6. Mati Rasa
"Jadi gitu, Om. Om setuju, kan, dengan rencana Lei?"
Leira mengangguk-angguk pelan sambil mencatat apapun yang pamannya ucapkan dari seberang sana. Sudah sekitar tiga puluh menit perempuan itu tersambung dengan pamannya melalui ponsel. Ia sedang berada di kios bunga milik mereka yang ada di kawasan air terjun Jumog. Pagi ini Leira memutuskan untuk mampir ke kios ini demi mendata apa saja yang harus ia pesan dari petani tanaman hias di Salatiga yang menjadi rekan bisnisnya.
"Big roy, snow white, heng-heng, twingkle, lipstik, dan suksom. Lei juga mau ada rodhotum aceh dan venus. Oya, Pak Mansyur juga mau pesan tiga ratus donna carmen untuk souvenir pembukaan hotel itu nanti. Jadi, tiga ratus pengunjung pertama akan mendapat donna carmen, katanya."
Leira melanjutkan laporannya seraya terus mencatat apapun arahan sang paman. Meski sudah tahunan menggeluti bisnis tanaman hias, Leira belum berani mengambil keputusan sendiri. Ia masih membutuhkan pendapat dan pandangan pamannya yang lebih memahami bisnis pertamanan dan tanaman hias.
"Oke. Jadi, nanti Lei bilang ke orang Kopeng untuk siapkan heng-heng dan red sumatra, ya? Big roy kayaknya kita masih ada puluhan pohon yang bisa dipecah. Juga snow white dan lipstik. Leira coba cek ke kios milik Bu Marni dan Mas Idham. Barangkali mereka bisa bantu suplai untuk kita."
Sambungan itu akhirnya selesai setelah lima halaman lebih sudah penuh catatan. Buku tulis bergaris jaman Leira sekolah dulu, masih menjadi senjata andalan Leira untuk bekerja. Ia belum berpikiran untuk sedikit lebih canggih dalam hal pencatatan. Baginya, usaha ini berjalan saja sudah cukup. Lagipula, ia selalu laporan kepada pamannya dan beliaulah yang akan membuat pencatatan.
Leira meletakkan buku tulis itu di laci meja sederhana yang ada di kios. Ia lalu melangkah ke luar kios dan berjalan ke kebun belakang tempat area pembibitan tanaman yang akan dijual.
"Maya," panggil Leira saat ia sampai di area pembibitan. Perempuan itu menghampiri salah seorang karyawan pamannya yang suka sekali mencampuri kehidupan pribadinya. "Kita punya berapa big roy, ya? Saya mau hitung untuk pesanan hotel Pak Mansyur."
Maya yang tengah fokus memecah kuping gajah mini, hanya melirik Leira dengan malas. "Coba tanya Nuri. Kemarin dia yang sibuk memecah indukan big roy dan lipstik. Dia sedang memecah sansivera di sana. Kamu tanya dia. Aku sibuk. Ada pesanan kuping gajah dan sirih gading banyak."
Aleira hanya bisa menghela napas panjang dan terus bersabar mendapati respons Maya yang kurang koperatif. Leira tahu, Maya memang agak ketus dan pedas dalam berbicara. Ia juga tak bisa bersikap keras pada Maya dan Nuri, karena menurut Leira, posisi mereka sama. Sama-sama anak buah Paman Tino, meski Leira masih ada hubungan keluarga dengan pemilik usaha tanaman ini.
"Kok malah bengong, sih, Lei? Kerja sana. Itu Nuri keburu pulang karena dia mau izin setengah hari kerja. Kamu gak lupa, kan, kalau dia punya mertua yang mau kontrol gula ke rumah sakit? Kami ini bukan kamu yang hidup sendiri dan tak perlu memikirkan orang lain." Maya mendumal dengan mata yang terus fokus pada pot, tanah, dan tanaman kuping gajah. "Aku juga gak bisa lembur. Setelah menata sirih gading putih, mau lekas pulang karena anakku minta diantar beli tas bludru."
Leira tak menanggapi. Ia menatap Maya sesaat, lalu melangkah menuju Nuri yang sedang menata polibag berisi aneka jenis lidah mertua.
"Nuri," panggil Leira pelan, lalu ikut jongkok di samping perempuan yang tangannya sibuk memotong bonggol sansiviera centong. "Kamu kemarin ada pecah indukan big roy? Punya kita keseluruhan ada berapa, ya? Kamu hitung, kan, kemarin?"
Nuri menoleh kepada Aleira dan mengangguk pelan. "Big roy sekitar enam puluh polybag. Aku menyimpan sepuluh indukan yang tidak kuletakkan di depan tiga kios."
Leira mengangguk. "Untuk lipstik?"
Kening Nuri tampak mengernyit sesaat sebelum menjawab, "Agak banyak kemarin. Lebih dari delapan puluh. Hanya saja aku kurang tahu stok per hari ini ada berapa. Pasti sudah terjual beberapa."
"Kalau gitu aku akan telepon dua kios kita untuk tarik semua aglonema. Hotel tempat Pak Mansyur kerja memesan banyak aglonema. Jadi, sementara kita tidak jual aglonema dulu, sampai kebutuhan hotel Pak Mansyur terpenuhi."
Nuri mengangguk, lantas kembali menekuri tanah dan polibag. "Aku izin setengah hari, ya, Lei. Mertuaku lagi kumat diabetesnya. Aku harus antar berobat."
"Aku tahu," sahut Leira seraya mengangguk dan berdiri. "Aku akan jaga kios ini menggantikanmu." Ia berjalan kembali menuju kios saat terlihat ada sekumpulan ibu-ibu turun dari mobil dan memasuki kios tanamannya.
Sore hari ini langit terlihat lebih gelap dari biasanya. Kawasan wisata Jumog juga sudah mulai sepi sejak tadi, lebih cepat dari biasanya. Aleira menduga, mungkin saja cuaca dan gerimis yang siang tadi hadir memengaruhi durasi pengunjung menikmati wisata alam ini.
Maya sudah pulang sejak lima belas menit lalu, setelah anaknya menghubungi dan meminta perempuan itu pulang. Tinggalah Leira sendiri yang akhirnya memutuskan untuk menutup kios lebih cepat. Ia ingin berada di rumah sendiri, menenangkan diri dan mencoba untuk mengabaikan bayang Bagas yang terus berputar di benaknya.
Saat para rombongan ibu-ibu yang mengaku klub senam itu menawar jenis-jenis kalatea, Leira bahkan tak bisa bertahan karena konsentrasinya terus saja terpecah. Bayangan wajah Bagas dan bagaimana sinisnya pria itu kepadanya, membuat satu sisi hati Aleira terluka. Ia bahkan sulit tersenyum saat para ibu-ibu usia empat puluhan tahunan—taksiran Leira—terus mengoceh tentang negosiasi dan tawar menawar. Enggan terlalu lama berada di kumpulan ibu-ibu itu, Aleira mengiakan saja permintaan mereka.
Ia ingin menangis dan meratapi nasib percintaannya. Malam ini sepertinya waktu yang tepat. Maya benar, jika dirinya tidak seperti mereka yang memiliki anak, suami, dan mertua. Aleira sebatang kara, sendiri, berteman sepi, dan tak memiliki siapapun untuk berbagi. Ia selalu melewati malam dalam sepi seorang diri.
Menghela napas panjang, Leira beranjak dari kursinya dan mengambil kunci pagar kios. Ia memasukkan beberapa polybag yang terletak di luar pagar, lalu bersiap pulang. Saat pintu pagar kios sudah tergembok, ia berbalik dan seketika tubuhnya menegang. Hanya beberapa detik terkejut, sebelum akhirnya ia bisa mengendalikan diri dan memasang wajah datar seakan tak peduli siapa yang menghampirinya sore ini.
"Aku cinta kamu, Lei. Apa yang harus kulakukan agar kamu percaya?"
Aleira mencoba abai dan tak menoleh pada duda itu. Ia berjalan menuju motornya dan naik ke kendaraan itu. Pergerakan Leira yang hendak memutar kunci jadi terhenti saat tangannya dipegang oleh Yongki. Ia menyentak dengan mata yang melirik sinis pada pria yang membohongi sekaligus melukai kepercayannya terhadap pria.
"Saat aku mendekatimu, rumah tanggaku sudah berantakan. Dia terlalu banyak menuntut dan aku tak tahan. Aku menyukaimu, mencintaimu, dan menginginkanmu dalam hidupku." Sorot mata Yongki penuh permohonan. "Maafkan aku yang dulu tak berani jujur kepadamu. Rasa cinta ini membuatku rendah diri dan memilih menutupi kebenaran darimu. Namun, sungguh sekarang aku tak lagi berkeluarga dan ingin mengajakmu meniti rumah tangga."
Aleira mengukir senyum segaris dengan wajah yang ia buat dingin. "Aku tidak pernah menarik kembali keputusan dan ucapanku, Mas. Jika aku bilang kita selesai, artinya selesai. Mas Yongki bisa mencari wanita lain. Aku tidak akan membuka kesempatan apapun untuk Mas. Maaf."
Tanpa peduli dengan pembelaan yang Yongki keluarkan, Aleira menghidupkan motornya dan langsung melaju kencang. Tangisnya entah mengapa merebak tanpa bisa ia cegah. Ia sakit hati, terlalu sakit hingga rasanya sulit untuk merasakan cinta lagi. Ia pernah memiliki harapan yang sangat tinggi dengan seorang Bagas yang selalu membuatnya berani memiliki mimpi untuk digapai. Namun, semua itu hancur bagai kaca yang jatuh dari ketinggian dan tak bisa ia susun lagi, saat tahu Bagas tak akan kembali dan tak membalas surat serta pesan yang ia kirimkan.
Ia pernah mencoba menaruh harapan lagi saat Yongki datang dan memberikan kesempatan untuk bahagia. Sayangnya, kenyataan membuatnya seketika mati rasa dan menganggap bahawa takdir memang menuliskan nasibnya untuk hidup seorang diri.
Aleira tak mungkin memilih Yongki untuk menjadi pendamping, mengingat kebohongan besar yang membuatnya malu sampai ubun-ubun. Ia juga tak bisa lagi memperjuangkan Bagas yang sudah beristri dan selalu menatapnya dengan sorot benci.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top