10 Sikap Bagas
"Progres pembangunan taman sudah tujuh puluh persen. Seperti yang Bapak lihat, bahwa sudah banyak aglonema yang tertanam di taman. Angkringan juga sudah selesai dibuat begitu juga kios kecil untuk menjual bibit tanaman. Kata Mbak Leira, sisa tanaman yang belum dikirim karena mereka harus mengambil bibit dari tempat yang jauh seperti Aceh dan Jambi."
Bagas hanya mengangguk seraya terus meliarkan pandangannya ke semua sudut taman. Ia memberikan nilai empat bintang atas apa yang ia lihat kini. Satu sisa bintangnya mungkin jika semua tanaman sudah selesai Aleira kirim dan tata di taman ini. Sejak tiga hari lalu, ia banyak mendengar antusias karyawannya tentang taman yang sedang dibangun. Banyak juga yang berkata bahwa taman aglonema yang ada di hotelnya bisa menjadi ikon wisata tempat itu.
Mendengar bagaimana karyawannya banyak memuji, semangat dan optimisme Bagas meroket. Ia yakin bisnis yang ia rintis kini bisa memberikan hasil maksimal dan mengembalikan kondisi perekonomian ayahnya yang goyah. Bahkan, dua hari lalu ada wartawan dari media masa lokal yang mewawancarainya tentang pembangunan hotel dan prospek pariwisata yang dapat dinikmati pengunjung.
Dalam wawancara itu, Bagas mengatakan bahwa hotel miliknya akan memberikan banyak fasilitas untuk pengunjung berbagai usia. Mulai dari taman bermain anak hingga taman aglonema untuk dewasa dan lansia.
"Di taman itu, kami menyediakan angkringan dan mini florist untuk pengunjung. Mereka bisa menikmati hawa pegunungan kawasan Kemuning sambil menikmati keindahan tanaman jenis aglonema ini. Menu yang kami tawarkan di angkringan juga beragam hingga bisa bebas dipilih sesuai selera."
Saat wawancara itu sudah terbit di media cetak, Bagas senang dan bangga dengan apa yang tertulis di sana. Wartawan itu menuangkan dengan detail segala informasi yang bisa membantu agar masyarakat tahu jika hotelnya akan menjadi satu destinasi wisata yang tak bisa dilewati.
Satu yang sedikit Bagas sesali adalah hubungannya dengan Leira yang tampak sangat berjarak. Jauh berbeda dengan belasan tahun lalu saat mereka masih bersama. Leira bekerja dengan giat, disiplin, rapi dan rajin hingga ia bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan sempurna. Mereka juga terlibat beberapa meeting penting terkait progres pembangunan taman. Setiap Leira membuka laptop berwarna pink miliknya, Bagas jadi teringat saat melihat Aleira di toko komputer mal tempo lalu. Ia sedih, kecewa, putus asa. Namun, ia harus tetap tegar dan menerima fakta buruk itu, karena ia harus fokus dengan satu masalah yang kini menjadi fokusnya.
Aleira sudah menikah dan bahagia. Seharusnya Bagas bisa berdamai dengan nasib yang terjadi di antara mereka. Kisah asmara remaja yang mereka miliki hanyalah sepenggal kenangan yang cukup disimpan dalam hati. Leira jelas tampak takut kepadanya dan berusaha untuk menjaga jarak sejauh mungkin.
Bagas seperti ... kosong. Ia ingin dekat dengan Leira, berbagi senyum, tawa, canda, dan ... apapun asal bukan cinta karena Bagas tahu diri ia sudah tak berhak akan itu lagi. Leira membantu banyak dalam pembangunan hotel ini. Kontribusinya tak bisa dipandang sebelah mata. Banyak yang mulai melirik taman ikonik hotel itu, karena dianggap baru dan lain dari yang lain.
"Oya, Pak, saya dengar dari Nirmala, kalau untuk pembukaan nanti, yang booking sudah banyak. Kamar yang dipesan sudah sekitar delapan puluh persen, padahal pembukaan masih dua bulanan lagi." Pak Mansyur berucap dengan nada penuh syukur dan bangga. "Yang bikin saya senang tuh, mereka bilang penasaran dengan taman aglonema ini. Sayangnya, saya sampai sekarang belum terpikirkan nama yang bagus untuk taman aglonema itu."
Bagas menoleh pada Pak Mansyur dan mengangguk setuju. "Saya sudah dapat laporan tentang itu. Pemesanan kamar nyaris penuh untuk pembukaan. Selain karena promo yang ditawarkan, juga taman ini yang menjadi daya tarik penjualan kita." Senyum Bagas tersungging lembut. "Saya bersyukur saat menyetujui ide pembuatan taman aglonema. Saya tidak tahu jika tanggapannya bisa sepositif ini."
"Kedepannya, kita bisa membuat taman sansivera, keladi, kalatea, kaktus, atau jenis tanaman lain. Konsep hotel ini bukannya memang ingin memanjakan pecinta tanaman dengan memberikan wisata edukasi tentang jenis tanaman tertentu?" tanya Pak Mansyur, memastikan yang pernah ia dengar saat pertama kali bekerja di perusahaan ini, saat hotel baru mulai dibangun.
Bagas mengangguk lagi. "Ibu saya memang meminta konsep seperti itu dua tahun lalu. Semoga bisa terlaksana dan memberikan hasil yang maksimal."
Pak Mansyur mengangguk. "Soal nama taman ini, bagaimana, Pak?"
"Saya ...." Bagas berpikir sejenak. "Mungkin akan meminta bantuan Aleira untuk memberikan nama taman ini. Dia paham tentang tanaman hias, bukan? Seharusnya bisa memberikan beberapa informasi filosofis yang bisa kita jadikan nama taman ini."
"Kalau begitu, nanti saya coba atur pertemuan lagi dengan dia. Bapak setuju?"
Bagas mengangguk. "Tolong buatkan jadwal untuk itu."
Keputusan ini memang murni karena bisnis, tetapi ada maksud lain yang terlintas dalam benak Bagas. Ia ingin memulai kembali hubungannya dengan Aleira. Bagaimana pun, perempuan itu membantu banyak dan Bagas harus berterimakasih. Mereka tak mungkin lagi bersama, tetapi setidaknya masih bisa berteman, bukan? Toh, kerjasama mereka akan terjalin lama dan itu artinya intensitas pertemuan mereka akan meningkat.
Bagas membenci Aleira, tetapi membutuhkan perempuan itu untuk hotelnya. Ada satu masa saat ia ingin mengganti Aleira dengan vendor lain, tetapi tak bisa karena kinerja Aleira terlihat bagus dan dia tak bisa membatalkan komitmen kerjasama di antara mereka. Meski kadang merasa tak nyaman, Bagas berusaha untuk berdamai dan menerima.
****
Wajah Aleira tampak dingin saat berhadapan dengan Bagas. Wanita itu bahkan sempat membuang muka saat Bagas masuk ke dalam ruang pertemuan yang Pak Mansyur siapkan. Bagas tahu, sikap Aleira yang cenderung membentengi dirinya, adalah akibat sikapnya saat awal pembangunan taman dilaksanakan. Bagas merasa tak enak, karena Aleira nyata membuktikan keredibilitas perempuan itu sebagai florist.
Seharusnya Bagas berterimakasih dan mengapresiasi hasil kerja Aleira yang luar biasa. Sesaat lalu, Bagas menerima laporan dari tim marketingnya bahwa pemesanan kamar sudah habis tak bersisa. Bahkan ada influencer dan selebgram yang juga menjadi daftar calon tamu mereka. Bagas bahagia. Setelah banyak kepedihan dan masalah yang membuatnya merasa sesak dalam gelap, akhirnya ada secercah cahaya yang perlahan membuatnya bisa bernapas.
"Selamat siang, Aleira," sapa Bagas setelah hening merajai mereka. Ia mencoba melengkungkan senyum, meski hasilnya terlihat kaku dan canggung.
"Siang," jawab Aleira kikuk dengan mata yang menatap Bagas sekejap saja. Selebihnya, ia berusaha menghindari tatapannya dengan mencoba fokus pada kertas-kerta di atas meja.
Suasana siang ini sangat canggung dan aneh. Bagas berdeham demi mencairkan atmosfir yang terasa beku juga menormalkan degup jantungnya yang kencang. "Saya ... mengundang Ibu karena ingin membicarakan beberapa hal. Yang pertama, saya ingin berterimakasih untuk pembangunan taman yang sesuai ekspektasi hotel kami."
Mendengar suara Bagas yang terkesan lembut dan tulus, seketika Aleira memberikan atensinya, meski wajah perempuan itu tak bisa menutupi keheranannya. "Itu sudah jadi tugas saya," jawabnya dengan wajah yang masih tak habis pikir apa yang terjadi dengan Bagas.
Bagas mengangguk. "Yang kedua, saya mau berdiskusi tentang satu hal. Saat pembukaan hotel nanti, saya ingin meresmikan taman tersebut, tetapi kami belum menemukan nama yang tepat. Sebagai florist, apa Bu Aleira punya pandangan dan masukan terkait ini?"
Bagas menatap Aleira dengan sorot dalam. Ada kekalahan dan putus asa yang membuat Aleira merasa Bagas tak baik-baik saja. Pria itu memang tak baik-baik saja sejak pertama mereka bertemu lagi. Hanya saja, sekarang beda. Bagas yang kemarin memandang Aleira penuh benci, tetapi sekarang dengan sorot seperti menerima kekalahan.
Aleira menggeleng dengan banyak pikiran yang berkecamuk. Ada apa dengan Bagas? Mengapa ia berubah secepat ini? "Saya ... belum ada pandangan soal nama taman. Saya mohon maaf." Aleira kembali menunduk. Ia takut. Bagas mungkin saja akan marah lagi setelah ini dan mengatakan sesuatu yang terasa pahit.
Hening merajai mereka selama beberapa detik, hingga Bagas akhirnya bersuara. "Tidak apa. Kita bisa mencari nama taman itu bersama."
Aleira mengangkat kepalanya dengan wajah penuh tanya. "Maksudnya?"
Bagas tak menjawab. Ia hanya menatap Aleira dengan senyum tulus dan mata yang memancarkan kekalahan. "Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya." Pria itu lantas mengangguk sekali, berdiri, dan pergi meninggalkan Aleira yang semakin bingung dengan sikap sahabat dan cinta pertamanya.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top