BAB 1 : Sindiran Keras
WAKTU istirahat berarti 'segalanya' bagi para pekerja. Pernyataan itu berlaku pada kondisi terkini di dalam ruangan divisi marketing perusahaan penerbit majalah Starlee. Sayup-sayup suara ketikan pada keyboard komputer bergema semakin cepat di penghujung menit menuju pergantian jam istirahat kantor.
Mengintip dari sela kubikel miliknya, Yuki berhasil menangkap gestur saling curi pandang dari rekan kerjanya. Ia spontan mengusap pelan dadanya lalu menggeleng dengan tatapan geli. Seperti hapal mengenai apa yang akan terjadi beberapa menit kedepan.
Aib siapa lagi yang terbongkar siang ini?
Tepat beberapa detik setelah alarm waktu istirahat berbunyi, kedua temannya, bukan ... ketiga temannya dengan gerakan kilat mulai berkumpul di satu titik, sofa panjang yang terletak di ujung ruangan. Duduk saling berdempetan, wajah ketiga orang tersebut terlihat begitu antusias. Bukan tanpa alasan, menantikan jamuan teh gratis di sela kesibukan kerja menjadi suntikan vitamin kebahagiaan tersendiri. Gossip is everything!
"Kalian pada udah siap denger cerita dari eyke?" Novi, perempuan berbadan gembul dengan potongan rambut bob itu memulai pembicaraan dengan suara lantang.
"Yaelah, Mbak, nggak usah pake kalimat pembuka segala. Langsung cerita aja, kek," ucap salah satu staf desain grafis, Yongki.
Yuki memilih tetap berada di meja kerjanya. Lagipula dari dalam ruangan, ia pasti bisa mendengar suara-suara dosa itu dengan sangat jelas.
"Nggak asik ya, Ongki!" cebik Novi lantas menunjukkan isi ponselnya yang menampilkan tangkapan layar sebuah chat. "Nih, lihat sendiri isi percakapan mereka. Selama ini dugaan aku bener, kan, kalo si Wiwin kena KDRT dari suami brondongnya. Situ ... situ pada nggak percaya aku, sih."
"Belum percaya karena nggak ada bukti, Mbak. Lagian, bisa banget si Wiwin milih resign buat nikah sama cowok mokondo model tai kayak begitu? Padahal kalo pake hitungan logis, milih bertahan kerja di sini udah paling bener."
Anisah, staf admin media sosial menimpali, "Belum sadar tabiat aslinya kali, Yong. Bisa aja suaminya orang yang manipulatif."
"Yakin nikah tapi belum kenal betul sama pasangan sendiri itu lebih ke pilihan goblok sih, Sa."
Astaga. Yuki hanya bisa menelan ludah kasar, efek terkejut dengan ucapan spontan Yongki. Samar-samar mencerna informasi tersebut, Yuki jadi mengingat sosok mantan CS yang sedang dibicarakan. Sepengetahuannya, Wiwin adalah mantan pegawai customer service yang memiliki kinerja baik dan cukup akrab dengan tim divisi marketing.
"Astaghfirullah, mukanya kok bisa jadi bonyok-bonyok begini?" Anisah nampak prihatin. "MBAK YUKI, KESINI!!!" teriaknya.
Yuki mengintip dari balik kubikelnya, "Kenapa, Sa?"
"Sini dulu, Mbak. Lihat deh, kasihan mukanya si Wiwin."
Yuki lantas mendatangi perkumpulan itu. Dahinya berkerut, tidak tega sehabis melihat foto-foto mengenaskan milik Wiwin. Wanita yang dulu ia anggap cantik, kini berubah menyedihkan. Wajah mungil kembang desa itu penuh luka lebam kebiruan dari area mata hingga bibir. Hidung mancungnya turut patah seperti habis mendapatkan pukulan benda tumpul.
"Mbak Novi dapat foto ini dari mana?" tanya Yuki penasaran.
Kemudian Novi menjelaskan kronologi bagaimana dirinya bisa mendapatkan informasi berharga itu. Dengan begitu lancar, Yuki seperti terserap dalam magisnya rangkaian kata yang disampaikan oleh staf content writer itu. Ia bisa merasakan Yongki dan Anisah saling menyahut satu sama lain saat mendengar kisah menyedihkan dari mantan rekan kerja mereka.
How funny it is?
Di mana lagi orang-orang dapat menyaksikan ekspresi wajah pencerita dengan begitu jelas. Mulai dari alis mata yang menukik, hidung yang kembang kempis, suara berbisik yang terdengar lebih lantang daripada berbicara normal, intonasi yang naik turun dalam memainkan emosi, hingga upaya mengilustrasikan kejadian dengan gerakan tangan. Sebegitunya effort yang dilakukan oleh pengedar gossip.
"Makanya, Ki. Besok kalo mau nikah cari pasangan yang bener, ya. Jangan pilih yang asal ganteng doang!" celetuk Novi yang membuat Yongki dan Anisah tidak bisa menahan tawa.
Sial. Lagi-lagi yang dibahas soal nikah.
Yuki hanya bisa merespon dengan senyum pasrah. Sedikit tidak nyaman, betul. Tapi mau bagaimana lagi? Apa yang Mbak Novi ucapkan tidaklah salah. Sejak awal seharusnya ia tidak bergabung untuk bergosip. Tahu sendiri kan, dirinya ini punya satu kekurangan yang potensial sekali jadi sasaran empuk nyinyiran. Kekurangannya adalah ia belum menikah padahal sudah menginjak usia 28 tahun. Sebutan perawan tua mulai menempel pada namanya.
"Awas aja kalo calon suaminya Mbak Yuki orang jelek dan kelakuannya minus. Bakal aku sleding kepala nya sampe mampus!" tukas Yongki dengan wajah yang dibuat garang.
Anisah menambahkan,"Aku ikut gebukin juga."
"Apaan sih, kalian," potong Yuki, suaranya terdengar jengkel.
Mendengar ponselnya berdering, Yuki mengalihkan fokusnya. "Bentar, ya. Ada telpon dari ibu," pamitnya untuk kembali ke meja kerjanya.
"Halo, Bu."
"Halo, nak. Nanti pulang jam berapa, Ki?"
Yuki refleks mengecek arloji yang melingkar di tangannya. Ia mengingat bahwa malam ini ada rapat evaluasi bulanan di divisi marketing. Yuki tidak bisa melewatkan kesempatan itu.
"Kayaknya hari ini Uki pulang telat, Bu." Uki adalah panggilan kecilnya. "Ada rapat kantor yang nggak boleh aku lewatin. Kalo nanti aku jemputnya telat, Ibu bisa nunggu sebentar di kedai sampai aku sampai, kan?"
"Yawes, Ibu bakal tunggu sampai kamu datang. Hati-hati di jalan ya, nduk. Ibu sayang Uki."
"Aku juga sayang Ibu."
Panggilan itu terputus, menyisakan kegelisahan dalam hati Yuki. Ini bukan tentang ibunya, melainkan nasibnya yang akan mau dibawa kemana. Sudah tujuh tahun Yuki menjadi karyawan tetap di perusahaan penerbitan majalah lokal, tapi tidak ada kejelasan pasti tentang tawaran promosi kenaikan jabatan untuknya.
"Mbak Yuki, ayo ke kantin!" Ajakan Anisah mengembalikan kefokusan Yuki.
Yuki merapikan kertas dan buku laporan yang berantakan di mejanya. "Loh, sesi gosipnya sudah selesai?" Tatapnya heran ketika menemukan Yongki dan Novi sudah hilang dari ruangan.
"Ini mau dilanjut sambil makan. Nggak enak juga dengerin cerita sambil kelaparan, Mbak," lirih Anisah dengan mengerlingkan mata.
Ya, Gusti. Yuki hanya menggeleng tak habis pikir. Ia jadi memikirkan banyak kemungkinan, bagaimana jika dirinya punya aib? Apakah akan dibahas selama 7 hari 7 malam?
***
Meeting kantor memakan waktu hingga dua jam lamanya, memangkas jadwalnya menjemput ibunya. Yuki berjalan kaki menuju kedai tempat ibunya bekerja, belum sempat berganti baju karena takut kemalaman. Butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di sana. Kegiatan menjemput ini sudah menjadi agenda rutin sejak ibunya memilih untuk bekerja, dua tahun lalu. Katanya selain menambah pemasukan, ibunya juga butuh kegiatan untuk meringankan penat setelah mengurus adik-adik Yuki. Tentu saja Yuki tidak bisa menolak.
Lokasi Kedai Mi Bude Hani berada di pertigaan sebuah jalanan sedang di area Semolowaru, Surabaya. Menuju pukul sembilan malam, kondisi jalanan memang sedikit lenggang. Sudah tidak banyak kendaraan besar berlalu-lalang.
Setelah sampai di kedai dan membuka pintu, pemandangan pertama yang ia tangkap adalah Bude Hani sedang sibuk menghitung tumpukan uang hasil dari pendapatan hari ini.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab Bude Hani, lantas menoleh ke arah pintu. "Oii, Yuki!" girangnya. "Sini duduk sebelah Bude."
Bude Hani adalah pemilik Kedai Mi Bude Hani yang sudah melegenda di area Surabaya. Tahu bahwa masakannya terkenal enak, tidak lantas membuat Bude Hani berani melebarkan sayap membuka cabang kedai. Wanita paruh baya itu lebih memilih mempertahankan kedai kecilnya. Katanya, ia ingin menjaga keaslian kedai peninggalan mendiang suaminya. Selain itu, Bude Hani tidak mau repot mengurusi banyak pegawai. Ribet dan bikin mumet. Pendapatan dari satu kedai saja sudah sangat mencukupi kebutuhannya sehari-hari.
"Sudah makan, Nduk?"
"Sudah, Bude."
Tanpa aba-aba, Bude Hani mendekat, menyentuh bebas area mata Yuki sambil berbisik,"Kamu habis nangis, yo? Kok matanya sembab gitu?"
Hah? Masa, sih? Yuki lantas mengusap matanya kasar, lalu memilih mengalihkan pandangan dari Bude Hani.
"E-enggak kok, Bude. Yuki cuma ngantuk aja," sangkalnya. Yuki jadi menyesal tidak mengecek kondisi wajahnya setelah pulang dari rapat kantor tadi.
"Helehh, alesan tok! Bude itu juga pernah seumuran kamu, Nduk. Jadi bisa bedain bengkak dari mata ngantuk, mata kelilipan, mata keculek, atau mata habis nangis. Kamu kenapa, toh? Habis putus sama pacarmu? Loh, memang kamu sudah punya pacar? Apa kencan buta mu gagal lagi? Cerita aja sama Bude."
Nah, nah. Inilah yang bikin Yuki malas saat bertemu Bude Hani. Yuki tidak berdusta jika Bude Hani adalah sosok yang baik hati, mengayomi, dan loyal pada keluarganya. Namun dibalik kelebihan seseorang pasti ada kekurangan, kan? Kurangnya itu Bude Hani suka nyerocos dan ikut campur urusan orang. Terlebih lagi dengan urusan asmaranya.
Yuki menatap lesu, sudah tidak bertenaga menjelaskan apapun kepada Bude kesayangannya ini. "Jangan bahas soal pacar terus, nggak asik nih, Bude."
"Yah, bagaimana lagi, Nduk. Seharusnya di usiamu yang sekarang ini, kamu sudah punya dua anak. Tapi, ndilalah kamu masih sibuk ngurus ibu sama adikmu."
Lagi dan lagi.
Sudah puluhan kali Bude Hani membahas hal tersebut dihadapan Yuki. Tapi entah mengapa efek ucapannya tetap menyentil hati kecilnya. Apa salahnya sih tidak menikah? Meskipun usianya terbilang matang, tapi kalau belum siap, mau bagaimana lagi?
Lagipula menikah bukan menjadi hal yang harus Yuki penuhi secepatnya. Bukan prioritas, bukan pula cita-citanya. Baginya, masih banyak tanggung jawab yang belum sanggup dijalankan dengan semestinya– salah satunya adalah memastikan kedua adiknya hidup tanpa merasa kekurangan.
"Yuki kan cuma punya mereka, Bude."
Tangan Bude Hani menepuk pelan lengan anak gadis yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. "Nduk, Bude bicara begini karena khawatir sama kamu. Coba kalau kamu mau nikah, suamimu pasti bisa bantu memperbaiki ekonomi keluarga kamu," jelasnya. Bude Hani beralih mengusap lembut kepala Yuki.
"Tapi cari suami yang mau menerima kondisi keluarga Yuki itu susah, Bude. Mereka pasti bakal kabur. Apalagi Bude tahu kalau aku orangnya nggak terlalu menarik," jujurnya.
Ya, memang. Selama ini yang membuat hubungan asmaranya tidak pernah awet adalah karena masalah ekonomi. Kebanyakan mertua menginginkan menantu wanita yang penurut dan seratus persen siap siaga menjaga suami. Masalahnya, Yuki tidak bisa begitu. Ia tidak bisa keluar dari perannya untuk menjaga ibu dan adiknya demi seorang laki-laki yang baru ia kenal.
Yuki merasa kepalanya terdorong pelan oleh tangan Bude Hani, alias kena jendul. "Hushh, omonganmu itu loh ra masok blas! Jare sopo kamu nggak ayu? Kamu itu sudah cantik, kalo makin perawatan pasti ya tambah bagus!" bentak Bude Hani.
Melihat anaknya diperlakukan begitu, Mirna, ibunda Yuki hanya tersenyum geli. Setelah mencuci piring dan membereskan sisa perabotan dapur, Mirna mengambil duduk di sebelah anaknya.
Yuki yang sadar dengan kehadiran ibunya itu lantas memeluk dan mengadu dengan nada imut bahwa Bude Hani sudah menyakitinya.
"Sudah makan, Ki?" tanya Mirna sembari merapikan rambut Yuki yang menjuntai menutupi mata.
"Sudah kok, Bu."
Bude Hani yang senang melihat interaksi manis antara Mirna dan Yuki mulai mengambil peran. "Kemarin aku ajak ibumu diskusi untuk jodohin kamu sama keponakan jauh Bude. Jangan khawatir kalo Bude bakal pilih sembarangan. Anaknya ini sudah sarjana, punya pekerjaan tetap, gajinya besar juga, sukses pokoknya. Tapi ngenesnya dia masih belum punya pacar. Sayang, kan kalo nggak dicarikan pasangan? Rencananya Bude mau kenalin kamu sama anak ini. Mau, kan? Kamu sudah diberi tahu sama Ibumu, toh?"
Alis Yuki mengerut, tidak tahu menahu soal apa yang direncanakan oleh dua wanita di sampingnya. "Hah? Ibu belum cerita apa-apa, Bude," adunya.
"Loh, Mir, kamu belum ngomong sama anakmu?" Bude Hani melirik Mirna bingung, meminta penjelasan.
"Belum, Mbak. Ini rencananya mau aku bahas di rumah sama Yuki," tukas Mirna. Ia tidak mau menambah kesalahpahaman hingga membuat anaknya bersedih. Mirna lantas mengajak Yuki untuk pulang.
Setelah berpamitan, Mirna dan Yuki menyusuri jalan setapak menuju rumah. Sepanjang perjalanan, mereka banyak bersenda gurau. Tidak lupa, Yuki menceritakan aktivitasnya selama di kantor bersama rekan kerjanya, tentu saja bagian yang menyenangkan saja.
Menghabiskan waktu cukup lama bersama ibunya, Yuki menemukan fakta bahwa tubuh ibunya bertambah kurus. Jika dihitung, usia ibunya belum genap menginjak 50 tahun. Akan tetapi, uban sudah hampir menutupi seluruh area rambut kepalanya.
"Bu, nanti malam mau aku bantu warnain rambut, nggak?" tanya Yuki sambil menyampirkan rambut ibunya ke sela telinga. Dari jarak dekat, Yuki bisa melihat wajah ibunya dengan jelas. Ternyata bekerja keras membuat orang cepat terlihat tua.
"Nggak perlu, Ki," tolak Mirna, tidak lupa memperlihatkan senyum pada anaknya. "Kamu itu istirahat aja. Lihat ... " telunjuk mirna menunjuk area mata Yuki, "masa perempuan belum nikah kantung matanya sudah mleber kemana-mana?" Tangannya lantas mengusap area bawah mata anak sulungnya yang sedikit gelap karena kurang tidur.
Yuki merengut. "Ishhh, Ibu. Jelek-jelek begini banyak yang suka sama aku, loh!" belanya.
"Kalo banyak yang suka, harusnya kamu udah punya jodoh, dong."
"Tau, ah. Ibu lama-lama mirip sama Bude Hani." Kekesalan Yuki berhasil membuat Mirna tertawa.
"Ibu ..."
"Hmm?"
"Ibu sudah pernah ketemu sama keponakannya Bude Hani?"
"Sudah. Anaknya ganteng."
"Serius? Kok Ibu nggak pernah cerita sama aku?"
"Cuma lewat foto sih, Ki."
Haduh, Yuki hampir jantungan jika ibunya serius telah menemui pria yang rencananya mau dijodohkan dengannya itu.
"Tapi Ibu yakin anaknya baik. Kamu jangan takut dulu," ucap Mirna meyakinkan.
"Tahu darimana kalo dia anaknya baik?"
"Dari cerita Mbak Hani."
Yuki memutar bola matanya kesal. "Uki nggak masalah kalo Ibu minta aku kenalan sama keponakannya Bude Hani atau pria- pria lainnya di luar sana. Tapi, Bu ..." Yuki menjeda, coba memilih kata yang tepat, "jangan paksa aku menikah sebelum aku siap, ya." Satu permintaan yang sejak tadi bercokol dalam kepala Yuki akhirnya terlepas juga.
Mirna lantas menghentikan langkah, menatap lekat anaknya yang kini terlihat serius.
"Jangan anggap perhatianku buat keluarga malah jadi beban di mata Ibu. Uki kerja keras karena ini memang tugasku sebagai anak pertama. Lagipula, kalau aku sudah ketemu sama orang yang tepat, menikah bukan menjadi masalah, kok."
Jelas saja Mirna bungkam mendengar pernyataan Yuki. Bukan karena ia tidak suka dengan pemikiran anaknya itu. Ia akui bahwa Yuki merupakan anak yang baik, cerdas, dan bertanggung jawab. Namun setelah menyaksikan kejujuran dan ketulusannya, rasa bersalah Mirna semakin besar. Seberat apakah beban yang sudah ia limpahkan pada anak sulungnya selama ini?
Mirna memandang Yuki, tatapan dalam dan penuh harap itu jelas ada. "Tapi kamu coba dulu ya sama keponakannya Bude Hani. Soal hasil akhirnya, Ibu ikutin kamu maunya gimana," pintanya dengan suara lembut. Tidak ada yang tahu tentang takdir, kan? Bisa saja pria itu adalah jodoh yang pas untuk anaknya.
Setelah Yuki menjawab dengan anggukan pasrah, keduanya kembali melanjutkan perjalanan tanpa bersuara.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top