24. Restu

Mobil Bagas melaju pelan dengan jantung yang berdegup kian kencang. Setelah menempuh belasan jam perjalanan dan tak bisa istirahat dengan nyenyak di penginapan, akhirnya kesempatan ini datang juga. Ia meneliti setiap rumah yang ia lewati, agar dapat berhenti di kediaman dengan alamat yang Om Tino beri. Hati bahas meledak bahagia dengan semangat dan antusias memperjuangkan semuanya dari awal.

Senyum pria itu terbit saat matanya menatap nomor rumah dan alamat yang tepat. Ia menepikan mobilnya, lalu turun dan berjalan menuju rumah itu. Ia mengetuk beberapa kali, tetapi tak ada jawaban dari dalam rumah ini. Sepi. Kemana penghuni rumah ini? Kemana Leira pergi? Di mana perempuan itu saat ini?

Bagas masih mengetuk rumah tak berpagar itu dan mengucapkan salam. Namun, hingga sepuluh menit ia berdiri di depan pintu, pria itu tak kunjung mendapat angin segar. Bagas menghela napas panjang. Hatinya yang semula penuh semangat, kini sedikit kecewa karena tak bisa langsung bertemu Leira.

Ia memutuskan untuk kembali ke penginapan dan melanjutkan pekerjaannya. Mungkin siang memang waktu yang tidak tepat untuk bertamu. Om Tino bercerita bahwa Leira sibuk dengan bisnis tanaman hias yang perempuan itu rintis bersama para tetangganya. Barangkali perempuan itu memang sedang sibuk bekerja, dan ia baru bisa bertemu malam nanti. Orangtua Leira pun bekerja sebagai buruh kebun yang pastinya tak ada di rumah hingga sore. Jadi, ini salah Bagas, salah dirinya yang tak bisa sabar untuk bertemu dengan Leira.

Bagas berbalik dan berjalan menuju mobilnya lagi. Saat ia hendak membuka pintu, pergerakannya terhenti ketika ada yang memanggil namanya.

"Ini beneran Mas Bagas?" Perempuan itu tampak terkejut. Ia berdiri beberapa langkah di depan Bagas.

Bagas tersenyum seraya mengangguk. "Apa kabar, Bi?"

Perempuan paruh baya yang dulu mengabdi kepada keluarganya itu, menutup mulutnya dengan satu tangan, dan matanya terbelalak. "Tahu dari mana rumah saya di sini?"

"Pak Tino," jawab Bagas. "Saya ingin bertemu Leira, Bi. Dia di mana?"

"Bisa—kita bicara sebentar, Mas?" Perempuan itu melangkah pelan mendekati Bagas. "Berdua saja. Kalau berkenan, silakan masuk."

Dari wajah yang tampak pada perempuan itu, Bagas tahu yang akan mereka bicarakan bukanlah hal basa-basi seperti apa kabar dan sesukses apa sekarang. Ini pasti tentang Leira dan masalah yang membebani perempuan itu. Bagas sadar, salah satu yang membuat Leira seperti ini adalah dirinya, dan kesalahpamahaman yang disebabkan leh Queena.

Bagas mengikuti langkah ibu Leira yang berjalan menduluinya. Setelah pintu terbuka dan perempuan itu mempersilakan masuk, Bagas duduk di kursi ruang tamu dan memandang hunian sederhana itu.

Rumah ini bersih, apik, dengan tembok yang semua bercat putih. Tak begitu banyak barang terletak, membuat kesan luas, padahal Bagas yakin luas rumah ini tak sampai seratus meter. Penilaiannya terhadap rumah tinggal Leira berhenti, saat ibu Leira datang dengan dua cangkir teh dan dua toples keripik.

"Mas Bagas apa kabar? Kapan kembali ke Indonesia?"

"Kabar saya baik, Bi." Lalu, Bagas mulai menceritakan semua yang ia alami sejak kembali ke Indonesia, mendapat musibah ekonomi keluarga, menikah dengan Queena dan membangun bisnis di Karanganyar. "Tapi saya sudah cerai dengan Queena, Bi. Kami sudah tak memiliki hubungan apa-apa lagi. Keluarga kami pun tak seperti dulu. Mama dan Papa tinggal di rumah peninggalan nenek dan menghabiskan masa tua di sana. Sedang saya, membangun bisnis bersama teman di Ciwidey dan Lembang."

"Lalu ... tujuan Mas Bagas ke sini?"

Bagas menatap ibu Leira dengan sorot serius. "Saya yakin Bibi tahu perasaan saya kepada Leira. Saya yakin, Bibi tahu niat saya ke rumah ini, setelah berbulan-bulan Pak Tino menahan saya dengan berbagai alasan."

Ibu Leira menghela napas panjang, lalu mata perempuan itu menerawang dengan sorot penuh kesedihan. "Mas pasti tahu tentang kami. Tentang saya dan Leira. Tidak perlu lagi saya menceritakan kehidupan kami dan apa yang kami alami. Saya yakin Mas Bagas sudah tahu semua tentang Leira."

"Saya tahu dan saya tetap menerima dia dan mencintainya, apapun masalalu yang Lei miliki."

"Saya mencintai Leira, terlepas dari kepedihan dalam hidup saya, saat mengandungnya, hingga saya harus menyisihkan diri ke Jakarta tanpa pamit. Saya kembali ke Karanganyar saat Leira lulus SMA dan harus meninggalkannya untuk menikah dan hidup di sini. Leira kesepian, hidup sendiri, tetapi saya tak bisa berbuat apapun karena suami saya belum bisa menerima Leira. Dia belum pernah bahagia dan selalu ditinggal oleh orang yang ia cintai."

Netra perempuan yang wajahnya menyerupai Leira itu, menatap Bagas dengan air mata yang nyaris terjatuh.

"Dia menangis saat Mas Bagas pergi. Dia menangis saat saya meninggalkannya di rumah Tino. Dia menangis saat pria yang ia harap bisa menggantikan Mas Bagas di hidupnya, ternyata tak tulius mencintainya. Dia terus menangis dan saya tahu batinnya terguncang. Saya yang meminta Tino untuk menahan siapapun menemui Leira. Bukannya apa, saya hanya ingin menebus kesalahan saya yang meninggalkannya dulu. Saya ingin mengawasinya sendiri dan memastikan Leira baik-baik saja."

"Saya bisa menjaga Leira. Bibi bisa mempercayakan saya."

Perempuan itu menggeleng. Wajahnya kini berurai air mata, hingga ia menutupi wajah itu dengan tangukupan tanga dan terisak di sana. Sekali lagi, perempuan itu menggeleng sambil menangis dan menyembunyikan wajahnya. "Saya minta maaf, Mas, tetapi masih berat untuk saya melepas Leira setelah banyak kepedihan yang anak itu terima. Saya minta maaf. Saya ingin Leira benar-benar melepaskan beban dan kepedihan yang ia pendam sendiri, lalu berani melangkah untuk menuti bahagia yang belum pernah ia miliki."

"Bibi bisa percaya kepada saya. Saya bisa memerikan kebahagiaan untuk Leira."

"Maaf, Mas, tapi Bibi belum bisa percaya dengan pria manapun. Bibi minta maaf. Bukan hanya Leira yang terguncang karena percobaan perkosaan itu, tetapi Bibi juga. Bibi merasa bersalah dan tak terima anak Bibi mendapatkan perlakuan seperti itu. Bibi trauma, tidak percaya pada pria yang mendekati Leira. Bibi minta maaf." Perempuan itu menangkupkan kedua tangannya dan membuat gestur minta maaf kepada tamunya.

Hati Bagas mencelus pedih menerima penolakan ini. Dulu, apapun yang ia minta kepada perempuan ini, tak pernah mendapat penolakan. Ia adalah tuan dan perempuan ini abdinya.

"Bibi tidak percaya kepada saya ... apa karena kondisi keluarga saya yang tidak seperti dulu lagi?"

"Tidak, Mas Bagas. Demi Tuhan, Bibi sadar diri dan tak pernah melihat orang dari kekayaan mereka. Ini murni karena Bibi masih terguncang setiap mengingat bagaimana wajah Leira saat Bibi bertemu dengannya setelah belasan tahun tak mengunjungi dia. Bibi perih setiap melihat dia tersenyum, tapi matanya terlihat sedih. Bibi gak terima saat mendengar cerota Tino tentang apa yang Yongki lakukan kepada Leira. Semua itu membuat Bibi punya perasaan ini kepada Leira. Bibi jadi sulit mempercayai pria yang mendekati Leira."

Bagas terdiam sesaat, menunggu perempuan tua itu mengeluarkan semua emosi terpendamnya. Ia tak tahu harus bagaimana. Satu sisi, jujur ia kecewa dan patah hati akibat penolakan ini. Namun, ia memahami mengapa perempuan ini jadi terlalu protektif kepada putrinya.

Ibu Leira menangis tersedu. Ia menyelesaikan segala sesak yang trependam, hingga kesedihan itu terurai perlahan. "Bibi pernah melakukan kesalahan besar dan Leiralah korbannya. Bibi hanya takut Lei melakukan hal yang sama dan menderita lagi."

"Andai saya bersabar dan berusaha, apakah Bibi mau menerima saya?"

Perempuan itu tak menjawab. Matanya menatap Bagas dengan sorot berjuta makna dan wajah yang bimbang. Tak lama, mata itu mengarah pada pintu dengan sorot sendu. "Masuk saja, Kak. Jangan berdiri terus di situ. Kakak jadi beli apa untuk makan siang?"

Bagas sontak menoleh ke belakang dan terperanjat mendapati Leira berdiri dengan wajah pias dan tegang. Ia tersenyum kepada Leira, meski sulit baginya untuk bersuara. Entah mengapa, tiba-tiba tenggorokannya seperti tercekat.

"Masuk, Kak. Siapkan makanannya. Adik-adikmu sebentar lagi pulang dari kebun bersama Bapak."

Leira mengangguk, lantas berjalan melintasi ruang tamu tanpa menyapa Bagas.

"Andai Leira tidak mengalami hal buruk dan Bibi tidak trauma, mungkin Bibi akan mengajak Mas Bagas bergabung dengan kami. Sayangnya, kami sendiri masih membutuhkan waktu untuk menjadi baik-baik saja."

Bagas menghela napas panjang, sarat akan kecewa. Ia mengangguk, lantas beranjak dari kursi ruang tamu. "Kalau begitu, saya pulang dulu. Saya akan ke sini lagi dan terus ke sini sampai Bibi percaya bahwa saya sungguh-sungguh mencintai Leira."

Senyum perempuan itu terbit, meski hanya lengkungan samar.

"Bagas pamit pulang dulu, Bi. Sampaikan salam untuk Leira." Bagas berbalik, lantas melangkah ke luar rumah itu.

"Mas Bagas," panggil ibu Leira saat Bagas sudah dekat dengan mobilnya.

"Ya?"

"Sementara ini, Bibi hanya izinkan Mas Bagas berkomunikasi dengan Leira melalui ponsel saja. Jangan dulu temui Leira sampai Bibi merasa ia benar-benar siap. Mas Bagas gak keberatan, kan?"

Senyum Bagas terukir. Ia mengangguk sebelum menjawab, "Tentu. Saya akan minta nomor Leira dan menghubunginya secepat mungkin."

******

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top