8 Perasaan Bagas
Roda kemudi yang tak tahu apa-apa itu, harus mau menjadi pelampiasan amarah Bagas yang sejak tadi memukul benda itu dengan kencang. Napasnya naik turun tak beraturan dengan wajah yang masih saja tegang. Setiap mengingat bagaimana wajah Leira yang tampak merona dan bahagia, ada rasa tak terima yang Bagas rasa. Leira sangat kejam, serupa wanita iblis yang tak memiliki nurani. Demi apa Leira meninggalkannya untuk pria tua itu?
Satu pemikiran terlintas di benak bagas. Mungkin benar yang Queena katakan tentang Leira yang tak ingin hidup susah. Bagas melihat jelas saat Leira keluar toko perhiasan dengan satu tas belanja berlogo toko itu. Wanita mana yang tak suka emas dan permata? Namun, sepertinya wanita itu lupa jika bagi bagas, benda itu bukanlah barang mahal.
Bagas berada di mal untuk membeli beberapa perlengkapan kerja pribadi yang ia butuhkan. Tanpa sengaja, saat tengah memilih hard disk untuk menyimpan data khusus hotel yang sedang ia bangun, matanya melihat Leira tengah memilih unit laptop bersama pria tua yang senantiasa merengkuh pundaknya. Amarahnya bergemuruh, tetapi rasa penasaran lebih mendominasi pria itu.
Setelah traksaksinya membeli perlengkapan untuk data-data itu selesai, alih-alih pulang atau makan malam, Bagas justru membuntuti Leira yang lanjut menuju toko baju ternama. Dalam jarak yang cukup, mata Bagas terus mengamati pergerakan Leira bagai seorang pembunuh yang siap menelan korbannya sesaat lagi. Seperti seorang yang mengalami gangguan jiwa, beberapa kali Bagas mengambil gambar Leira tang tengah tertawa. Ada kepuasan dalam hatinya, meski lebih banyak rasa kecewa.
Hingga saat ia sampai kembali di kamarnya yang ada di hotel, Bagas masih saja bingung dengan sikapnya. Ia sadar betul seperti orang gila yang memilih tidur sambil memperhatikan hasil bidikannya saat membututi Leira tadi, alih-alih mengangkat panggilan dari ibu dan istrinya.
Entah ini sudah panggilan yang keberapa, Bagas terus saja menolak panggilan dari ibu dan istrinya. Ia meletakkan ponselnya di kasur dan memejamkan mata. Hidupnya terasa berat, terlebih setelah banyak penghianatan yang ia terima. Bayangan wajah Leira yang tampak semakin cantik terus saja berputar di pikirannya. Ada gemuruh dan gairah yang menjerat dirinya, tetapi ia tahu tak bisa melepaskan apa yang ia rasa.
Leira memang kurang ajar. Seharusnya perempuan itu bisa bersabar sedikit saja dan menunggunya. Seharusnya perempuan itu tahu jika apapun yang sudah mereka sepakati, tak bisa diingkari.
Helaan napas lelah terembus dari Bagas yang penat. Pernikahannya pun terasa menjemukan, ditambah sekarang perempuan yang ia cinta bahagia di atas penderitaannya. Dadanya terasa sesak mengingat sebarapa besar beban yang harus ia tanggung.
Ponselnya berdering lagi. Ia tahu siapa yang menghubunginya tetapi tak berminat untuk bicara. Ia ingin sendiri, pergi, hilang, dan bersahabat dengan sepi. Ia ingin kedamaian dan ketenangan. Jakarta terlalu sesak dan penat, tetapi tak meninggalkan orangtua yang membutuhkannya.
Mata Bagas terbuka, karena dering ponsel itu tak sedikit pun berhenti. Ia meraba kasur dan mengambil ponselnya untuk diangkat. Bagas sadar betul, seberat apapun beban yang ia miliki dan sehancur apapun hatinya, ia tak bisa lari dari tanggung jawab.
"Iya, Queen? Maaf, aku baru selesai meeting dan sekarang lelah." Berdusta pada istri itu tidak baik. Bagas tahu betul soal itu. Namun, mau bagaimana lagi jika rasa yang ia coba bangun untuk Queena ternyata hancur juga?
"Aku—ganggu kamu, ya?"
"Iya. Aku lelah. Kalau tidak ada yang penting dan mendesak, bisa akhiri sambungan ini? Aku ingin istirahat."
Hening menjeda beberapa saat, sebelum akhirnya Queena bersuara lirih. "Jaga kesehatan, Bagas. Tidurlah. Aku akan selalu menunggu kamu. I love you." Sambungan terputus dan tak ada yang berubah di hati Bagas. Dingin, hampa, sepi, dan ... tak ada emosi.
*****
Konstrukti untuk taman aglonema sudah sembilan puluh persen selesai. Kontraktor yang menangani pembangunan hotel ini sangat bagus dan bekerja sesuai dengan tenggat waktu yang dijanjikan. Dari ruang kerjanya, Bagas melihat bagaimana Aleira tampak penuh semangat memerintah beberapa orang untuk menurunkan tanaman dari sebuah pik up. Aleira cantik. Meski hanya mengenakan kaus kerah, celana jins, dan sepatu boots karet, pesona perempuan itu tetap menguar dengan baik.
Entah sudah berapa lama Bagas berdiri di balik jendela ruang kerjanya, hanya untuk memperhatikan bagaimana Leira tampak lihai memindah tanaman-tanaman itu ke dalam pot. Bagas tidak tahu banyak tentang aglonema atau tumbuhan lainnya. Namun, ia setuju dengan Pak Mansyur yang berkata jika selera Aleira soal tanaman tak diragukan. Senyum Bagas bahwa tanpa sadar terlengkung saat melihat Leira meletakkan rangkaian pot aglonema di salah satu sudut taman itu. Leira tampak bahagia dengan yang ia lakukan dan tampak bahagia dengan hidup yang perempuan itu miliki.
Bagas bimbang. Satu sisi ia ingin berdamai dan kembali membangun komunikasi dengan Leira, tetapi di sisi lain, egonya terusik. Jelas Leira yang berhianat, mengapa ia harus mengalah dan memulai duluan?
Ketukan pintu membuat Bagas tersadar dari lamunannya. Ia berbalik dan mempersilakan siapapun yang mengetuk pintu itu untuk masuk.
Pak Mansyur datang dan melaporkan tentang Leira dan timnya yang datang untuk mulai menanam tanaman dan menata dalam taman. Bagas hanya mengangguk dan menyetujui laporan yang disampaikan bawahannya.
"Bapak mau lihat ke lapangan? Mungkin ada koreksi yang bisa Mbak Leira perbaiki ke depan?"
Bagas enggan, tetapi tawaran itu tampaknya boleh juga dicoba. Setidaknya, ia bisa melihat wajah Leira lebih dekat dan mengintimidasi perempuan itu dengan mencari kecacatan hasil kerja.
"Boleh," jawab Bagas dengan wajah yang ia buat tak tertarik padahal ada sedikit antusias yang hadir dalam hati.
"Kalau begitu, mari saya antar, Pak Bagas." Pak Mansyur yang sedang penuh semangat, mengarahkan atasannya untuk keluar ruangan dan mengikutinya menuju taman yang sudah mulai ditata oleh tim Aleira.
Bagas tak bisa menampik, bahwa taman ini mulai terlihat hidup dan manis. Deretan aglonema berwarna pink muda dengan daun yang lebar berjejer di sepanjang pintu masuk taman. Di sebelah kanan, ada rak dengan susunan pot berisi aglonema dengan daun yang warna merah. Di sebelah kiri, beberapa rak menjulang tinggi dengan pot-pot cantik berisi aglonema dengan jenis yang berbeda-beda.
"Saya merasa kita tidak salah memilih vendor tanaman. Mbak Leira pandai menata hingga saya yakin taman ini akan menjadi ikon hotel kita. Di ujung sana nanti, akan kami bangun angkringan kecil. Jadi, pengunjung bisa menikmati teh dan aneka camilan tradisional sambil menikmati keindahan taman ini."
Bagas mengangguk. "Minta bagian marketing membuat aneka promo dan paket harga untuk angkringan itu."
"Sedang di pojok sana," lanjut Pak Mansyur sambil menunjuk arah lain. "Akan dibangun kios sederhana dengan satu meja transaksi dan dua rak untuk menjual aglonema jenis premiun. Rencana saya, untuk yang satu ini, kita harus menjalin kerjasama dengan banyak floris, bukan hanya Mbak Leira."
Bagas lagi-lagi mengangguk sambil terus melangkah pelan. "Atur saja," jawabnya seraya terus memperhatikan hal-hal detil demi mencari celah untuk menegur Leira. Sayangnya, semua tampak rapi dan sempurna. Bagas tak menemukan apapun untuk pria itu keluhkan.
"Mbak Leira tadi lapor saya, kalau hari ini baru menurunkan dua puluh persen dari total pesanan kita. Dia mau menanan semua aglonemanya sendiri dan itu membutuhkan banyak waktu. Jadi, Mbak Leira meminta izin untuk melakukan pengiriman secara partial."
Kini, Bagas menatap Pak Mansyur dengan mata berkilat. Sepertinya ia bisa menegur Leira tentang rencana perempuan itu. "Saya ingin bicara dengan Leira. Di mana dia?"
Pak Mansyur mengarahkan pandangannya pada sosok yang sedang duduk membelakangi mereka. Leira tampak memegang ponsel yang menempel pada telinga perempuan itu. "Sedang dalam sambungan sepertinya, Pak."
Bagas tak mendengarkan Pak Mansyur untuk kali ini. Pria itu melangkah santai dengan rasa asing yang perlahan berdesir. Langkahnya terhenti dengan tubuh yan menegang, saat rungunya jelas mendengar tawa ringan dari Aleira.
"Iya. Pak Mansyur bilang kerja Leira bagus. Dia suka dengan pilihan tumbuhan kita. Terima kasih, Om. Laptopnya berguna sekali. Lei jadi lebih mudah bekerja. Lei sayang sama Om."
Tawa Leira yang lagi-lagi menguar, membuat Bagas tak bisa menahan gejolak emosi yang menggulung hatinya. Ia melangkah tegas hingga berada di depan perempuan itu dan menunduk dengan gestur penuh intimidasi.
"Ibu Leira," panggilnya dengan nada dingin dan tegas, mengabaikan wajah Leira yang tampak kaget dan pucat melihatnya.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top