2. Ingin Kembali

Satu yang Alleira syukuri dari hidupnya yang hampa dan pahit ini. Saat ibunya memutuskan untuk menikah dan meminta maaf kepadanya karena sang calon suami enggan menerima dirinya, setidaknya ibu Lei menempatkannya pada tempat yang tepat. Kampung halaman nenek di daerah ini memiliki hawa sejuk dan pemandangan yang asri. Berbeda dengan Jakarta yang bising dan terasa penuh sesak, Ngargoyoso dan alamnya selalu mampu membuat hati Lei berangsur tenang.

Rumah Paman Tino adalah tempat berteduhnya seorang diri. Pamannya bekerja sebagai pegawai pemda di Jawa Timur, dan hanya akan datang satu atau dua minggu sekali untuk memantau perkembangan bisnis jual beli tanaman hias yang pria itu rintis dan miliki. Beruntungnya, Paman Tino memberikan Lei kesempatan untuk mengembangkan diri pada bisnis ini, saat ia harus mau menerima kenyataan pahit dibuang oleh ibu sendiri dan tak diberi kesempatan melanjutkan pendidikan setelah SMA. Tanpa air mata, hati Lei yang terluka oleh kecewa, memfokuskan dirinya untuk belajar ilmu bertani dan mengembangkan bisnis tanaman hias ini.

Lei menghela nafas panjang saat motornya sampai di sebuah hotel yang baru selesai di bangun. Prospek bisnis pariwisata di kota Karanganyar sepertinya sedang bagus. Banyak investor dalam dan luar negeri yang membangun tempat wisata asri dan sederhana, tetapi memiliki daya pikat yang tinggi. Hawa sejuk pegunungan dan ragam pilihan wisata membuat banyak orang sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, kerap menjatuhkan pilihan pada derah ini untuk menghabiskan akhir minggu atau hari libur. Salah satu keuntungan dari bisnis pariwisata yang berkembang pesat ini, usaha Lei tak pernah sepi. Ia selalu berhasil membuat perjanjian kerja sama suplai tanaman hias di beberapa tempat wisata, restauran, atau hotel dan cottage.

"Selamat siang, Mbak. Saya mau bertemu Pak Mansyur. Sudah janji untuk bertemu beliau." Leira bicara pada perempuan yang berjaga di meja pintu utama. Ia tak berani menyebut perempuan itu sebagai resepsionis, karena hotel ini belum beroperasi. Namun, saat mata Lei mengitari 360 derajat tempat ini, Lei yakin hotel ini akan menjadi satu ikon wisata Ngargoyoso dan hotel berbintang mewah pertama yang bisa direkomendasikan.

"Silakan tunggu, Mbak." Perempuan itu menunjuk pada satu set sofa sederhana yang terletak di pojok ruangan. "Pak Mansyur akan datang sebentar lagi. Sudah saya informasikan terkait kedatangan Mbak."

Leira mengangguk, lantas tersenyum dan mengucap terima kasih. Ia beranjak menuju tempat yang ditunjuk tadi dan duduk manis menikmati tempat indah yang ia yakin, tak mungkin dihargai murah. Ragam wisata dengan aneka fasilitas dan harga, memberikan pilihan bagi orang yang ingin menikmatinya. Meski mahal, belum tentu tempat ini akan sepi pengunjung. Lei tahu, bagi sebagian orang, uang bukan hal penting yang harus terus disimpan. Mereka rela membuang berapa pun jumlah yang dibutuhkan, demi mendapatkan relaksasi dan kesenangan selama beberapa hari. Pemilik hotel ini cukup cerdas untuk memikirkan itu. Lei yakin soal ini. Selera pemilik hotel ini terlihat tinggi dan ia yakin, jika berhasil membuat kerja sama pertamanan atau suplai tanaman, ia bisa membanggakan diri dan usaha pamannya, karena berhasil menjadi kepercayaan tempat semewah ini.

"Mbak Leira. Apa kabar?" Pria usia akhir tiga puluh itu menyapa Leira dengan senyum manisnya. "Terakhir kita bertemu saat penyuluhan pertanian dan propek usaha tanaman hias yang diselenggarakan oleh timnya Pak Yongki, ya?" Tanpa sungkan, pria berkaus kerah itu mengambil duduk tepat di depan Leira dan melanjutkan ucapannya. "Gimana, Mbak, sudah menikah dong sama Pak Yongki?"

Senyum yang tadinya sudah Leira siapkan untuk menyambut kerja sama ini, seketika berubah menjadi senyum kecut. "Saya dan Pak Yongki sudah berakhir, Pak. Saya sudah tidak tahu beliau di mana," dusta Leira untuk ucapan keduanya. Leira tahu di mana Yongki berada dan bagaimana kondisinya, tetapi gadis ini memilih untuk tak mau tahu dan peduli dengan pria yang sempat memorakporandakan hidup dan malam-malamnya.

"Duh, duh, maaf, Mbak. Jadi gak enak saya." Pak Mansyur meringis dengan wajah sungkan, yang kentara merasa tek enak hati. "Harusnya saya basa-basinya minta pujian tempat ini saja, ya."

Alleira tersenyum samar. "Lebih enak lagi kalau basa-basi Bapak, ajak saya keliling tempat ini sekalian membahas apa yang bisa saya bantu untuk Bapak."

Pak Mansyur mencoba tertawa demi mencairkan suasana. "Mbak Leira benar. Harusnya saya tahu berurusan dengan siapa. Sejak dulu, Mbak Leira memang selalu to the point. Baiklah, saya perkenalkan tempat ini." Pak Mansyur beranjak dari duduk singkatnya tadi, lalu membuat gestur mengajak Leira untuk mengikuti langkahnya. "Alam Nirwana Hotel and Resort. Gedung utama ini adalah hotel dan di belakang sana ada beberapa cottage yang akan kami buka beberapa saat lagi kami buka untuk komersil. Mbak jangan kaget kalau harga yang kami tawarkan, mungkin saja di atas rata-rata rate harga penginapan sekitar sini. Namun, kami berani bertaruh dengan fasilitas mewah dan lengkap yang disediakan di tempat ini, termasuk taman aglonema yang kami konsepkan sebagai ikon penginapan ini."

"Taman Aglonema?" Leira mulai tertarik dengan topik yang mereka bahas.

"Iya," jawab Pak Mansyur dengan anggukan. "Saat ini sedang booming Aglonema. Saya membuat satu area khusus yang akan dijadikan taman khusus untuk memamerkan segala macam jenis Aglonema. Pengunjung yang hobi dengan tanaman dan taman, pasti mau ke sini hanya untuk swafoto, Mbak, saya yakin itu. Jadi, alasan saya mengundang Mbak ke sini adalah, untuk menolong saya membuat penawaran harga dan konsep taman yang ingin saya buat. Juga, saya minta agar proses penataan taman kalau bisa jangan lebih dari satu bulan. Pemilik hotel ini meminta agar enam minggu lagi, hotel ini sudah dibuka untuk umum."

Alleira mengedarkan pandangannya. Ia sudah sampai pada bagian belakang gedung hotel yang memiliki belasan cottage dan rumah-rumah kecil. Ada waterpark dan taman dengan kandang-kandang. Lei yakin, hotel ini juga menyediakan farm house untuk anak-anak. "Boleh saya tahu di mana letak taman itu nanti?"

Tangan Pak Mansyur menunjuk pada satu titik area lahan yang masih kosong. "Di sana. Di lahan yang masih kami pagari dengan seng itu. Mbak Leira bisa mengajukan ide penataan taman dan jumlah rak serta jenis Aglonema yang Mbak anjurkan. Jangan lupa, kursi taman untuk pengunjung juga harus diperhatikan. Kami akan membuat tea house kecil-kecilan di dalam taman itu, yang menyediakan gethuk, gemblong, dan teh kreweng khas daerah sini. Pengunjung usia lanjut, biasanya menikmati fasilitas seperti ini dan tidak semua penginapan memilikinya. Jadi, alam Nirwana dipastikan mampu memberikan fasilitas untuk pengunjung semua umur."

Alleira hanya mengangguk, menanggapi penjelasan kenalannya yang dulu ia temui saat rajin menghadiri penyuluhan pertanian tanaman hias. Pak Mansyur bukanlah pebisnis tanaman seperti dirinya, tetapi pria itu selalu hadir setiap kali ada seminar terkait pertanian tanaman hias. Lei bukannya tak mau tahu tentang hidup pria ini, tetapi Lei yang enggan basa-basi, hanya cukup tahu rupa dan nama, lalu kenal. Jika ada yang ingin mengajka kerja sama, biasanya mereka yang menghubungi Lei lebih dulu.

"Oya, saya lupa kasih tahu Mbak. Dua hari lagi pemilik hotel ini akan sampai sini dan tinggal di salah satu cottage ini sampai pembukaan selesai. Beliau akan memantau langsung persiapan akhir penginapan ini hingga semuanya dirasa sempurna. Kalau bisa, Mbak ke sini lagi dengan pengajuan penawaran harga dan ide penataan taman Aglonema itu, agar bisa dipresentasikan di depan bos kami."

"Bisa," jawab Lei dengan anggukan yakin dan tegas. "Saya sudah ada bayangan, akan seperti apa taman itu nanti."

"Kalau bisa, jangan tema-tema gubuk kayu, Mbak. Terlalu mainstream. Tema tradisional sudah banyak yang menawarkan di sekitar sini. Kami ingin konsep dan tema yang beda."

"Baik," jawab Lei lagi dengan anggukan. "Saya berpikir jika vintage bertema putih akan pas bersanding dengan aneka warna Aglonemanya nanti. Saya akan buatkan pengajuan yang Bapak minta tadi dan akan datang lagi lusa, saat pemilik hotel ini sudah hadir di sini."

Pak Mansyur mengangguk sambil tersenyum lega. "Betul. Saya harap, keputusan saya untuk memilih Mbak tidaklah salah. Saya tahu betul kemampuan dan dedikasi Mbak Leira dalam bisnis tanaman hias. Saya tak meragukan kualitas dan selera Mbak Leira soal ini."

Leira hanya tersenyum simpul sesaat, sebelum akhirnya pamit undur diri. Pak Mansyur sebenarnya menawarkan untuk mencoba area resto yang terletak di lantai tiga gedung hotel, dan mencicipi masakan yang tengah dicoba buat oleh koki hotel mereka. Namun, Alleira bukanlah tipe perempuan yang suka menikmati itu, karena baginya, tak ada yang bisa dinikmati selain kepahitan hidup. Bekerja keras dan fokus melakukan sesuatu lebih baik dari pada menghabiskan waktu hanya untuk basa-basi yang mungkin saja, bisa mengorek luka hatinya lagi.

Laju motor Leira yang baru saja keluar pintu utama penginapan ini terhenti, saat ia dihadang sebuah mobil yang ia kenali. Mata Leira memicing tak minat pada kendaraan itu, tetapi tetap berhenti dan menunggu pengemudinya menghampiri.

"Aku mau bicara sama kamu. Aku serius, Lei."

Leira membuka pelan kaca helm yang menutupi wajahnya. "Semua sudah berakhir, Mas. Aku bukan perebut suami orang."

"Aku bukan suami orang!" Pria itu bicara lantang, menegaskan demi menyangkal anggapan perempuan yang ia cintai. "Setidaknya, sekarang aku sudah bukan suami orang."

Leira hanya mengerjap pelan, dengan wajah datar tanpa minat pada pria yang menghambat perjalanannya pulang. "Lalu, sekarang mau apa? Saya harus segera kembali ke kios untuk mengerjakan sesuatu. Oya, Mas tahu dari mana Lei ada di sini?"

Yongki yang berkacak pinggang dengan wajah terlihat kesal itu, berkacak pinggang seraya mendengkus keras. "Nana. Dia kasih tahu aku, kamu ketemuan sama Mansyur di sini. Aku susul kamu karena harus bicara sama kamu saat ini juga. Kamu keterlaluan, tak pernah merespons setiap pesan-pesanku."

"Karena memang tidak ada yang perlu direpsons lagi. Kita sudah berakhir dan itu final."

"Aku mau lanjut. Tolong, dengarkan aku dulu." Mata Yongki menatap Leira dengan binar frustrasi dan penuh harap. "Aku cinta kamu, sejak dulu Leira. Tolong beri aku satu waktu untuk ungkap semuanya."

"Satu jam," balas Leira dengan nada datar. "Kita ke tea house dan bicara di sana. Aku hanya bisa kasih Mas waktu paling lama satu jam." Tanpa menunggu jawaban Yongki, Leira menarik laju motornya dan meninggalkan pria itu menuju tempat minum teh yang biasa mereka datangi saat sedang berkunjung ke daerah ini.

Jauh di belakang Leira, pria seusia Pak Mansyur itu menghela napas lelah. Mengambil hati Leira memang tak mudah. Gadis itu seperti mengunci hati, batin, dan hidupnya untuk orang lain yang ingin hadir mendampingi dan coba melukis senyum di wajah cantiknya.

****


Ya ampun, aku lama juga ya updatenya wkkwkwkw ... doakan bisa selesai di bab 20 dan cepet postingnya yess!

Oya, sekalian mau kasih tahu, kalau Kisah Klasik Hari Ini sudah tersedia ebooknya. Please, jangan baca yang bajakan ya, biar aku tetap semangat menulis. Jangan lupa ramein komen dan votes biar aku makin sering update cerita ini. Muaacchhh


LopLop

Hapsari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top