11 Perasaan Aleira

"Apa ya nama yang sekiranya bagus untuk taman aglonema?" Leira menggumam sendiri. Ia tengah bermain dengan laptopnya, berselancar mencari ide-ide tentang nama untuk taman aglonema yang sebentar lagi selesai ia kerjakan.

Pembukaan hotel akan berjalan kurang dari satu bulan lagi. Leira yang masih harus menunggu kiriman empat jenis aglonema premium dari Aceh dan Jambi, terpaksa harus rela melambatkan tempo kerjanya. Ia masih memiliki banyak tugas, tetapi hanya hal-hal kecil seperti memindah aglonema jenis donna carmen dari polybag ke dalam pot yang sudah hotel sediakan. Tiga ratus tanaman donna carmen itu akan menjadi souvenir tamu yang sudah memesan kamar pada saat pembukaan.

Saat mendengar kabar dari Pak Mansyur tentang antusiasme masyarakat terhadap hotel berkonsep kebun tanaman hias ini, Aleira tersenyum senang meski hatinya getir. Bagas beruntung. Ia tak perlu bersusah payah seperti dirinya dalam membangun usaha. Perbedaan kasta di antara mereka, membuat Aleira semakin yakin terhadap perbedaan nasib mereka. Bagas bahagia dengan Queena dan berhasil dengan bisnis hotelnya.

"Tiga ratus donna carmen yang kami pesan itu, Mbak, sudah full booked semua. Jadi, tolong pastikan tidak ada yang layu, karena cenderamata itu biasanya jadi sesuatu yang istimewa untuk acara pembukaan. Mereka pasti senang dapat aglonema meski hanya jenis donna carmen."

Aleira hanya mengangguk setuju dengan permintaan Pak Mansyur, hingga akhirnya memutuskan untuk turun tangan sendiri menyiapkan tiga ratus donna carmen itu. Nuri dan Maya biar tetap di kios melayani pelanggan dan pengunjung tempat wisata.

Sebentar lagi waktunya Aleira untuk peri ke hotel dan berkutat dengan tanaman, tanah, dan pot. Pagi ini ia mampir ke kios untuk menyiapkan pupuk dan sekam yang akan ia bawa ke hotel, sambil menunggu pesan dari Paman Tino terkait jadwal kirim tanaman dari Aceh dan Jambi. Lagi pula, pik up yang akan membawa pupuk-pupukitu belum datang menjemput, artinya dia masih harus menunggu meski kesal karena yakin pekerjaannya akan semakin lama selesai.

Hotel meminta Leira menyelesaikan taman kurang dari dua minggu, karena taman itu akan diuji coba dan didokumentasikan sebelum benar-benar dibuka. Mengetahui ia harus kejar-kejaran waktu, Leira sedikit tertekan. Ia tak ingin kinerjanya buruk dan mendapatkan citra buruk pula dari Bagas.

Mengingat Bagas, Leira jadi memikirkan pria itu. Matanya beralih dari layar laptop dan menatap arah lain dengan pandangan berpikir. Bagas berubah. Pria itu bersikap dingin, lalu menjaga jarak, lalu tiba-tiba bicara dengan nada lembut dan sopan. Aleira senang dengan perubahan sikap Bagas, tetapi takut jika ternyata Bagas menyimpan niat buruk kepadanya.

"Aleira."

Panggilan itu membuat lamunan Leira pecah dan menoleh pada asal suara. Wajah Leira yang tadinya sendu saat memikirkan Bagas, berubah menjadi dingin dan datar. "Aku tidak punya banyak waktu. Pik up Pak Pur sebentar lagi datang mengambil bahan kerjaku dan aku harus segera pergi. Maaf, tapi kita tidak ada waktu untuk apapun."

Aleira menutup laptopnya, memasukkan benda itu ke dalam tas bersama data-data yang selalu ia bawa setiap pergi ke hotel. Ruang kerjanya memang taman yang terletak di luar ruangan, tetapi Leira tetap membuka laptopnya yang ia letakkan di meja angkringan saat sedang menata taman.

Tanpa peduli dengan sosok yang mendatanginya, Aleira beranjak dari kursi meja kios sambil menggendong tasnya, lalu melangkah ke luar. Namun, pergerakan perempuan itu terhenti saat Yongki mencekal tangannya, meski dengan keras Leira sentak agar terlepas.

"Mas mau apa lagi?" Aleira berbalik dengan menatap Yongki dengan wajah jengah. Ia berdiri sambil bersedekap dada dan memasang wajah tak berminat. "Lei gak bisa buang-buang waktu."

Yongki tersenyum sedih, sendu, tetapi wajahnya kentara terlihat kesal. "Saya tahu kamu sibuk sekali dengan proyek hotel itu. Ya, sejak sering bertemu dan belajar tentang tanaman bersama saya, kamu memang terlihat berkembang dengan bisnis ini." Entah apa maksud Yongki memulai obrolan mereka dengan ucapan ini. "Saya akan terus menemui kamu hingga kamu sadar jika saya mencintaimu."

"Tapi Leira gak cinta," jawab Leira seraya menggeleng pelan. "Dulu mungkin ada rasa cinta itu meski sedikit, tetapi terhapus habis saat Mas ternyata membohongi kami."

"Sekarang saya tidak berbohong lagi, Lei. Saya sungguhan duda!"

"Tapi Leira tak mau membohongi hati dengan persikap seakan cinta dan mau menerima Mas Yongki," tukas Leira dengan nada yang meninggi. Leira tidak pandai bicara dan basa-basi. Baginya, jika bicara langsung saja pada inti dan tak usah berbelit. "Jangan dekati Leira lagi dan pergilah mencari perempuan lain. Leira tak mau dengan Mas Yongki."

Yongki menyeringai sinis sambil berdecih lirih. "Lalu kamu maunya sama siapa? Leira, ingat, kamu itu sendiri meski memiliki ibu. Akan sulit mencari keluarga yang mau menerima kamu karena masa lalu dan asal usul kamu. Saya masih mengejar kamu, karena saya tulus mencintai tanpa memandang masa lalu, bahkan tidak tahu siapa ayahmu. Saya pun tak masalah tentang ibumu yang tak pernah menemuimu. Hanya saya yang mau menjaga kamu. Pak Tino tidak akan terus berada di sisi kamu. Dia memiliki kehidupannya sendiri."

Mata Leira seketika memanas bersamaan dengan hatinya. Ia tak suka orang lain mengungkit tentang hidupnya yang pahit. "Hidupku bukan urusan Mas Yongki," tukas Leira dengan wajah sinis dan menahan amarah. "Pak Tino adalah paman saya dan beliau akan selalu menjaga saya."

"Sampai kapan?" tanya Yongki dengan wajah ragu bercampur mengejek. "Pak Tino menemuimu hanya karena kamu mengelola bisnis miliknya. Setelah ia tak tertarik lagi dengan bisnis ini, ia tidak akan mengingatmu, Leira. Saya pernah menikah dan tahu betul bagaimana kehidupan pernikahan. Saya datang ke sini untuk membuka matamu, jika hanya saya yang mau menerimamu dan masuk ke dalam hidupmu yang terasa pengap dan lembab."

Tetes air mata Leira luruh. Dadanya naik turun akibat napas yang terasa sesak. Amarahnya bergejolak tetapi tak bisa ia luapkan. Tubuhnya bahkan berkeringat dingin dengan tangan yang sedikit gemetar.

"Lei harus pergi."

"Saya antar."

Leira menggeleng tegas. "Hidup Leira memang sangat pahit, tapi bukan berarti Leira bisa menerima belas kasihan orang lain. Sekalipun Mas mengatakan cinta, Leira tak akan menerima karena tak bisa merasakan cinta yang Mas katakan."

Pik up yang baru saja datang sudah mulai mengangkut tumpukan karung sekam dan pupuk yang Leira siapkan. Perempuan itu menghampiri si supir sambil mengusap wajahnya yang basah air mata, lalu menaiki motornya dan pergi meninggalkan kios tanpa menunggu pik up selesai memuat barang.

*******

Air mata Leira terus saja menetes, padahal perempuan itu sudah berusaha untuk melupakan ucapan Yongki saat mereka bertemu tadi. Perempuan itu terus menunduk sambil memasukkan tanah, pupuk, sekam, serta tanaman yang akan menjadi cendera mata saat pembukaan hotel ini.

Yongki tahu banyak tentang dirinya. Kedekatan mereka dulu, membuat Aleira membuka sedikit demi sedikit hidupnya yang kelam. Yongki menerimanya dan tak mempermasalahkan masa lalu serta kondisi keluarga Leira yang amburadul. Leira bahagia dan tenang mendapati ada pria menerima keadaannya. Namun, sebaik apapun penerimaan, kebohongan adalah hal buruk yang selalu merusak segalanya.

Dehaman terdengar dari arah belakang Aleira. Perempuan itu mengusap ujung matanya dengan punggung tangan, lalu berbalik dan mendapati Bagas berdiri dengan tangan yang terkait di belakang punggung pria itu.

"Sibuk?"

Aleira mengangguk bingung sebelum berdiri dan menatap Bagas dengan kening mengernyit. "Ada yang bisa saya bantu?" Kalimat yang selalu diucapkan oleh pegawai kepada atasannya atau pembantu kepada majikannya. Persis seperti yang dulu selalu Aleira ucapkan kepada Bagas saat mereka masih kecil, saat Leira membantu ibunya yang mengabdi kepada keluarga Bagas.

Bagas tak langsung menjawab. Pria itu tertegun dengan kekaguman pada wajah putih Aleira dan keringat yang mengucur di keningnya. Mata perempuan itu tampak sendu, meski tertutupi dengan sorot tanya yang mengarah kepadanya.

"Tidak ada. Saya hanya bertanya bagaimana progresnya." Bagas menggeleng, lantas menggerakkan dagu ke arah deretan pot kecil dengan stiker logo hotel miliknya. "Cenderamata?"

Aleira mengangguk sungkan, lalu menunduk seperti pembantu. Dia memang pembantunya Bagas, bukan? Sejak dulu ... hingga sekarang. Posisinya selalu di bawah Bagas dan akan terus begitu. "Iya. Maaf karena sampai sekarang baru sekitar seratus pot yang kami siapkan. Namun, dalam waktu kurang dari empat hari, saya pastikan 300 pot akan siap dan kami tata di beberapa tempat yang sudah Pak Mansyur arahkan."

Bagas mengangguk dengan mata yang menyorot pedih. Aleira menjaga jarak lagi. Saat mereka dekat dulu, perempuan itu pasti menatap matanya saat bicara, hingga Bagas bisa melihat apa yang Aleira rasa. Jika perempuan itu menunduk dan membuat gestur seperti ini, Bagas jadi bingung berdekatan lagi dengannya.

"Soal ... nama taman, apa sudah ada pandangan?"

Aleira menggeleng masih dengan posisi menunduknya. "Saya minta maaf."

Bagas tertawa lirih dengan hati yang terimpit. "Bukan salah kamu. Ini memang tugas kita, bukan?"

Kali ini, Aleira mengangkat wajahnya dan menatap Bagas penuh tanya.

Senyum Bagas tersungging dengan hati yang berdebar. "Setelah jam kerja, bagaimana jika menikmati teh hangat sambil bicara? Mungkin kita bisa menemukan nama yang tepat untuk taman ini."

Perasaan bagas meledak dengan antusias dan bahagia saat Aleira mengangguk.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top