihat keonaran dari Ongki dan Tama yang terlalu aktif bicara.
Narendra menghela napas sejenak, coba mengatur intonasi. "Maafin saya karena lepas tanggung jawab untuk ketemu sama kamu. Kamu jangan salah paham dulu. Pilihan saya tidak datang memang bukan hal yang tepat. Tapi sejak awal saya tidak berniat menyinggung kamu. Jika kamu merasa begitu, saya minta maaf."
Permintaan maaf itu terdengar berat dan dalam. Namun, Yuki hanya ingin mendengar kejujuran dari Narendra.
"Saya belum menemukan alasan yang jelas mengapa saya harus menjalin hubungan serius dengan orang lain. Ada prioritas yang lebih penting daripada urusan cinta, setidaknya untuk saat ini. Pekerjaan saya membutuhkan seluruh waktu yang saya punya. Mungkin ini terdengar aneh, tapi saya menikmatinya. Saya nggak mau menyakiti hati wanita hanya karena pekerjaan, Yuki. Saya harap kamu mengerti tentang posisi saya." Tangan kokoh yang tidak lepas berada di atas paha itu kontras dengan suaranya yang tegas dan penuh keyakinan.
Yuki menatap lurus manik Narendra yang mengkilat.
"Aku bisa paham, kok. Pemikiran kita hampir sama. Pekerjaan dan keluargaku jauh lebih penting daripada segalanya," jawabnya.
Wanita itu masih coba menemukan kejanggalan di dalam mata lawan bicaranya, tapi tidak ketemu. Ia buta soal memahami pria. "Tapi ... aku sangat menghargai waktu orang lain, Juna. Dan ini salah satu hal yang tidak bisa aku pahami dari kamu." Waktunya sudah terbuang sia-sia untuk urusan kencan yang tidak jelas. Dan Yuki sangat benci orang yang lalai tanggung jawab.
Yuki lantas mengalihkan pandangannya ke arah jalan yang sepi. Tidak ada kendaraan yang lewat, tapi terlihat jauh lebih menarik daripada menatap pria di sampingnya. Banyak sekali asumsi yang bercokol di kepala Yuki. Apakah pria ini punya trauma percintaan yang membuatnya tidak cukup peka? pikirnya.
Yuki mengamati wajah Narendra dari jarak sedekat ini. Pria itu masih belum bersuara. Yakin sekali tenggorokan Narendra mendadak kering setelah mendengar sindirannya.
Setelah menghabiskan sisa teh hangat, Yuki beranjak dari duduknya. Sudah cukup, ia ingin pulang saja. Bagian punggung hingga pinggulnya terasa pegal karena menghabiskan waktu duduk terlalu lama. Pertemuan ini membuatnya lelah.
Melihat pergerakan Yuki yang beranjak dari kursi, Narendra ikut berdiri. "Mau saya antar pulang?" Ia berinisitaif membantu sekali lagi.
"Enggak perlu, rumah teman aku dekat dari sini. Aku bisa pulang jalan kaki." Sedikit ketus, Yuki menjawab sambil merapikan outernya.
Narendra menoleh ke jalan yang makin sepi. "Tapi ini tengah malam. Bahaya kalau ada begal dan semacamnya," cegahnya.
"Nggak papa, udah biasa juga jalan sendirian." Yuki berjalan menuju penjual untuk membayar harga dua gelas teh.
Mereka berdiri saling berhadapan. Mengakhiri pertemuan yang seharusnya berakhir lebih baik daripada ini.
"Juna, glad to meet you. Aku harap kamu nggak kaku lagi kalo kita ketemu di lain waktu." Yuki menjabat tangan Narendra.
"Titip salam buat bunda kamu. Belajar jujur sama perasaan kamu sendiri, ya. Aku yakin bunda sama Bude Hani akan paham kalo kamu belum siap. Orang tua terkadang butuh diberi paham juga, tentunya dengan treatment yang lebih halus. Dan ... aku harap nggak ada lagi teman kencan yang jadi korban ghosting kamu," tuturnya dengan senyum yang dibuat paksa.
Yuki berjalan ke arah barat, menjauhi Narendra yang masih bergeming. Mungkin pria itu tidak tahu jawaban yang tepat untuk merespon kalimatnya.
Kejadian ini terasa begitu cepat. Dengan langkah lebar, Yuki ingin segera tiba ke rumah sahabatnya. Meninggalkan pria bajingan yang berhasil membuat dadanya sesak.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top