4. Sakit Hati
Padahal, hujan sudah reda. Matahari yang sejenak menghilang tadi pagi, kini sudah kembali lagi menerangi alam Ngargoyoso. Seharusnya kondisi Leira semakin baik, pun penampilannya, karena bajunya sudha berangsur kering. Namun, gadis itu justru merasa hancur dan lebih berantakan akibat tangis yang tak bisa ia cegah.
Bagas menyetujui kesepakatan kerjasama ini. Pak Mansyur memberinya ucapan selamat dan semoga kerja sama berjalan dengan baik. Pria seumuran Yongki itu tampak antusias dengan semua rencana dan rancangan yang Leira ajukan. Ia bahkan berkata kepada Leira, jika menemukan jenis Aglonema langka yang cantik, ia akan berjuang agar hotel bisa memiliki jenis tumbuhan itu, demi menarik minat pengunjung dan tamu.
Dari segala hal baik yang ia terima pagi tadi, seharusnya Leira tersenyum senang dan bangga kepada dirinya, bukan? Lalu, mengapa justru tangis pilu yang menemaninya melaju kembali ke kios? Hatinya remuk. Kecewa satu kali lagi dengan tingkat kehancuran yang tak lagi bisa ia jabarkan. Hancur sudah, segala hal yang ingin ia simpan sebagai harapan, kini hancur total. Ia memang bodoh. Seharusnya ia sadar di tahun ke lima menunggu Bagas, harusnya ia tak lagi menyimpan harap dan menunggu pria itu. Hingga empat belas tahun mereka berpisah, bukan hal aneh jika Bagas sekarang memiliki kehidupan sempurna dan berkeluarga bersama ....
"Queena," ucap Leira lirih di tengah sengguk tangisnya. "Kenapa jadi dia?" Tangis itu pecah lagi dengan pikiran yang harus terus konsentrasi dengan lalu lintas menuju kios milik Paman Tino.
Dengan segala sisa kekuatan yang masih tersimpan, Leira berusaha untuk tenang dan terus menghela banyak oksigen. Motornya sudah sampai di dalam kios dan perasaannya tidka bertambah baik saat mobil Yongki sudah terparkir di sana. Ia turun dari motor dan berjalan dengan langkah tanpa semangat.
"Aku bawa jenis miana baru, juga begonia yang bentuknya lucu." Sambutan Yongki yang tengah membawa pot bunga ukuran sedang, tak digubrik oleh Leira. Tanpa peduli dengan wajah pujaan hatinya, Yongki mengikuti arah Leira masuk dengan terus membawa pot itu. "Kamu ada keinginan cobain bonsai kamboja gak? Aku bisa ajarin kamu cara buatnya. Agak sulit sih, tapi aku yakin kamu bisa."
Langkah Leira terhenti. Ia berbalik dan menatap Yongki dengan wajah enggan. "Bukankah sudah aku tegaskan, kalau kita gak akan pernah bersama, Mas? Aku gak mau disebut perebut suami orang. Terlalu banyak hal buruk yang aku dapatkan dalam hidupku, dan aku gak ingin kamu juga menjadi salah satu dari itu."
Senyum Yongki terukir samar dan lembut. Ia meletakkan pot berisi begonia cantik itu di atas meja, lalu mendekati Leira yang tampak meneteskan air mata. Tangan Yongki terulur mengusap lelehan air mata di pipi Leira, lalu menarik tubuh gadis itu ke pelukannya. "Jangan terlalu hanyut dalam pikiran buruk, Lei. Kamu bukan perebut suami orang. Aku akui aku salah, menyembunyikan status pernikahanku saat kita menjalin hubungan. Namun, tak ada yang bisa menghalangi cinta dan perasaan nyamanku saat berada bersama kamu. Dulu adalah dulu, masa lalu yang tak perlu kita lihat dan jadikan beban. Sekarang aku sendiri, kita bisa merajut lagi segala hal yang sempat rusak."
Alleira melerai pelukan itu sekuat tenaga. "Sudah hancur, Mas, bukan rusak lagi. Sudah tak bisa dibenahi, atau diulang kembali." Gelengan Alleira sekali lagi menjadi jawaban dari ajakan Yongki, sejak beberapa hari lalu, sejak mereka mencoba kembali bicara hati ke hati. "Apa pun alasan Mas tentang dua tahun lalu, bagaimana pun peliknya rumah tangga Mas saat itu, yang kita lakukan tetap saja salah. Mas memperumit semuanya dengan membawaku menjadi sosok yang terlihat seakan menjadi pihak ketiga. Aku trauma mendengar caci maki istri Mas dan keluarga Mas yang memandangku hina. Andai kita terus memaksa hubungan ini, aku tak yakin akan bahagia."
"Kita hanya perlu mencoba dan berusaha lebih keras, Lei."
Alleira menggeleng lagi, seraya mengambil ponsel yang berdering di sakunya. "Aku lebih baik sendiri, daripada harus sakit hati lagi." Tanpa mempedulikan Yongki yang hendak membantah, Leira mengangkat panggilan itu dan menjawab sapaan pamannya. Ia melaporkan pertemuan yang baru saja ia hadiri di Alam Nirwana Hotel and Resort itu, hingga rencana penandatanganan perjanjian kerja sama yang akan dilakukan minggu depan. "Oke. Lei tunggu Om pulang. Jangan lupa bawakan pestisida dan pupuk kimia yang waktu itu Lei kabarkan stoknya menipis. Lei agak malas ke kota untuk belanja." Sambungan terputus saat Leira selesai membahas keperluan bisnis tanaman hias milik Paman Tino.
"Om Tino ..., akan pulang minggu ini?" Yongki bersuara saat Leira meletakkan ponsel ke dalam saku celananya lagi. "Aku akan menemui beliau dan meminta maaf, juga ... restu untuk kita bersama lagi."
"Mas Yongki, tolong!" Alleira sedikit membentak, meski suaranya lirih dan serak. "Tolong jangan memperumit hidup dan perasaanku dengan segala hal yang ingin Mas paksakan itu."
Yongki terdiam. Ia tertegun melihat mata Leira yang tampak memerah dengan wajah tegang dan tubuh gemetar.
"Pergi sekarang, Mas. Pergi." Air mata Leira turun lagi, seperti hujan yang saat ini kembali membasahi bumi. "Aku sedang ingin sendiri. Tolong jangan ganggu aku dan pergilah sekarang juga." Sesak di dada Leira dan tubuhnya yang gemetar, membuat Yongki akhirnya tak lagi mencoba bersuara dan berbalik meninggalkan gadis yang kini meluruhkan tubuhnya pada sebuah kursi.
******
Tiga malam Leira tak bisa setenang kemarin-kemarin. Matanya sulit terpejam akibat sesak tiap mengingat tentang Bagas yang ternyata menikahi Queena. Benar apa kata Queena empat belas tahun lalu, sesaat sebelum ia akhirnya keluar dari hunian mewah itu.
"Kamu itu pungguk rindukan bulan. Jangan pernah berani berpikir, kalau kedekatan kamu dan bagas itu akan berakhir seperti dongeng Cinderella. Bagas akan menikah dengan perempuan yang sekelas dengan kami, bukan anak pembantu seperti kamu."
Sore itu, hati Leira harus mau meredam kepedihan mendengar ucapan gadis yang ia anggap teman sendiri. Queena selalu ada di hari-harinya, untuk meminta tolong mengajarinya beberapa mata pelajaran yang gadis kaya itu sulit cerna.
"Kalau kamu mau jadi perempuan yang tingkat sosialnya setara aku dan Bagas, satu-satunya cara yaitu menikah dengan pria tua kaya. Entah menjadi istri kedua, atau selingkuhan. Bagas akan kuliah di luar negeri, lalu pulang bersama perempuan yang akan ia nikahi. Pastinya perempuan kaya dan berpendidikan, bukan kamu yang anak pembantu."
Kalimat itu telak menghancurkan hati dan harga diri Leira. Sepuluh tahun tinggal bersama keluarga Bagas sebagai anak pembantu kediaman itu, membuat Leira hidup dengan nyaman. Keluarga Bagas baik dan memperlakukannya seperti anak sendiri. Leira bahkan mengenyam pendidikan di sekolah yang sama dengan Bagas, dan berhasil membuatnya memiliki mimpi setinggi langit.
"Kudengar, ibumu mau nikah lagi. Berarti, sudah gak kerja di rumah Bagas lagi, dong?" Mata Queena menatap Leira dengan binar menyindir. "Baik-baik sama bapak tiri kamu, biar bisa hidup enak ke depannya."
"Aku—tidak ikut dengan ibu dan bapak tiriku. Aku ... mungkin akan kembali ke kampung halamanku. Sebab itu, aku menitipkan ini untuk Bagas melalui kamu." Leira yang hatinya seperti dibelah sembilu, hanya bisa menangis tersedu seraya mengangsurkan satu kotak kertas. "Saat Bagas pulang dari Amerika, tolong sampaikan pamitku padanya. Semua ada di kotak ini dan ... katakan jika aku mencintainya."
"Bullshit, Leira. Jangan pernah berani mencintai pria yang tak mungkin kamu miliki. Bagas dan kamu itu berbeda, jauh beda. Kalian itu antara langit dan bumi. Kamu bisa satu kelompok bersama kami, karena belas kasihan orangtua Bagas yang merogoh banyak uang demi menyekolahkan kamu. Sekarang, Bagas sudah pindah ke Amerika bersama orangtuanya. Itu artinya, kamu harus sadar bahwa ini adalah akhir mimpi-mimpi penuh khayalanmu." Queena menarik kotak kertas yang Leira sodorkan, lantas melemparkan asal ke atas ranjang gadis itu. "Aku gak tahu kapan Bagas akan kembali. Yang jelas, sebagai teman aku hanya mengingatkan agar kamu mawas diri dan kembali pada kenyataan hidup yang kamu miliki." Tubuh cantik penuh perawatan itu beranjak menuju lemari kamarnya dan membuka salah satu pintu. "Aku sudah punya almamaterku. Kamu, pikir sendiri bagaimana melanjutkan hidup setelah ini, setelah orang tua Bagas tak lagi membiayai kamu."
"Aku ... aku akan pulang ke kampung halamanku. Mungkin bekerja dulu satu sampai dua tahun, lalu akan menyusul kalian kuliah di universitas."
Queena hanya mengangkat bahu tak acuh. "Terserah kamu. Kami sih, tidka peduli terhadap itu."
Deru mobil yang terdengar memasuki kios utama tempat Leira membudidaya tanaman hias, membuat lamunan Leira pada empat belas tahun silam buyar. Ia tersentak dan langsung beranjak dari duduknya, demi menyambut seseorang yang selalu menjenguknya di akhir minggu.
"Perkembangan bisnis gimana? Lancar?" Paman Tino keluar dari mobil SUV miliknya, seraya memanggil salah satu karyawannya untuk menurunkan pupuk, pot plastik, bahan kimia, dan barang-barang lain yang Leira pinta untuk ia beli dari Surabaya.
Leira tersenyum semringah seraya berjalan mendekat pada pamannya. "Alhamdulillah. Pak Mansyur konfirmasi kalau kita yang memenangkan kerja sama dengan hotel itu. Minggu depan, Lei akan ke sana lagi untuk tanda tangan kesepakatan kerja sama. Om Tino bantu Lei cari beberapa jenis Aglo yang agak sulit di dapat. Prospek kerjasama ini bagus banget, Lei senang."
Senyum paman Tino merekah. Tentu saja bagus. Pria itu sudah melihat salinan nominal yang akan mereka dapatkan dalam waktu beberapa bulan kedepan, saat taman buatan Leira jadi nanti. "Keuntungan projek ini, Om beri kepadamu semuanya. Belilah rumah, meski tidka besar. Setidaknya, kamu memiliki hasil kerja kerasmu."
Leira menatap paman Tino penuh tanya. "Om ... usir Leira? Apa Tante keberatan jika Lei menempati rumah Om Tino?"
"Bukan," sangkal Om Tino seraya berjalan mengitari tempat pembibitan tanaman hias yang akan mereka jual saat sudah layak diberi harga. "Kamu keponakan Om dan sudah seharusnya Om memikirkan masa depanmu. Langkah pertama, kamu harus memiliki asetmu sendiri, dari hasil kerja. Motor sudah ada, kan? Sekarang rumah, mumpung ada projek kerja sama yang cukup menguntungkan kita. Kalaupun nanti uangnya kurang, Om tambahi dengan tabungan Om sendiri, asal jangan sampai tantemu tahu."
Satu tangan Om Tino melayang di udara. Senyum Leira terbit dan menyambut tangan itu. Mereka bergandengan, berjalan ringan mengitari meja-meja pot pembibitan yang penuh dengan tanaman-tanaman lucu.
"Kamu sudah cukup berdedikasi selama empat belas tahun ini. Sudah banyak yang Om dapatkan dari bisnis yang kita tekuni bersama. Sekarang, waktunya kamu yang menikmati hasilnya. Om sudah cukup dengan apa yang Om miliki sekarang." Om Tino menoleh kepada Leira dengan wajah yang tampak prihatin kepada ponakannya. "Dua hari lalu, ibumu main ke rumah kami. Anaknya sudah dua dan mereka tampak bahagia. Bapak tirimu memperlakukan istrinya dengan sangat baik dan Om bahagia melihat itu semua. Sayangnya, Om masih sedikit tak rela dengan syarat yang diajukan bapak tirimu yang tak mau membawamu serta pada kehidupan mereka."
Wajah Leira mulai mendung. Senyumnya terukir sendu dengan mata yang terasa merabun. "Lei ... gak papa hidup sendiri, Om. Asal Ibu sudah hidup enak dan tak perlu jadi pembantu lagi, Lei sudah lega. Ibu juga gak perlu menerima omongan pahit orang yang mengatakan beliau pelacur yang melahirkan Lei dari pria yang tak dikenal. Ibu harus bahagia dan Lei gak masalah ditinggal sendiri."
Om Tino menarik tubuh Leira ke dalam pelukannya. Leira melingkarkan kedua tangannya di tubuh paruh baya itu dan menangis lirih sesaat di sana.
"Kamu gadis kuat. Om tahu itu." Tangan Om Tino mengusap kepala Leira penuh sayang. "Om hanya berharap, kelak kamu menemukan pendamping yang mencintai kamu sepernuh hati, seperti Om yang mencintai tantemu ini."
Leira mengangguk, seraya meredam isaknya. "Iya. Sekarang Lei kerja keras dulu saja." Ia melerai pelukan mereka dan tersenyum simpul. Leira harus membuktikan kepada Om Tino, jika ia baik-baik saja. "Om harus lihat rancangan taman yang Leira buat untuk hotel itu. Kalau ada yang perlu ditambahkan, Om kasih tahu Lei saja, biar nanti Lei ajukan ke Pak Mansyur."
Semangat Leira naik lagi. Ia mengambil lengan pamannya dan menarik menuju meja taman yang ada di depan kios mereka. Leira berlari mengambil map dan menunjukkan kertas-kertas buatannya kepada pemilik usaha tanaman hias ini. Mereka duduk bersebelahan, dengan Leira yang sesekali merebahkan kepalanya di pundak paman Tino, dan mereka berbincang dengan santai.
Mata Leira yang mengitari kios, hendak memanggil salah satu pegawai paman Tino untuk memesan minuman hangat, terhenti pada satu titik. Bola mata gadis itu melebar, melihat siapa yang diam-diam memperhatikan dirinya entah sejak kapan. Dari kapan ada dia di sana?
Leira hendak melangkah mendekati mobil mewah itu, tetapi urung karena kaca mobil sudah tertutup dan rodanya melaju menjauhi kios Leira. Hati Leira mencelus bersamaan dengan bimbang dan gamang, tentang apa yang baru saja ia lihat.
Wajah Bagas yang melihatnya penuh benci, jijik, juga sakit hati. Apa salahnya?
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top