26 Jawaban Leira

Leira tidak tahu, apa yang membuatnya berani menatap Bagas, bicara, dan mengajak Bagas untuk berjuang bersama lagi. Entah suasana yang mendukung, suara hatinya yang menang, atau efek kantuk karena ia terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak? Yang jelas, saat panggilan vidio mereka akhirnya terputus karena Bagas yang teramat lelah dan tak bisa lagi menahan kantuk, kini giliran Leira yang tak bisa tidur.

Memang sudah hampir pukul tiga dini hari, sudah hal biasa baginya terbangun sebelum subuh dan membantu ibunya mempersiapkan hari. Hanya saja, ada sesuatu dalam dirinya yang kembali hadir setelah belasan tahu mati. Matanya tak lagi mengantuk, tubuhnya tak lagi lelah, dan hatinya berdesir dengan jantung yang berdetak cepat.

Leira keluar kamar, mengambil air putih, duduk di meja makan sambil berpikir apa yang akan ia lakukan setelah ini. Tadi, sebelum sambungan mereka terputus, Bagas mengatakan ia akan bekerja keras untuk mempersiapkan masa depan mereka. Hati Leira mengembang bahagia mendengar janji dan wajah Bagas yang tampak serius, meski gurat lelah jelas terlihat.

"Kamu tetap semangat, Leira. Jangan sedih dan terlalu lama terpukul. Aku tahu aku yang salah, tetapi aku berjanji tak akan meninggalkanmu lagi. Jadi, semangatlah dan kejar kembali impian kita dulu. Jika bukan bersama kamu, dengan siapa aku bisa mewujudkan itu?"

Ucapan Bagas membuat hati Leira seperti dipecut semangat. Ada harapan yang kembali tumbuh dengan sinar bahagia. Semua itu terasa hangat dalam hati Leira. Ia tersenyum sambil terus menggenggam gelas air putih dan melihat cairan bening itu.

"Kenapa, Kak? Sakit?" Suara ibunya yang terdengar bersamaan dengan pintu tertutup, membuat Leira menoleh. "Kakak kenapa?" Sang ibu menghampiri Leira dan duduk di depan anaknya. "Ada masalah? Cerita ke Ibu."

Leira mengembuskan napas panjang, lalu menatap ibunya dengan senyum lembut. "Lei sudah siap, Bu," ujar Leira seraya meletakkan gelasnya. "Lei ingin melangkah ke dalam hidup Bagas. Lei mohon restu dan izin Ibu."

Ibu Leira menatap putrinya dengan sorot haru dan senyum lembut. "Pergilah. Namun, untuk kali ini, izinkan Ibu menemanimu hingga kalian benar-benar bersama dan Ibu bisa memastikan kamu tak lagi tersakiti."

Air mata Leira meluruh lagi tanpa bisa ia cegah. Perempuan itu beranjak dari kursinya, lalu memeluk sang ibu. "Bagas undang Lei ke Bandung. Katanya dia mau jemput Lei kalau Lei bersedia datang ke acara pembukaan restonya. Lei harus bagaimana, Bu?"

"Datanglah kalau kamu mau datang. Ibu antar."

Leira melepas pelukan itu, lalu tersenyum kepada ibunya. "Ibu gak keberatan?"

"Tentu tidak," jawab ibu Leira riang. "Ini waktu untuk Ibu memperhatikan kamu. Ini waktumu untuk mendapatkan apa yang seharusnya kamu dapatkan dari Ibu. Kita akan ke Bandung bersama. Jangan bebani Bagas. Dia sudah sibuk dan pasti lelah jika harus jemput kamu."

*****

Bagas tahu, jika ia tak boleh dan tak bisa memaksa Leira. Dua minggu lebih ia mencoba mengajak Leira di setiap sambungan mereka, tetapi Leira tetap bungkam. Perempuan itu hanya tersenyum tanpa menjawab ajakannya. Padahal, Bagas hanya ingin Leira tahu, bahwa ia berusaha tak terpuruk oleh keadaan. Meski sulit, Bagas tetap berkeras membuat segalanya lebih baik.

Pembukaan kafe dan resto akan diselenggarakan besok. Sejak pagi hingga petang, Bagas masih di kafe dan restonya untuk mengecek setiap detail persiapan mereka. Ia ingin pembukaan berjalan lancar dan semua undangan serta tamu bisa menikmati dengan maksimal.

Sayang, di hari spesialnya, tak akan ada Leira di sisinya. Bagas membayangkan ia akan menjelaskan kepada Leira tentang bisnis yang ia bangun dan bagaimana visi serta harapan kedepannya. Syukur-syukur, ia bisa mengajak Leira untuk membantunya dan menikah. Ia membayangkan jika setiap pulang kerja dalam kondisi lelah, Leira menyambutnya dengan senyuman dan obrolan ringan yang nyaman.

Bagas menghela napas panjang, seraya menutup pagar resto dan kafe yang akan buka perdana besok. Hari sudah sangat larut dan pegawainya yang baru berjumlah belasan orang, sudah pulang beberapa saat lalu. Setelah memastikan pagar terkunci rapat, Bagas menuju mobilnya dan pulang.

Sepanjang perjalanan, Bagas memikirkan Leira. Seharian ini, perempuan itu tak menjawab panggilannya atau membalas pesannya. Ia sampai menghubungi ibu Leira dan bertanya apakah Leira baik-baik saja, yang dijawab baik, hanya saja perempuan itu sedang sibuk. Bagas berusaha mengerti, bahwa hubungan jarak jauh memang kerap berselilih waktu untuk bicara.

Hubungan ini sedikit banyak menganggunya. Sejak kembali dekat dengan Leira meski hanya melalui ponsel, Bagas jadi mudah merindukan prempuan itu. Ia selalu ingin Leira berada di sisinya dan menemaninya melewati hari. Namun, Bagas tahu jika ia harus bersabar karena Leira meminta agar mereka melakukan segalanya dengan perlahan.

Mobil Bagas sampai di rumah. Ia mengehentikan mobilnya, lalu turun dan berjalan memasuki teras rumah. Ia tak langsung membuka pintu, dan memilih duduk di salah satu kursi teras rumah itu. Bagas mengambil ponselnya dan menghubungi Leira lagi. Barangkali, perempuan itu sudah ada di ranjangnya dan bisa mengangkat panggilannya. Sayang, hingga lima kali panggilan, sambungannya tak dijawab juga.

Selama beberapa menit Bagas duduk sendiri sambil memejamkan mata dan menyender pada kursi. Kepalanya menghadap atas dengan tangan yang bersedekap dada. Ia menikmati dinginnya angin malam, tak peduli dengan kulitnya yang mulai terasa tak nyaman. Ia ingin menikmati rasa rindunya kepada Leira sebentar saja. Matanya yang terpejam, membayangkan wajah Leira dan senyum sendu perempuan itu.

"Apa yang harus kulakukan agar kamu percaya kepadaku lagi, Lei?" Bagas bergumam sendiri, dengan mata yang masih terpejam. "Aku tak ingin membuang waktu, tetapi kamu terus saja meminta banyak waktu."

Suara pintu terbuka dan Bagas yakin mamanyalah yang membuka pintu rumah mereka. Aroma kopi tercium dan terdengar gerak seseorang meletakkan cangkir di meja.

"Bagas baru mau masuk rumah, Ma. Mama istirahat sa—" Bagas berhenti bicara dan tubuhnya mematung. Mata pria itu membola dan mulutnya menganga.

Ini bukan mimpi, kan? Seingatnya, ia masih tersadar dan belum tertidur.

"Diminum, Bagas." Perempuan itu berdiri di depannya, dengan gestur yang sama persis seperti belasan tahun lalu.

Bagi Bagas, ini seperti de javu. Ini seperti saat ia pulang dari les dan merasa lelah hingga malas masuk rumah dan memilih istirahat sebentar di teras. Perempuan itu akan menyambutnya dengan satu gelas milo dingin dan meminta Bagas meminumnya. Gestur perempuan itu masih sama. Sama seperti belasan tahun lalu yang membuat Bagas jatuh hati diam-diam. Perempuan itu berdiri, dengan tangan yang memegang baki, dan senyum selamat datang yang terukir indah di bibir.

Bagas mengerjapkan mata, mencoba memastikan kesadarannya. Ia melihat cangkir kopi itu dan menyentuhnya demi memastikan ini bukan mimpi semata.

"Kamu ...." Bagas kehabisan kata-kata. "Sendiri?" Mata Bagas mengarah konstan pada perempuan itu, lalu beranjak dari duduknya dan menarik Leira masuk ke dalam dekapannya. "Aku kangen kamu, Lei." Pelukan Bagas sangat erat, seakan tak mau melepaskan apa yang sudah ia genggam.

Leira membalas pelukan Bagas dan menyandarkan kepalanya di dada pria itu. "Aku juga kangen kamu, makanya ke sini. Untung saja Ibu masih ingat alamat rumah ini dan jalan menuju ke sini."

"Jangan pergi," pinta Bagas sambil mencium kepala Leira. "Jangan pergi, Lei."

"Rumahku di Batu. Setelah pembukaan restomu, kami akan pulang."

"Rumah kamu di sini."

"Ini rumah orangtuamu."

"Aku akan buatkan rumah untukmu, untuk kita. Jangan pergi."

"Kita bicarakan itu nanti. Sekarang, minum dulu atau langsung masuk kamarmu dan istirahat." Leira melepas pelukan mereka dan tersenyum kepada Bagas.

"Kita bicara sekarang. Aku tidak mau buang-buang waktu lagi. Satu pertanyaanku. Apa kamu mau hidup denganku, dengan kehidupanku yang seperti ini? Aku belum berani menjanjikan apapun kepadamu, tetapi aku yakin akan terus melakukan yang terbaik untuk kita." Bagas mengambil tangan Leira dan menggenggamnya dengan lembut. "Kamu tahu aku memiliki rasa kepadamu. Kamu hanya perlu yakin kepada dirimu, jika kamu bisa dan mampu berada di sisiku. Tolong jawab iya, tolong jawab bersedia."

Leira tersenyum dengan mata yang merebak. Ia mengangguk, lalu memeluk Bagas lagi.

****

Menuju ending ...


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top