3. Bertemu Masa Lalu

Hujan lebat yang seketika turun tanpa mendung, membuat Alleira harus rela kuyup dan berteduh. Ia terus bergerak tak tenang di emperan kios yang masih tutup, dengan motor yang terus diguyur hujan. Ini belum separuh perjalanan menuju Alam Nirwana Hotel and Resort, dan jam janjian dia bertemu dengan Pak Mansyur juga pemilik hotel itu tinggal sepuluh menit lagi. Nahasnya, hujan besar yang tiba-tiba turun, membuat penampilan Alleira menjadi buruk dan ia takut kertas berisi hasil gambarnya jadi rusak dan hancur.

Alleira terus saja mondar-mandir tak tenang, bingung harus bagaimana agar bisa lekas sampai pada pertemuannya. Ia ingin memenangkan kerjasama itu dan menghasilkan banyak uang agar bisa memiliki sesuatu kelak. Di tengah matanya yang terus memindai rinai hujan, pikiran Alleira menimbang, apakah harus melanjutkan perjalanan dengan resiko penampilannya berantakan, atau terus menunggu hingga hujan reda, tetapi pertemuannya terancam gagal.

Tidak. Ia tidak boleh gagal. Sudah cukup banyak kegagalan dalam hidup dan harinya yang kelabu. Ia tak ingin menambah satu lagi kecewa dan akan berjuang demi kebahagiaan yang harus ia raih seorang diri. Dengan tekad yang kuat, Leira menerobos hujan dan melajukan motornya dengan kecepatan semaksimal yang ia bisa.

Hujan mengguyur semakin deras. Entah sudah seperti apa penampilan Leira saat gadis itu sampai di Alam Nirwana Hotel and Resort. Dengan sisa kepercayaan diri yang mulai luntur oleh hujan, Leira terus melangkah meski harus mengibas dan memeras rambut panjangnya, agar tetesan bisa sedikit berkurang.

"Ya ampun Mbak Leira." Tepat saat Leira baru saja menginjak undakan menuju lobi utama hotel ini, Pak Mansyur terlihat. Pria itu berjalan cepat menghampiri Leira dan memindai penampilan gadis itu dari atas hingga bawah. "Saya baru mau telepon Mbak Leira. Kalau memang tidak bisa datang, saya gak apa ditunda sesaat. Kalau basah begini, saya jadi gak tega lihatnya."

Leira hanya tersenyum simpul seraya menepuk-nepuk pundaknya, seakan menghilangkan kotoran atau basah yang menyelimuti tubuhnya. "Buat saya, projek ini penting, Pak. Hujan begini saja, bukan halangan bagi saya. Hanya saja ... saya mohon maaf jika penampilan saya jadi sedikit berantakan."

Pak Mansyur menggeleng cepat. "Gak masalah. Saya ada baju ganti sementara untuk Mbak Leira. Kaus promo yang baru saja datang. Bisa saya berikan satu buat Mbak."

"Ah, terima kasih, Pak. Gak perlu repot-repot. Saya gak apa basah begini, asal Bapak dan ... pemilik hotel ini juga gak apa andai saya sedikit kacau begini."

Pak Mansyur mengangguk maklum. "Langsung ke lantai tiga saja, Mbak. Kebetulan ruang meeting masih diperbaiki untuk wallpapernya. Jadi, kita meeting di restoran saja." Pria berseragam hotel Alam Nirwana ini berbalik, lantas berjalan mendului Leira menuju lift yang tersedia.

Meski terasa dingin dan sedikit menggigil, Leira melangkahkan kaki dan mengikuti ke mana Pak Mansyur membawanya. Saat mereka sudah sampai di restoran yang masih menguarkan aroma cat samar, Pak Mansyur terlihat menghubungi seseorang yang Leira yakin pemilik hotel ini.

"Bapak sedang menuju ke sini. Sambil menunggu, Mbak Leira mau dibuatkan teh gambyong atau wedang uwuh?"

"JKJ kalau ada, Pak," jawab Leira dengan senyum sungkan. "Saya suka takut, sakit batuk saya kambuh kalau masuk angin. Jika boleh, wedang jeruk nipis kencur jahe saja."

"Ya pasti boleh, dong," jawab Pak Mansyur yang langsung memanggil seorang staf dan memintanya untuk mempersiapkan hidangan yang akan tersaji selama rapat.

Alleira duduk dengan gestur yang dibuat senyaman mungkin, meski rasanya tak nyaman dengan busana yang lembab dan basah ini. Mau bagaimana lagi, ia harus terus menjalankan pertemuan ini dan pulang membawa kesepakatan kerja sama. Alleira membuka tasnya yang ia bungkus dengan jas hujan, lantas mengambil satu map plastik berisi coretan sketsa taman yang ingin ia ajukan.

"Pak, sementara saya menawarkan aglonema yang mudah didapatkan dulu, tetapi jika saya bisa mendapatkan jenis aglonema yang langka dan bagus, saya kabari Bapak dan akan saya proses jika Bapak setuju dengan harganya." Alleira meletakkan map di atas meja, bertepatan dengan suara langkah kaki yang nyaring terdengar di ruangan senyap ini.

"Selamat datang, Pak Bagas. Perkenalkan, ini Alleira. Florist yang saya rekomendasikan untuk menggarap fasilitas taman agonema dan tea house hotel ini."

Mendengar Pak Mansyur menyapa seseorang yang datang dari belakang tubuhnya, Alleira beranjak dari duduk, lantas berbalik dan tersenyum, demi ikut menyambut pemilik hotel yang ia harap memberikannya kesempatan baik pagi ini. Namun sayang, senyum Leira yang ia coba taris semanis mungkin akhirnya hancur, saat mata indah itu menangkap sosok yang juga tampak terkejut mendapati kehadirannya.

"Bagas," gumam Leira lirih dengan bibir yang seketika gemetar.

Pria yang ia sebut namanya itu, tampak mengerjapkan mata dengan cepat, setelah sempat terperanjat melihat sosok Alleira. Ia mengangguk tegas satu kali, lantas berjalan mendekati Leira. "Bagas," ucapnya seraya mengulurkan tangan.

Tidak, tidak. Alleira tak boleh menangis dan emosional di saat seperti ini. Ini bukanlah pertemuan hati ke hati setelah empat belas tahun berpisah. Ini adalah pertemuan dengan urusan pekerjaan, dan Alleira tak boleh membiarkan matanya memanas dengan air yang siap jatuh ke wajah.

"Lei—ra," jawab gadis itu dengan mata yang enggan berpaling dari sosok tinggi besar dan gagah. Sosok yang selalu Leira rindukan dan harapkan akan datang menjemputnya. Terima kasih, Tuhan, untuk saat seperti ini yang akhirnya memberikan Leira kesempatan kedua untuk merajut lagi harapan yang selalu ia simpan rapat sambil menunggu kedatangan Bagas.

Tangan Bagas tak lama menjabat tangan Leira yang dingin dan gemetar. Jabat tangan itu terasa seperti basa-basi saja, dengan durasi tak lebih dari dua detik saling genggam. Bagas lantas mengambil satu kursi dan mempersilakan Pak Mansyur juga Leira kembali duduk. Tanpa basa-basi, Bagas meminta Leira untuk mulai mempresentasikan pengajuan kerjasama yang sudah gadis itu siapkan.

Entah angin apa yang sedang berembus saat ini. Yang jelas, semangat Leira dan kepercayaan diri gadis itu yang tadinya sudah setipis kulit ari, seketika meledak dan tumbu dengan subur. Tak peduli lagi pada penampilan yang masih lepek dan basah, Leira menjabarkan sketsa taman dan jenis tumbuhan yang akan ia tanam, andai kerjasama ini berhasil. Ia memberikan banyak informasi mengenai tumbuhan hias dan ragam pilihan dengan perawatan yang mudah.

"Kami juga bisa membantu melakukan perawatan berkala, andai hotel ini masih belum memiliki perawat tumbuhan untuk taman Aglonema nantinya. Untuk tahun pertama, biaya yang kami tagihkan hanya sejumlah pupuk dan bahan kimia yang trepakai untuk perawatan saja. Jasa perawatan, kami beri gratis." Leira menjelaskan dengan penuh semangat. Beban hidup yang selalu memberatkan dirinya, entah mengapa seketika terasa lenyap tak bersisa. Seperti ada sinar kehidupan yang datang pada dirinya dan membuat gadis itu memiliki satu lagi harapan baik.

"Siapa yang akan merawat? Kamu?"

Senyum Leira terukir secerah mentari musim panas. Senyum yang nyaris tak pernah lagi terukir di wajahnya, entah sejak berapa tahun lalu. "Kami memiliki tim khusus yang mampu membantu hotel ini merawat tumbuhan Aglonema dan jenis lain yang kami suplai. Namun, jika Bapak mau saya sendiri yang merawat tumbuhan tersebut, saya pastikan bisa memenuhi permintaan Bapak."

Jantung Leira berdegup kencang dengan hati yang berdebar penuh keriangan. Tolong katakan jika Bagas akan berada di sini selama mungkin dan mereka bisa kembali mengulang keindahan yang dulu hanya milik mereka berdua.

Bagas tampak mengangguk dari tempat duduknya, dengan mata yang memerhatikan kertas-kertas yang Leira bawa. Ia terdiam lama, dengan wajah yang penuh pertimbangan.

"Mbak Leira ini sudah empat belas tahun menekuni dunia tanaman hias. Sejak menjadi bagian dari Pak Tino, Mbak Leira membantu bisnis keluarga hingga sekarang. Pengalaman Mbak Leira tak bisa diragukan lagi." Pak Mansyur angkat suara, mencoba mempersuasi pemilik tempatnya bekerja agar cepat mengambil keputusan.

Mendengar ucapan bawahannya, seringai di bibir Bagas terukir. Tampak sinis dan penuh benci. Mata Leira yang menangkap seringai itu, membuat gadis itu kini dirundung khawatir tentang apa yang ada dalam pikiran Bagas kali ini.

"Saya ... bisa membantu apapun, terkait tanaman hias. Baik penggunaan dalam ruangan, maupun luar ruangan." Terbata, Leira mencoba membuka diskusi kembali dengan Bagas yang masih terdiam dengan wajah dingin dan berpikir.

Belum sempat Bagas menjawab ucapan Leira, seorang perempuan mudah lari tergopoh mendekati meja mereka. "Pak Bagas, ada telepon dari Ibu. Katanya penting." Perempuan itu mengulurkan telepon genggam dengan napas yang tampak memburu.

Bagas hanya menoleh kepada perempuan muda itu sekilas, dengan hanya melirik ponsel yang masih terangsur ke hadapannya. "Katakan pada istri saya, saya masih berada dalam rapat penting." Suara itu datar dan dingin. Entah mengapa, terdengar penuh intimidasi dan amarah.

Jantung Leira yang semula berdegup kencang, seketika terasa berhenti berdetak. Tadi itu apa? Istri? Bagas sudah memiliki istri? Kapan, siapa? Mengapa ia tak diberi kesempatan yang sama untuk menunjukkan jika ia layak juga menjadi pendamping pria ini?

Mendapati sorot mata tajam dan wajah dingin atasannya, asisten Bagas hanya bisa mengangguk pasrah. Ia lantas berbalik dan mengucapkan sesuatu pada telepon genggam itu, sambil kembali menuju tempatnya semula berada. "Maaf, Bu Queena, Bapak sedang meeting dan belum bisa diganggu ...."

Bukan hanya jantung yang berhenti berdetak. Kali ini, Leira merasa seluruh oksigen tak lagi mampu ia hirup dan rasakan. Queena? Apa benar istri bagas adalah Queena? Queena? Gadis yang ....

Dalam sesak dan mata yang memanas, Leira menatap Bagas yang saat itu tersenyum penuh arti kepadanya. "Pak—Ba—gas," panggilnya lirih dengan segala emosi yang kini menggelayuti hati.

"Jadi, bagaimana? Saya setuju jika yang merawat dan bertanggung jawab dengan taman dan tanaman hias itu adalah kamu." Senyum sinis penuh misteri yang Bagas beri pada Leira saat ini, membuat gadis itu merasa lebih baik jika ia mati saja saat ini.

*****


Ramein votes dan komennya yess!! Muaacchhh

Kisah Klasik Hari Ini lagi diskon google play. Beli yang original ya, baik versi cetak atau digitalnya. Jangan baca yang bajakan! Aku gak mau berteman sama pembaca yang suka makan bacaan bajakan wkwkwkkwk ... Versi cetak KKHI masih diskon 40% dari harga normal, alias masih berlaku harga PO kalau mau pesan sekarang. Muuaacch


LopLop

Hapsari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top