5. Meeting
Bukankah seharusnya Alleira yang kecewa dan benci? Ah, tidak, tidak pernah ada benci untuk Bagas dalam hati hingga aliran darahnya. Perpisahan manis mereka empat belas tahun lalu, seharusnya Alleira sadari hanyalah salah satu momen semu. Tak ada pria yang tulus menjanjikan sebuah masa depan, apalagi usia mereka masih sangat muda.
Seharusnya, di tahun kelima penantiannya, Leira menyadari dan tahu diri jika Bagas mungkin saja sudah memiliki kekasih di luar negeri sana. Terbukti, bukan? Jika akhirnya ia mengetahui fakta baru jika Bagas justru menikahi Queena. Mungkin ucapan si gadis tetangga Bagas itu benar, jika orang-orang dari kalangan seperti Bagas dan Queena, hanya akan mencari pasangan dari golongan yang sama.
Jadi, Leira sebaikanya berhati besar dan tak perlu lagi bersedih, lalu enggan menghadiri pertemuan untuk menandatangani perjanjian kerjasama yang sudah disepakati. Gadis itu turun dari motornya, lalu berjalan denagn gugup menuju lobi hotel. Ia menghubungi Pak Mansyur dan berkata akan menunggu di salah satu sofa lobi.
Tak lama, Pak Masyur datang dan mengajak Leira menuju ruang rapat. "Pak Bagas sudah menunggu. Ada beberapa tambahan kerja sama yang ingin Pak Bagas ajukan, Mbak." Dengan gaya profesional, Pak Mansyur mengarahkan Leira menuju ruang itu.
Saat pintu ruang rapat ini dikuak, tubuh Leira rasanya seperti nyaris membeku. Ruangan ini bisa menjadi gambaran, bagaimana dingin hawa dan wajah Bagas yang sudah duduk menunggu di sana. Gesturnya tegas, dengan gaya duduk yang tegap menunggu tamunya.
"Se—lamat pagi, Pak Bagas." Leira bahkan gugup juga canggung kala memasuki ruangan ini. Ada emosi yang tak bisa ia gambarkan, saat mata Bagas menatapnya dengan sorot tajam penuh intimidasi. Sebentar, mereka ini akan bertemu untuk perjanjian kerjasama, bukan? Jadi, mengapa Bagas harus menyambutnya dengan sinis seperti ini? Leira jadi bingung dan takut sendiri.
"Silakan duduk, Mbak Leira." Pak Mansyur memecah tegang yang terasa melingkupi mereka. "Saya pesankan minuman hangat sebentar, agar meeting kita terasa lebih cair dan hangat," kelakarnya seraya beranjak meninggalkan Leira bersama Bagas.
Leira hendak menolak. Maksudnya, Leira tak ingin Pak Mansyur pergi dari sisinya. Ia tak peduli pada minuman hangat atau suguhan apa pun lainnya. Leira hanya ingin ditemani menghadapi Bagas yang tampak bereda dari empat belas tahun lalu. Namun, Pak Mansyur yang bergerak cepat meninggalkan mereka, membuat Leira harus pasrah bergerak canggung seperti berada di kursi pesakitan, menunggu eksekusi mati.
Hening merajai saat pintu tertutup. Ruangan ini seharusnya terang benderang, tetapi rasanya redup dan mengerikan. Leira hanya duduk menunduk, melewati setiap detik yang terasa berjalan lambat.
Bagas pun tak bersuara. Hanya embusan napas yang terdengar liirh di antara mereka. Hati Leira rasanya campur aduk. Antara takut, bingung, juga bahagia. Ia takut dengan perubahan yang Bagas tampakkan saat ini, bingung dengan apa yang trejadi hingga sikap pria itu jadi dingin dan mengapa tiba-tiba ia mendapati fakta bahwa Bagas menikah dengan Queena. Namun, Alleira tak menampik jika ada bahagia mendapati bertemu bagas kembali.
Dengan jantung yang berdegup kencang, Leira mengangkat wajahnya dan mencoba tersenyum kepada pria di seberangnya. "Bagas—apa kabar?" Suara Leira lirih dan sedikit terbata. Kentara sekali jika perempuan itu tengah gugup habis-habisan. Hatinya berharap Bagas akan sedikit melunak dan hangat andai mereka bicara tentang hal yang bukan pekerjaan, hal yang mungkin saja masih tersimpan di hati pria itu tentang masa lalu indah mereka.
Hingga beberapa detik berlalu, mulut Bagas masih saja terkunci. Alleira tahu, ia tak bisa berharap banyak kepada pria yang sudah beristri. Bagas bukanlah Yongki yang tetap tersenyum manis dan tebar pesona saat istri pria itu berada di rumah menunggu suaminya. Bagas pasti tipikal pria yang menjunjung tinggi komitmen, apalagi sebesar pernikahan. Membayangkan bagaimana bahagianya menjadi Queena, ada cemburu yang memeras hati Leira dan membuat dada perempuan itu terasa nyeri.
"Maaf." Leira menunduk lagi. "Tidak seharusnya aku—"
"Buruk." Suara Bagas terdengar. Leira yang sudah menunduk dan mengaitkan jemari kedua tangannya, seketika mendongak dan menatap Bagas penuh tanya. "Seburuk sikapmu dulu."
Mulut Leira terbuka. Ia terperanjat mendengar jawaban sinis yang Bagas lontarkan. Buruk? Sikapnya yang mana yang buruk di mata Bagas? Halo, bukankah justru Bagas yang berhianat dan mengingkari ucapan pria itu sendiri? Leira bahkan masih sendiri, tertutup, enggan membuka hati dan mengenal pria lain lagi, terutama sejak putus dengan Yongki. Dalam hati perempuan itu masih tersimpan sosok sang majikan yang selalu memberinya semangat untuk maju dan berkembang.
Sedang Bagas? Pria itu pergi, menghilang, tak pernah mencoba memberi kabar, menikahi perempuan yang tak pernah Leira sangka, dan kini menatapnya penuh benci dan menuduh Leira melakukan hal yang buruk. Sungguh Bagas benar-benar pria yang tak lagi Leira kenal.
Mata leira terasa memanas, padahal pendingin ruangan ini bekerja dengan sangat baik. Ia mengerjap seraya membuang pandangan demi bisa menormalkan emosinya yang seketika bergejolak.
"Aku ... buruk? Sikapku buruk? Apa maksudmu, Bagas?" tanya Leira liris seraya mengusap ujung matanya dengan cepat. "Justru yang kulihat sekarang kamu menikahi perempuan yang—" Ucapan Leira terhenti saat pintu ruang itu terbuka dan Pak Mansyur datang bersama seseorang yang membawa baki.
"Silakan dinikmati, Mbak Leira. Saya memilih wedang uwuh, pisang rebus, dan Getuk Semar sebagai kudapan kita selama meeting." Senyum Pak Mansyur terbit penuh sopan santun.
Setelah semua hidangan tersaji, Pak Mansyur mulai membuka meeting kali ini. Pria itu menjelaskan kepada Bagas tentang konsep taman aglonema yang Leira ajukan dan memberikan Leira beberapa masukan menurut pandangannya.
"Jadi, bagaimana, Pak Bagas? Saya juga sudah memberikan kepada Mbak Leira tentang anggaran pembuatan taman itu. Mbak Leira bersedia mengatur jumlah dan jenis aglonema yang akan ditanam agar kubutuhan kita bisa masuk ke anggaran yang sudah disetujui."
Sejak tadi, Bagas tak begitu mendengarkan apa yang bawahannya sampaikan. Yang terus berputar di pikiran pria itu hanyalah bagaimana caranya menghukum Leira dan memberi perempuan itu pelajaran. Sakit hati yang Bagas rasa masih ada dan rasa terhianati belum juga hilang sedikitpun. Apa susahnya bersabar dan percaya dengan dirinya? Mengapa Leira harus pergi tanpa pamit dan menghianati apa yang sudah terikat di antara mereka.
"Pak Bagas, bagaimana?"
Bagas mengerjap cepat, mengumpulkan kesadaran. Ia menatap Aleira yang terdiam dengan wajah pias dan sorot penuh emosi tak terbaca. Hati dan pikiran Bagas bekerja cepat demi bisa memutuskan apa yang harus ia lakukan pada kerja sama ini. Takdir sedang berbaik hati kepadanya, yang akhirnya memberikan kesempatan kepadanya untuk bertemu Leira setelah pencariannya yang panjang.
"Jika bagian keuangan sudah menyetujui pengajuan anggaran yang Pak Masyur berikan, saya setuju saya dengan semua pemaparan rencana Bapak." Bagas berucap datar dan tegas. "Namun, saya hanya ingin menegaskan satu hal, bahwa saya menginginkan seseorang yang bertanggung jawab penuh atas pengaturan taman dan pemeliharaan. Saya tidak ingin investasi saya layu dan mati akibat kelalaian dan sikap tak bertanggung jawab." Kini mata Bagas mengarah pada Leira dengan sorot tajam dan menghunus. "Saya ingin ada jaminan bahwa tanaman-tanaman itu tak akan mati ditinggal tanpa kejelasan dan tanggung jawab."
Pak Mansyur terdiam. Agaknya pria itu sedikit bingung dengan permintaan bosnya. "Maksud Bapak, kita—butuh seseorang yang memantau dan turun tangan langsung selama penanaman aglonema? Karena untuk bagian konstruksi taman, tentu sudah menjadi tanggung jawab kontraktor hotel ini."
Bagas menatap Pak Mansyur dan mengangguk pelan. "Tetapi kontraktor tidak bertanggung jawab terhadap tanaman yang akan kita pakai. Jadi, pastikan perempuan ini yang turun tangan menanam semua tumbuhan itu dan memastikan mereka tumbuh dengan subur. Saya tidak mau dia lari dari tanggung jawab dan perjanjian di antara kita. Saya tidak ingin dikelabui lagi."
Aleira tersentak dengan mulut yang terbuka. Perempuan itu tak habis pikir dengan ucapan Bagas tentang lari dari tanggung jawab dan perjanjian. Dikelabui? Siapa yang mengelabui Bagas hingga pria itu menjadi sinis dan keji begini?
Pak Mansyur berdeham sambil menatap Aleira dengan sorot sungkan. "Jadi—gimana, Mbak Leira? Atasan kami setuju dengan kerjasama ini, dengan perjanjian bahwa Mbak Leira sendiri yang harus turun tangan memastikan aglonema pilihan kami tumbuh dengan subur dan baik. Karena jika tidak, agak sulit bagi kami melanjutkan kerjasama ini."
Ada gemuruh dalam hati Aleira. Jika bisa, ia ingin menggebrak meja dan meneriaki Bagas yang tampak semena-mena. Ia tak terima diintimidasi seperti ini. Tanpa ada syarat dan ketentuan apapun, Aleira pasti turun tangan memantau pembuatan taman aglonema ini. Ia bukan anak kemarin sore yang tidak memiliki dedikasi dalam bekerja. Bagas terlalu keji memandangnya sebelah mata begini.
Aleira menghela napas dengan lirih dan pelan. Mati-matian perempuan itu menekan emosi, demi kesopanan dan tata krama dalam bisnis yang pamannya ajarkan. "Baik. Saya akan membuat surat pernyataan bahwa akan turun tangan sendiri untuk menanam dan menata tumbuhan yang tertera dalam surat kerjasama. Saya akan memastikan mereka tumbuh dengan baik dan akan merawatnya secara berkala dan rutin."
"Alhamdulillah. Terima kasih, Mbak Leira. Setelah ini saya akan langsung memproses surat perjanjian kerja samanya dan mulai pengajuan pembayaran termin pertama." Pak Mansyur terlihat senang dan lega.
Berbeda dengan Aleira yang tiba-tiba menegang dengan jantung yang berdegup kencang, mendapati bagas menyeringai sinis dengan tatapan mata penuh intimidasi.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top