Bab 2 : Dukungan Teman

Selamat Membaca 😊
Jangan lupa vote dan komen ya



SUASANA kantin yang terletak di lantai tiga gedung Starlee tidak begitu padat meskipun telah memasuki waktu istirahat. Yuki bisa dengan mudah menemukan sudut ternyaman untuk menyesap es kopi gula aren tanpa mengelilingi area kantin terlebih dulu.

Wanita itu menduga kantin agak sepi karena mayoritas karyawan lebih memilih makan di luar kantor setelah mendapatkan gaji. Tipikal budak korporat sekali-- menghabiskan uang di awal untuk membeli kudapan enak, lalu menjadi pemburu promo dan gratisan di pertengahan bulan.

Setelah menggeser duduknya untuk menghindari terik matahari yang menembus kaca jendela ruangan kantin, Yuki menumpu dagu, mulai memikirkan satu-satu permasalahan hidupnya, terutama tentang perkataan ibunya semalam.

"Ki, kamu berhak bahagia, berhak jatuh cinta. Kamu juga berhak menikah dan punya keluarga. Jangan buat Ibu dan adik kamu jadi alasan penghambat kebahagiaan kamu."

Mengingat kalimat itu terucap dari mulut ibunya sendiri, Yuki tambah gelisah. Apakah selama ini dirinya berpikir seperti itu?

Wanita itu berdecak kesal, "Apa jangan-jangan sikapku selama ini yang buat Ibu salah paham, ya? Padahal aku kan nggak pernah mikir kalo keluarga jadi beban, loh," lirihnya disambung dengan meminum es kopi lagi. "Ya memang sih aku nggak kepikiran nikah karena pengen selalu ada buat mereka-eh, tapi bukan nggak kepikiran nikah juga, cuma belum pengen aja. Duh, kenapa sih aku?" omel Yuki sambil memukul pelan kepalanya sendiri. Ia kembali menghembuskan napas kasar, merasa ruwet dengan jalan pikirannya.

Masih berhubungan dengan peristiwa semalam, Yuki lantas mengeluarkan kartu nama dari saku blazer, pemberian ibunya.

Narendra A. Juna

Yuki mulai membaca tulisan di sana. "Jadi namanya Narendra."

"Wow, Epytrenz!" serunya. Siapa sangka keponakan Bude Hani itu bekerja di toko handicraft dan furniture yang cukup terkenal di area Surabaya Timur.

"Kata Bude, keponakannya punya usaha, kan? Tapi beneran dia yang punya toko ini?" tanyanya pada diri sendiri. "Kalo dia yang jadi pemilik toko ... ya, masa dia mau dijodohin sama aku?" sangkalnya. Duh, nggak mungkin!

"MBAK YUKIII!" Teriakan yang bersumber dari pintu masuk kantin itu sontak membuat Yuki panik.

Gawat, ada mata-mata FBI!

Yuki lantas memasukkan kembali kartu itu dengan buru-buru. Jangan sampai mata jelalatan Yongki tahu.

"Sendirian aja, Mbak?" ucap pria flamboyan yang sudah mengambil duduk di sebelahnya, bersiul dengan tatapan menyebalkan.

"Iya. Sendirian juga?"

"Nggak. Itu sama mereka." Yongki menunjuk ke arah Anisah, Novi, dan Reno yang baru muncul dari balik pintu kantin."Habis makan di kafe seberang kantor, hehe," kekehnya.

Niat hati ingin menyendiri, Yuki akhirnya pasrah setelah empat sekawan itu memenuhi bangku miliknya.

"Mbak Yuki ...," sapa Anisah lirih diiringi oleh senyuman, tatapan perempuan yang tadinya ceria berubah jadi sendu.

Jika sudah begini, Yuki jadi paham arah obrolan yang akan terjadi. "Udahlah, itu sudah keputusan terbaik dari atasan, Sa." Ia lantas meminum lagi es kopi nya, berusaha terlihat baik-baik saja. "Kenapa jadi kalian yang sedih, sih?"

"Terbaik apanya? keputusan kemarin itu nggak fair loh, Ki. Jauh banget malah! Harusnya kamu yang pantes dipromosikan jadi asisten manajer, bukannya Seila si Kutu Kupret itu!" seru Novi yang ceplas ceplosnya melebihi emak-emak.

"Ide promosi dari Seila kemarin terlalu aneh, nggak sesuai sama kondisi sekarang. Kondisi market majalah cetak kita ini lagi kurang bagus, apalagi majalah digital juga baru launching empat bulan yang lalu. Penjualan turun, pemasukan nggak ada. Kalo perusahaan butuh pemasukan lebih, seharusnya getol buat promosi majalah digital, kan? Lah anak dugong itu malah pengen perusahaan kita lebih eksklusif. Pake ngusulin re-branding segala. Apa nggak tambah keluar modal banyak? Bagusan gagasannya Mbak Yuki kemana-mana, dah," ketus Yongki yang mulai berapi-api. Semua rekan pun ikut mengangguk.

"Kalo bukan gara-gara pakde nya salah satu direksi di sini, udah habis tuh anak!"

"Apa dia congkak karena lulusan perguruan tinggi negeri ternama, ya? Terus nganggep kita bego semua gitu?"

"Lagipula nggak relevan juga pertimbangan naik jabatan cuma karena lulusan kuliah di mana. Harusnya kan diukur pake standar performa kerja dong karena punya efek lebih besar untuk keuntungan perusahaan."

"Selama ini Yuki yang udah gantiin kerjaan Mbak Muna waktu resign jadi asisten manajer tahun lalu. Jobdisk kamu apa aja, Ki?" tunjuk Novi. Tanpa menunggu jawaban Yuki, ia. melanjutkan."Yuki input data, iya. Buat laporan? iya. Buat konsep konten marketing? iya juga. Yang benerin tugas anak-anak kalo salah? kerjaan dia juga. Bahkan kemarin Yuki jadi koordinator tim marketing saat ada proyek tahunan. Dengan kampretnya malah anak yang baru masuk kerja tiga bulan udah naik aja jabatannya, padahal nggak ngapa-ngapain. Sinting emang!"

"Nah, itu bener! Semalam waktu rapat, mukanya Mas Raihan surem banget. Udah jadi manager kok nggak berani intervensi. Matanya cuma bisa ngedip-ngedip doang."

Yongki, Novi, dan Anisah sudah cekikikan mengingat kejadian semalam.

Sementara itu, Reno hanya tersenyum masam. Salah satu staf paling senior di dalam divisi marketing itu seperti sudah lama mengecap asam garam kehidupan perkantoran. "Jangan berkecil hati, Ki. Kami bakal support kamu sampai kapan pun." Reno menepuk pelan bahu Yuki, memberi kekuatan bahwa tidak mendapat promosi jabatan bukanlah akhir dari segalanya.

Yuki sudah memasrahkan nasibnya. Bukan karena ia bodoh, bukan. Sudah jadi rahasia umum praktek nepotisme terjadi di dalam perusahaan, salah satunya adalah kantor tempatnya bekerja. Tapi ia juga tidak buta bahwa ada beberapa point miliknya yang tidak bisa disandingkan dengan Seila. Ia kalah jauh.

Seketika suasana mendadak hening ketika seorang wanita yang baru saja menjadi obyek obrolan memasuki area kantin. Seila memang terkenal paling cantik di perusahaan. berbalut dres putih selutut dipadupadankan dengan blazer coklat, perempuan itu melengos saja melewati gerombolan rekan kerjanya.

Dengan kesadaran penuh, Yuki menyaksikan pancaran mata dendam Yongki dan Novi.

"Njir, cewek uler! Sok cantik lo!" cibir Yongki dengan gerakan meninju angin setelah melihat Seila pura-pura tidak mengetahui eksistensi mereka.

"Udahlah Yong, kok kamu yang jadi kepanasan gini?" Yuki tidak habis pikir mengapa emosi lelaki itu begitu meledak-ledak.

"Ya, habisnya, sih ...," Ongki berdeham sejenak sambil mengusap tenggorokannya dengan muka melas. "Haus Mbak Yuki. Traktir kita es kopi, ya" pintanya.

"Lah, siapa suruh tadi marah-marah? Kalo sudah haus gini jadinya aku yang rugi duit." Yuki menggerutu sambil berjalan ke arah stand kopi. Pada akhirnya, wanita itu membelikan es kopi untuk semua rekannya. Hitung-hitung sebagai bentuk terima kasih karena telah menghiburnya dari kekecewaan.

"Nah, gini dong. Sekali-kali traktir es kopi. Mbak Yuki irit banget sih orangnya," celetuk Yongki.

Seperti dugaan Yuki, junior yang suka banyak bicara itu mulai kegirangan.

Dengan kecepatan kilat, Novi menyumpal mulut Yongki dengan gulungan tisu. "Banyak omong! Makanya doain Yuki enteng rezeki dan dapat jodoh orang kaya raya biar kita bisa ditraktir makan setiap hari." Ucapan Novi langsung diamini oleh semuanya.

Yuki hanya bisa mendesah kecil dengan gelengan tidak percaya. Kalo soal mentraktir makanan, rekan kerjanya itu sudah bergaya seperti orang paling miskin di dunia.


**

Sejak satu jam yang lalu berbaring di kasur empuk miliknya, Yuki kesulitan untuk tidur. Bahkan setelah coba membereskan kamarnya yang sudah rapi agar terlihat lebih rapi hingga membuat tubuhnya bertambah lelah, kantuknya tidak kunjung datang. Karen merasa bosan, wanita itu memutuskan mencari hiburan di dalam ponselnya. Baru saja membuka aplikasi Instagram, suara ketukan pintu kamarnya terdengar.

Yuki lantas menghentikan aktivitasnya. "Masuk aja!" teriaknya, memberi izin pada orang yang ada di luar sana.

"Uki ... belum mau tidur, kan?"

Oh, suara adiknya. Hanya Ibu dan kedua adiknya yang memanggilnya begitu.

"Belum, Tama. Masuk aja. Pintunya nggak dikunci," jawab Yuki.

Pintu terbuka, memperlihatkan adik laki-lakinya yang berbalut kaos jersey klub sepak bola berwarna merah dengan celana training hitam pendek.

Tama Aditya adalah adiknya yang berjarak umur 12 tahun dengannya. Saat ini laki-laki itu masih menginjak bangku kelas 2 SMA di salah satu sekolah swasta di daerah Surabaya Timur.

Yuki membiarkan adiknya masuk dan berbaring terlentang di kasurnya.

"Ada surat dari sekolah." Tama menyodorkan amplop putih berisi secarik kertas yang langsung dibaca dengan serius oleh kakaknya.

"Jadi, intinya kamu butuh uang 600 ribu buat keperluan study camp kelas melukis di daerah Malang selama tiga hari. Begitu, kan?"

Tama hanya mengangguk, tanpa menoleh ke arah Yuki. Fokus memainkan bantal bola yang ada di atas kasur.

Yuki menatap lurus adiknya, "Batas pembayarannya sampai kapan?" Wanita itu paham bahwa adiknya mencoba terlihat tidak tertarik dengan rencana study camp ini. Tama cukup mengerti tentang kondisi keuangannya. Mungkin hal itulah yang membuat raut wajah adiknya kali ini tidak terlihat belagu seperti biasanya.

"Emang uangnya ada?" balas Tama dengan ragu. "Nggak ikut juga nggak ngaruh ke nilai akhir sekolah, kok."

"Heh, kamu wajib ikut, ya. Aku masih punya uang. Barangkali kamu jadi punya banyak inspirasi dan rajin buat ngelukis lagi. Mbak udah lama nggak lihat kamu gambar-gambar, loh. Sayang juga kalo kamu nggak gabung."

"Kalo aku lebih sayang uang, sih," celetuk Tama dengan kerlingan. Ia lantas mengerang kesakitan saat bahunya langsung mendapat bogeman dari kakaknya.

Yuki tahu sekali bahwa Tama punya bakat yang besar dalam urusan gambar dan melukis. Kemampuan artistik tersebut diturunkan dari mendiang ayahnya. Karena itu, ia tidak ingin membuat adiknya terpaksa tidak berkembang dalam bakat hanya karena kurangnya dana. Sebisa mungkin, Yuki akan memenuhi kebutuhan sekolah adiknya berapapun uang yang dikeluarkan.

"Besok ikut aku ke ATM, ya. Jadi uangnya bisa langsung kamu bawa buat bayar," kata Yuki meyakinkan.

"Oke, deh," jawab Tama seadanya.

"Kamu belum bilang sama Ibu soal ini, kan?"

Tama menggeleng, "Belum."

Yuki lantas mengusap kepala adiknya lembut dan memintanya untuk lekas kembali ke kamar dan tidur. Setelah wanita itu mengunci pintu kamarnya, ia sengaja membanting diri di atas kasur dan menyelimuti rapat tubuhnya dengan selimut.

"Yok ... bisa yok tidur. Besok harus kerja keras lagi, Yuki!" bisiknya pelan dengan penuh penekanan.

***


"Tumben Mbak Yuki ngajak aku kesini," tutur Anisah yang sedang menyeruput boba milk sambil merapikan ujung kerudungnya yang teruntai.

"Ya pengen ada temennya aja, Sa. Nggak enak kalo belanja sendirian."

"Tapi aneh, sih." Mata Anisah menyipit curiga. "Mbak Yuki, kan independent women banget. Masa mau beli baju aja pake ngajak aku segala. Pasti ada sesuatu. Iya, kan?" tebaknya.

Yuki menepuk jidat. Ia lupa jika mengajak Anisah, maka ia harus menjelaskan panjang lebar tentang tujuannya. Juniornya itu cukup sensitif dalam hal apapun. "Iya nanti aku ceritain."

Kedua wanita itu sedang menyusuri lantai tiga Royal Plaza Mall. Salah satu tempat perbelanjaan di area Surabaya yang cukup affordable bagi kantong kurusnya. Malam ini, Yuki ingin membeli beberapa pakaian baru untuk memenuhi lemarinya. Bukan, bukan itu alasan utamanya.

"Sekarang model baju buat cewek yang lagi trend apa aja, Sa?"

"Banyak, Mbak. Beda acara, beda trend," ucap Anisah singkat sembari fokus membalik-balik baju.

"Oiya?" Yuki memang tidak terlalu up to date dengan fashion terkini. Mungkin ini juga yang membuat usaha penjualan bajunya dulu di salah satu marketplace tidak berkembang bagus. Ia kembali melirik ke arah pakaian lain. "Kalo buat ... ketemu sama temen lama bagusan pake apa ya?"

"HAH?" Anisah menoleh cepat, memastikan bahwa pendengarannya tidak salah. "Temen siapa? Temen cowok? Mbak Yuki mau kencan? Seriusan beneran mau kenalan sama cowok?!"

Tangan Yuki langsung membekap mulut Anisah yang mendadak heboh. "Shusst, lambemu! Jangan keceng-kenceng. Pertanyaanmu ituloh, bikin ambigu. Aku masih suka cowok ya, Sa!" Mata Yuki sudah melotot tidak terima jika dianggap sebagai wanita yang menyimpang.

Anisah menahan tawa, "Bukan gitu. Aku pikir Mbak itu tipe yang nggak mau direpotin sama urusan asmara ... like i don't give a fuck with all the man in this world!" Anisah berhasil menghindar saat Yuki akan memukul lengannya. "Jujur aja, ya. Kalo di kantor, Mbak Yuki jarang bahas soal cowok, loh. Aku nggak pernah sama sekali lihat Mbak jalan atau gandengan sama cowok. Kode-kode dari Mas Raihan juga nggak pernah Mbak tanggepin, kan? Jadi, ya aku menyimpulkan kalo Mbak nggak tertarik sama urusan begituan."

Yuki menatap heran. "Oiya? Masa aku kelihatan begitu?" Sepertinya bekerja terlalu serius dapat memberikan kesan yang seserius itu.

"Mbak Yuki kenal cowok itu dari mana?" tanya Anisah sembari sibuk memilah baju-baju yang tergantung.

"Siapa?"

"Ya itu ... orang yang mau kencan sama Mbak."

Yuki memalingkan muka agar gugupnya tidak terlihat jelas. "Oh ... cuma temen lama," bohongnya.

"Teman sekolah? kuliah?"

"Bukan, bukan. Pokoknya teman lama. Nggak spesial juga buat diceritain."

"Nah, ketemu!" seru Anisah setelah berhasil menemukan baju yang sesuai dengan seleranya. Ia lantas menyodorkan dress berwarna abu-abu dengan beberapa motif kupu-kupu dan bunga di beberapa bagian. "Cocok banget buat Mbak Yuki. Coba dulu."

Yuki menerima dress tersebut, lalu mengamati lebih jauh. Gaun dengan panjang selutut yang dipilih oleh Anisah sangat cantik, terlebih lagi tidak mengekspos bagian atas tubuhnya. Pas sekali dengan seleranya.

"Bagus, Sa. Cuma aku ngerasa kurang cocok aja buat ngobrol biasa. Terlalu mewah." jujurnya. Yuki ingin menggunakan gaun itu saat bersama dengan orang yang spesial, bukan dengan orang yang baru dikenal. Untuk ukuran pertemuan pertama, gayanya akan terkesan berlebihan.

"Yang lebih formal tapi agak santai, gimana?" usul Yuki.

"Yah, kalo gitu mending beli baju style kantoran aja, Mbak."

"Boleh juga."

"Dasar aneh!" Anisah mencebik kesal yang hanya dibalas senyuman mengejek oleh Yuki.

Setelah dua jam mengelilingi beberapa toko pakaian hanya untuk mencari outif kantor, pencarian pun berakhir. Ia cukup puas dengan baju pilihan dari Anisah. Sebagai ucapan terima kasih, Yuki mentraktir teman kantornya itu makan di salah satu kedai makanan jepang di lantai dua mall.

Di tengah nikmatnya menyantap semangkuk ramen, notifikasi dari aplikasi whatsapp muncul di layar ponselnya. Saat memeriksa, alisnya menukik, sedikit kaget. Isi pesan Whatsapp dari Bude Hani berhasil membuat denyut jantungnya bertambah kencang.

"Ada apa, Mbak?" tanya Anisah khawatir.

"Nggak papa, Sa. Lanjutin makan aja." elaknya dengan mata yang masih menatap lurus ke arah ponselnya.

Untuk menghindari pertanyaan Anisah yang akan terus berlanjut, Yuki lantas memasukkan ponselnya asal ke dalam tas selempang, lalu melanjutkan acara makannya yang tertunda. Baru saja mendapat pesan pemberitahuan lokasi pertemuan pertama dengan Narendra, Yuki sudah kepalang kagetnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana suasana hatinya saat hari itu tiba. Semoga, ketidakberuntungan menjauh sementara dari hidupnya. Semoga.[]



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top