19. Berakhir
"Aku punya penjelasannya, Bagas." Queena masih mencoba meraih lengan suaminya untuk ia cengkram. Sayang, tenaga Bagas terlalu kuat dan pria itu sudah tampak sangat marah. Sentakkan Bagas saat ia mencoba meraih lengan pria itu, membuat Queena benar-benar tertolak. "Kita bisa bicara dan aku akan beberkan semuanya yang terjadi, sejak pembantu kamu pergi."
Bagas yang sedang berkemas, tiba-tiba berhenti dan melirik Queena dengan sorot sengit. "Jaga mulutmu! Mereka bukan pembantu!"
"Mereka pembantumu, Bagas! Kamu yang selalu buta terhadap status mereka! Kamu bahkan tak mau keluar rumah untuk bermain dengan kami, hanya karena Leira tak pernah kami anggap. Kami melakukan itu, karena dia memang tak pantas berada dalam lingkup pergaulan kita."
"Tapi kamu sahabatnya! Aku percaya kamu, karena hanya kamu yang datang untuk menemui Leira dan belajar bersama."
"Aku terpaksa dan memaksa diriku menjadi teman Leira hanya demi kamu, Bagas! Jika aku tak dekat dengan perempuan sialan itu, kamu pasti tak pernah menganggapku teman! Kamu pikir aku tertarik bergaul dengan dia? Tidak!"
Bagas menggenggam erat lengan Queena yang mendak meraihnya. Wajah pria itu tegang, dengan rahang yang tampak keras. "Apa maksud ucapan Leira yang mengatakan menitipkan surat kepadamu untukku? Surat yang mana? Dia menuduhku membuang surat yang ia beri? Jangankan membuang, menerima pun aku tidak. Aku yakin, semua ini ada kaitannya denganmu."
Queena membuang muka sesaat sebelum akhirnya menatap Bagas lagi karena pria itu mengguncang tubuhnya. "A—aku—lupa meletakkan surat itu di mana dan akhirnya tak jadi memberikannya kepadamu."
"Jujurlah, Queena," desis Bagas dengan wajah yang kentara emosi. "Katakan apa yang sebenarnya terjadi setelah aku pergi ke Amerika? Katakan semuanya, atau kuhabisi kamu."
Tubuh Queena gemetar. Ia tak pernah melihat Bagas dengan wajah yang tampak murka seperti ini. Bagas pria yang pendiam dan tak banyak bicara. Ia selalu mengalah dan menghindari perdebatan. Satu yang Queena suka dari Bagas adalah pria itu selalu selalu bisa mengendalikan emosi dan amarahnya di depan orang. Bagas yang pendiam dan jarang bicara, membuat Queena merasa pria itu misterius dan menarik.
Sayangnya, semua pandangan Queena terhadap Bagas selama ini, terpatahkan. Pria itu mencengkram lengannya dengan kuat, hingga ia mendesis kesakitan. Ia takut dan panik, khawatir jika Bagas benar-benar menghabisinya malam ini.
"Aku—aku membuangnya. Aku tak mau ada yang tertinggal antara kamu dengan dia." Queena merintih sakit saat Bagas kian meremas tangannya. Tenaga pria itu sangat besar ditambah amarah yang tak pernah Queena lihat. "Lepas, Bagas. Aku bisa mati jika tanganku kamu cekik seperti ini."
Bagas tak mengindahkan permintaan Queena. Pria itu justru menarik tubuh Queena yang lelah hingga perempuan itu limbung. "Apa alasanmu melakukan itu?"
Mata Queena kembali mengaliri air kesedihan. Wajahnya tampak tertekan dengan raut putus asa. "Aku—membenci Leira dan tak ingin kamu berakhir bersamanya. Kamu milikku, Bagas. Tak ada perempuan yang boleh mendapatkanmu termasuk dirinya."
"Kamu biadab!" Mata Bagas menyalang penuh amarah. Pria itu bahkan mencengkram pundak Queena dengan kencang, membuat istrinya meringis kesakitan. "Kupikir, hanya kamu manusia yang tersisa, yang masih bisa kupercaya setelah orang terdekat ayah menghianati kami. Kupikir, kamu perempuan yang bisa membuatku merasakan kehadiran Leira dan membuatku rela melepas kenangan kami. Kupikir, kamu tulus mendekatiku, menolongku, dan berbuat baik kepadaku. Kamu lebih buruk dari penghianat." Bagas mendorong Queena hingg perempuan itu jatuh di atas ranjang.
"Aku mencintaimu, Bagas! Sejak dulu. Kamu membutakan matamu karena perempuan itu!" Tangis Queena pecah. Ia menjerit dengan nada yang memohon. "Apa yang dia punya, sedang aku tak punya, hingga kamu sama sekali tak mau datang kepadaku? Apa kurangku, Bagas?"
Koper bagas sudah siap. Pria itu menggenggam gagang koper, lalu menoleh kepada Queena. "Setidaknya Leira tak pernah bermuka dua dan menghianatiku."
"Aku akan setia kepadamu, asal kamu mau mencintaiku dan benar-benar jadi suamiku!" Queena berteriak dengan nada frustrasi. Wajahnya terlihat hancur, meski riasan yang menempel pada wajahnya sangat sempurna. "Ingat, Bagas, sekali kamu meninggalkanku, bisnismu kupastikan hancur tak bersisa!"
Bagas tak mengacuhkan ucapan Queena. Pria itu melangkah tegas dengan tubuh tegap meninggalkan kamarnya. Ia menghubungi Pak Mansyur dan berkata akan kembali ke Jakarta saat ini juga dengan mengendarai mobilnya seorang diri.
Sedang jauh di belakang Bagas, di dalam kamar yang diharapkan menjadi tempat tumbuhnya cinta, Queena berteriak dengan wajah tertekan. Ia seperti nyaris gila, karena tak pernah bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Bagas dan cinta pria itu yang selalu tertuju kepada Leira.
******
Bagi Bagas, Jakarta adalah kota yang kejam. Terlalu banyak manusia bermuka dua yang hidup di lingkaran pergaulannya. Orang-orang akan datang dan tersenyum kepadanya saat mereka butuh uang, lalu menjilat dengan banyak pujian dan pengakuan. Jika terjatuh dan tak memiliki apapun untuk dibanggakan, mereka akan meninggalkan tanpa sudi menoleh barang sesaat.
Jangan pertolongan, menengok dan respons saat ia datang meminta tolong saja, mereka enggan. Pertolongannya baru ada setelah ia harus mau menikah dengan Queena, yang katanya sebagai jaminan agar uang yang mereka keluarkan tak akan dibawa lari. Bagas keberatan dengan persyaratan saat ia meminta pinjaman uang untuk mengembalikan bisnis sang ayah yang berantakan. Ia ingin menolak dan meninggalkan persyaratan itu, tetapi tak bisa karena kondisi kesehatan sang ayah yang sangat kritis dan waktu yang mendesak.
Pernikahannya dengan Queena tak pernah berjalan dengan baik. Selama menikah, Bagas hanya sibuk dengan bisnis demi bisnis yang ia rintis demi mengembalikan uang dari pinjaman keluarga istrinya. Bagas tidak buta untuk tahu perasaan Queena kepadanya, tetapi rasa yang ia miliki tak bisa dipaksa.
Ia selalu mencoba untuk membuka hati kepada Queena, karena perempuan itulah yang ada untuk membantunya. Namun, perselingkuhan yang Queena lakukan membuatnya makin mati rasa. Penghianat ada di mana-mana, termasuk istrinya. Ditambah, fakta yang baru ia ketahui tentang Leira.
Perempuan itu tak seperti yang Queena katakan. Leira belum menikah apalagi dengan pria tua. Mengingat itu, Bagas memukul roda kemudi saat mobilnya melaju dengan kecepatan nyaris 140km/jam di sepanjang jalur Cipali. Ia harus segera sampai Jakarta dan menghentikan hidupnya yang memuakkan.
Pintu pagar rumah megah milik kelaurga Queena terbuka saat Bagas mengklakson mobilnya. Tanpa basa-basi, ia masuk dan memarkir mobilnya tepat di depan pintu utama. Belum sempat tangannya mengetuk, pintu itu terbuka dan ayah Queena menyambutnya dengan wajah murka.
"Queena menghubungi Ayah. Kami tidak akan membiarkan kalian bercerai." Pria itu berdiri tegap dengan gestur menantang. "Sekali kamu meninggalkan Queena, hidupmu saya pastikan hancur berantakan."
Bagas berdiri di depan pria itu dengan mata yang menyorot tajam. Entah mengapa tak ada ketakutan atas ancaman-ancaman yang ia dengar dari keluarga Queena. Dengan mata yang menatap tegas kepada mertuanya, Bagas bertekad bulat mengahiri hubungannya dengan keluarga ini.
"Hidup saya sudah hancur berantakan sejak menikah dengan perempuan seperti Queena. Saya tidak takut dengan ancaman apapun dan akan memproses perceraian kami."
"Kurang ajar, kamu, Bagas!" Pria itu menghardik Bagas dengan suaranya yang kencang. "Dasar kacang lupa kulit! Tanpa kami, keluargamu sudah jadi gembel, Bodoh!"
Bagas mencebik remeh dengan wajah sinis. "Saya rasa ... melepas semua milik kami adalah hal terbaik, daripada harus hidup dengan orang-orang seperti Anda." Bagas berbalik, meninggalkan pria yang mencaci maki dirinya dengan suara penuh amarah. Ia menaiki mobilnya lagi, lalu mengarahkan kendaraan itu menuju rumahnya yang hanya berselang beberapa ratus meter saja.
Dalam perjalanan menuju rumahnya, mara Bagas merebak dengan pikiran yang bergelut dengan banyak pertimbangan. Semoga orangtuanya mengerti dan menerima keputusannya tentang ini.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top