15 Kehidupan Bagas
Aleira membaca dengan teliti surel yang baru saja dikirim oleh Pak Masyur. Pria itu mengirimkan list jenis sansivera yang hotel inginkan berikut jumlahnya. Setelah memahami semua data yang terlampir pada surel. Aleira langsung menghubungi Idham, pengusaha tanaman hias yang memiliki koleksi sansivera paling banyak. Perempuan itu meminta rekan satu paguyuba penjual tanaman hias untuk datang dan membantunya suplai tanaman sansivera yang Pak Manyur minta.
Idham datang tak lama kemudian. Leira langsung mengajak pria itu berdiskusi dan merencanakan kerja sama untuk memenuhi pesanan hotel milik bagas. Tak sampai dua jam, diskusi mereka selesai dan Idham pamit pulang ke kiosnya.
"Mbak Leira. Ada yang cari." Nuri datang setelah Idham keluar kios. "Katanya orang dari hotelnya Pak Mansyur."
Aleira mengernyit bingung. Orang dari hotel Bagas? Siapa? Pak Mansyur jelas memintanya istirahat, karena tangan kanan Leira masih terluka. Katanya, ini perintah langsung dari Bagas yang tak ingin Leira kenapa-kenapa. Leira yang memang masih merasa meriang, menggunakan kesempatan itu untuk istirahat di kios sambil memantau penjualan yang akan dilaporkan kepada Om Tino.
"Orang hotel? Pak Mansyur saja barusan kirim aku email," gumam Leira sambil beranjak dari kursinya. Ia melangkah pelan ke luar kios dan seketika langkahnya terhenti dengan wajah tegang. "Ada apa ke mari? Suamimu tidak ada di sini." Suara Leira sinis. Ia menatap tamunya dengan sorot dingin dan penolakan.
Senyum perempuan yang berdiri angkuh di depan Leira tersungging congkak. Tanpa dipersilakan, ia menduduki kursi berbentuk potongan pohon jati yang diplitur cantik. "Apa kabar, Leira? Aku tak sangka kita justru bertemu di sini, setelah beberapa tahun berlalu."
Leira tak ikut duduk bersama Queena. Ia tetap berdiri mematung dengan gestur tegang dan wajah yang menekan amarah.
Queena yang tampilannya tampak beda jauh dengan Leira, tersenyum anggun. Paras perempuan itu sangat cantik, dengan pakaian mewah dan gerakan anggun nan elegan. Tanpa perlu bertanya atau menebak, semua orang yang menatap Queena pasti bisa tahu jika perempuan tersebut berasal dari kalangan eksklusif yang tak bisa sembarang disentuh.
"Aku tak sangka ...." Queena memindai tubuh Leira dengan mata yang bergerak ke atas dan bawah. "Kamu menjalani hidup dengan cara ini." Perempuan itu mengangkat bahu tak acuh dengan wajah remeh. "Ah, harusnya aku sudah menyangka, sih. Saat kamu bilang ibumu menikah lagi, masa depanmu pasti hancur. Jadi, tak mungkin kamu bisa sekolah tinggi sepertiku dan Bagas."
Aleira emosi. Ia masih berdiri mematung dengan tangan kiri yang terkepal kuat. Mati-matian Aleira menahan amarahnya, karena perempuan itu sangat ingin merusak wajah dan tatanan rambut Queena saat ini juga. Perempuan yang ada di depannya adalah sosok nyata seorang penghianat dan manusia bermuka dua.
"Kamu mengambil Bagas dariku," ucap Leira lirih, dengan nada penuh penekanan. "Kamu menghianatiku, Queena."
Queena tertawa lirih. Tawa penuh mengejek dengan wajah seperti tokoh antagonis dalam film-film fantasi. "Kamu yang pergi meninggalkan Bagas, Leira. Dia patah hati dan terpuruk. Aku datang menolongnya dan kehidupan keluarganya." Seperti tersadar akan sesuatu, Queena memasang wajah kaget sambil menutup mulutnya dengan satu tangan. "Ups, aku lupa. Apa kamu tahu kabar majikanmu—uhm, maksudku, mertuaku?" Seringai licik tersungging di wajah cantik sang ratu hidup Bagas. "Bukan kabar baik, yang jelas."
Mendengar ucapan Queena. Wajah Aleira diselimuti kekhawatiran. Ia menyayangi orangtua Bagas, seperti orangtuanya sendiri. Ayah Bagas tak pernah perhitungan kepadanya soal biaya sekolah, juga selalu memberikan nasihat kepada Leira untuk bisa menjadi perempuan mandiri yang membahagiakan ibunya. Sedang Ibu Bagas, tak pernah membedakan dirinya dan Bagas. Mereka akan makan menu yang sama, juga cuci baju dengan detergen yang sama. Selama tinggal di rumah Bagas sebagai anak pembantu rumah itu, tidak ada kesenjangan yang Leira terima. Ia bebas menikmati kue, buah, camilan, atau televisi. Hidupnya tidak seperti pembantu-pembantu rumah tangga yang dikekang, tetapi lebih seperti anak angkat majikannya.
Lalu, Queena berkata kondisi mereka tidak baik? Ada apa?
"Wajahmu sepertinya panik. Ada apa, Leira? Penasaran dengan kondisi majikanmu?" Queena menyeringai. Ia menopangkan sebelah kakinya dan duduk dengan santai. "Ayah Bagas mengalami kerugian sangat besar akibat dihianati oleh Om Broto. Kamu pasti ingat beliau, bukan? Sahabat Ayah yang menjadi tangan kanan Ayah, tetapi akhirnya membunuh perekonomian Ayah. Lalu, sekarang, Ibu Bagas sedang sangat sibuk merawat suaminya yang lumpuh akibat struk."
Aleira meneteskan air mata tanpa isak. Tangan kirinya menutup mulutnya yang terbuka akibat kaget, dan tangan kanannya yang masih berbalut perban, gemetar. "Lalu ... Bagas?"
"Suamiku?" tanya Queena santai sambil menunjuk dirinya sendiri. "Tentu bekerja keras demi masa depan kami, Leira. Ia harus banting tulang demi melunasi utang Ayah dan mengembalikan kehidupannya yang sedang kacau. Aku," lagi-lagi Queena menunjuk dirinya dengan tegas, "menolong suamiku. Kami menikah dan keluargaku menyokong bisnisnya dengan investasi yang tak main-main. Kamu tidak akan sanggup membaca dan menghitung jumlah yang kami keluarkan untuk bisnis yang Bagas rintis dari awal. Sangat besar dan kamu tak akan pernah membayangkan jumlah itu. Tak akan pernah sampai pada hidupmu, uang sebanyak itu."
Tubuh Leira semakin gemetar. Ia ingin menemui mantan majikannya, bila perlu mengabdi dengan merawat ayah Bagas yang sakit. Namun, ia harus berada di sini untuk membantu Om Tino menjalankan bisnis tenaman hias ini.
"Aku ke sini hanya untuk memberitahumu beberapa hal. Satu, Bagas tak pernah merepons surat yang kamu berikan kepadanya. Aku pernah tak sengaja masuk ke dalam kamarnya dan menemukan kotak yang kamu titipkan kepadaku, ada di dalam tong sampah kamarnya. Jadi, jangan pernah menganggap Bagas adalah milikmu, karena nyatanya kamu hanyalah pembantunya. Hayalanmu terlalu tinggi, Leira. Tidak ada Cinderella di jaman ini. Jadi, tolong tahu diri dan jangan mengharapkan Bagas lagi."
Queena berdiri dari duduknya. Perempuan itu membawa tas mahalnya dengan gestur anggun. Sedang Leira, terus mengucurkan air mata, dengan hati yang pecah mendengar penuturan perempuan yang dulu menjadi sahabatnya.
"Kedua, Bagas suamiku. Aku tidak akan membiarkan siapapun mengambil Bagas, apa lagi kamu. Dia terikat dengan keluargaku, karena keluarga kami bersatu membangun bisnis. Jadi, jangan sekali-kali mencoba untuk menarik perhatian Bagas. Jika kamu nekad dan kalian menjalin hubungan terlarang, aku tak akan segan menarik semua investasiku kepadanya dan membuat Bagas beserta orangtuanya jatuh miskin." Senyum Queena terbit, tetapi tak sehangat matahari. Senyum itu menyeramkan, seperti badai yang siap meluluhlantakkan apa saja. "Minggu depan pembukaan hotel diselenggarakan. Aku yakin kamu pasti datang. Tolong jaga jarak dengan suamiku, karena kalian bukan dari kalangan yang sama."
Aleira tak berkutik. Perempuan itu terus berusaha untuk tetap bisa berdiri tegar, padahal tubuhnya terasa tak bertulang. Ia baru tahu tentang apa yang Bagas alami. Namun, mengapa Bagas membuangnya? Mengapa Bagas tak memanggilnya untuk membantu pria itu bangkit dari keterpurukan?
"Kamu tidak akan bisa berada di samping Bagas. Kamu bukan perempuan yang pantas ada di samping dia dan menolong dia di saat tersulit hidupnya. Kalian itu ... seperti langit dan bumi. Jadi, tolong jaga harga diri kamu dengan menjaga hubungan kalian agar tak terlalu dekat. Bahaya. Nama baikmu dan Bagas bisa hancur tak bersisa."
Queena melangkah mendekati Leira. Perempuan itu berhenti tepat di depan tubuh Leira dan menatap dengan sorot intimidasi. "Camkan peringatanku ini. Aku repot-repot mendatangimu, semata demi kebaikan suamiku dan kamu. Segera selesaikan tugasmu pada hotel kami, lalu pergilah. Hidup kami baik-baik saja, dan kamu berpotensi merusak Bagas."
"Kamu tidak mencintai Bagas. Dia pun tidak mencintaimu." Aleira memberanikan diri bersuara denga tatapan penuh benci pada Queena. Matanya menyorotkan kehancuran yang tak bisa ia tutupi.
"Cinta? Bagas tidak cinta? Semalam saja kami bercinta, Leira. Kami menikah, suami istri dan cinta hadir melingkupi hidup kami. Jangan termakan pikiran dan asumsimu sendiri, hanya karena kalian pernah dekat saat sekolah dulu. Itu sudah lama berlalu dan semua sudah berubah." Mata Queena menatap Leira penuh penegasan. "Pergilah dari hidup Bagas dan jangan pernah menampakkan diri lagi setelah pembukaan hotel minggu depan." Berdecih sinis, Queena melangkah pergi, meninggalkan Aleira yang terseok mendudukkan dirinya di kursi.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top