{9} Perkenalan

Tadzkia

Terdengar suara ketukan dari pintu kamarku. Beberapa detik kemudian, Mama membuka pintu. Wajahnya muncul dari balik pintu. Dari ekspresinya, aku langsung dapat menebak bahwa Mama merasa kesal saat melihatku rebahan di atas tempat tidur sambil bermain handphone.

"Kia!" sentak Mama dengan mata melotot. "Kok, malah rebahan? Itu Tante Ratih dan Arsyad nungguin kamu di ruang tamu."

"Bentar, Ma. Kia masih kegerahan ini. Panas banget di luar." Aku coba membela diri. Sebisa mungkin berusaha mengulur waktu.

"Kamu tahu, kan, kalau Tante Ratih dan Arsyad sudah nungguin kamu sejak tadi. Kamu sudah janji sama Mama, setuju buat dikenalin dengan Arsyad."

Aku meletakkan ponsel di sisi tubuh, lalu bangkit duduk. Kuhela napas panjang. Sepertinya memang nggak ada pilihan lain. Aku harus menemui lelaki itu supaya Mama nggak mengomel. Setelah meregangkan tubuh, aku turun dari tempat tidur dan meraih jilbab kaos yang kusampirkan di kursi belajar.

"Kia!" desis Mama tegas. Aku menoleh dan melihat Mama berkacak pinggang di pintu. "Masak mau ketemu calon suami pakai baju rumahan begitu. Ganti baju! Pakai baju yang rapi!"

Mulutku telah setengah membuka, hendak memprotes Mama yang lagi-lagi menggunakan istilah calon suami untuk menyebut lelaki itu. Tapi, demi melihat wajah Mama yang cemberut, aku buru-buru mengurungkannya. Energiku nyaris habis setelah aktivitas yang kujalani sepanjang hari, nggak ada gunanya berdebat dengan Mama.

"Iya, sebentar, Kia ganti baju dulu," ucapku mengalah.

"Kalau lima menit kamu belum turun. Mama bakalan marah sama kamu," ancam Mama sebelum menutup pintu kamarku.

Dengan berat hati, aku memilih gamis berwarna biru tua dari lemari, juga mengambil kerudung segiempat dengan warna senada. Gamis itu dibelikan Mama, jadi harusnya akan memenuhi standar rapinya. Setelah berganti pakaian, aku bergegas keluar kamar. Ternyata Mama masih menunggu di depan kamarku.

"Ya, ampun, Kia!"

Apa lagi yang salah? Rasa-rasanya aku sudah melakukan semua perintah Mama.

"Mama tahu, kamu nggak suka dandan. Tapi, seenggaknya pakai bedak dikit biar nggak kelihatan pucat. Astagfirullah, anak gadis satu ini." Mama menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia menarik lenganku dan mengajakku masuk ke kamarnya.

Aku pasrah saja saat Mama menyapukan bedak tabur ke wajahku, juga ketika mengoleskan lip balm di bibirku. Tapi, aku segera protes dan menolak ketika Mama hendak mengusapkan perona pipi.

"Ma, nggak usah menor-menor."

Mama mendesah kesal, tapi nggak memaksakan niatnya mendandaniku. Dia kemudian mengajakku segera turun ke ruang tamu.

"Ingat. Bersikap ramah dan sopan." Mama berbisik menasihatiku sebelum menyibak tirai yang membatasi ruang makan dengan ruang tamu.

"Maaf, ya, Jeng, Nak Arsyad, sudah nunggu lama." Suara Mama terdengar riang.

Aku mengekor di belakang Mama sambil memasang senyum seramah mungkin. Tante Ratih balas tersenyum padaku. Aku menoleh pada lelaki yang duduk di sampingnya. Detik itu juga, jantungku serasa melorot jatuh. Laki-laki yang hendak Mama kenalkan denganku adalah lelaki yang tadi kutemui di gang.

Mataku membulat nggak percaya. Kurasakan wajahku memanas. Tanpa bisa kucegah, bayang-bayang kejadian tadi kembali melintas. Aku teringat kembali pada kejadian memalukan tadi. Betapa aku sudah bersikap nggak sopan kepada lelaki itu.

Ekspesi laki-laki itu terlihat datar. Aku nggak bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya.

"Nak Arsyad, ini Tadzkia, anak bungsu Tante. Kia perkenalkan, ini Arsyad, putranya Tante Ratih." Mama melingkarkan lengannya di pundakku dan menyuruhku maju.

Aku yang nggak tahu harus merespons apa hanya bisa melangkah maju. Dengan ekspresi salah tingkah, aku mengucap salam sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada.

Laki-laki itu meniru gerakanku. "Waalaikumsalam. Ternyata kita ketemu lagi di sini, ya."

"Lho, kalian sudah ketemu sebelumnya?" Tante Ratih terdengar heran. Wanita itu menatap putranya dengan sorot mata penuh rasa penasaran.

"Iya, Tante. Tadi, kami ketemu di masjid. Hanya saja, saya tadi nggak tahu kalau dia Tadzkia." Dari tutur kata dan caranya memandang Tante Ratih, aku dapat menebak bahwa laki-laki itu sangat menghormati ibunya.

"Mungkin Nak Arsyad dan Kia pingin ngobrol-ngobrol dulu, Jeng Ratih. Kita jalan-jalan bentar ke taman yuk. Kebetulan saya punya koleksi anggrek baru nih." Mama tiba-tiba mengajukan usul.

Aku tersentak kaget mendengarnya. "Biar Kia dan Mas Arsyad aja yang ke taman, Ma. Mama di sini aja ngobrol-ngobrol sama Tante Ratih," tukasku. Aku dan laki-laki itu memang perlu ngobrol berdua, tapi nggak benar-benar ditinggalkan berdua saja di ruang tamu. Paling nggak, kalau aku dan lelaki itu yang pindah ke taman, kami bisa memilih tempat yang tetap terlihat dari ruang tamu. Mama dan Tante Ratih tetap dapat mengawasi kami dari sini.

"Terserah kamu, deh," Mama mengedipkan mata padaku. "Yang penting kalian nyaman ngobrolnya."

Aku menoleh kepada lelaki bertubuh jangkung itu, "Kalau Mas nggak keberatan, kita ngobrol di taman saja, ya?"

Lelaki itu nggak menjawab pertanyaanku, tapi dia bangkit dari sofa dan dengan gerakan tangannya mempersilakanku untuk berjalan lebih dulu.

Aku menahan diri untuk nggak menoleh ke belakang selama berjalan menuju tama. Aku nggak mau melihat ekspresi Mama dan Tante Ratih yang mungkin sedang berbisik-bisik membicarakan kami. Juga nggak mau melihat ekspresi laki-laki itu.

Makin jauh aku melangkah, makin kencang debaran jantungku. Mendadak aku menyesali keputusanku menyetujui usulan Mama untuk menjodohkanku dengan lelaki pilihannya.

Bagian taman yang kutuju sebenarnya hanya berjarak tidak sampai sepuluh meter dari ruang tamu. Seberapa pun aku berusaha melambatkan langkahku, nggak butuh waktu lama untuk sampai di deretan kursi besi yang terletak di bawah naungan pohon ketapang kencana. Kursi-kursi itu melingkari sebuah meja batu berdiameter setengah meter. Aku dan keluargaku biasa berkumpul di sini saat kakak-kakakku sedang berkunjung ke rumah ini.

Meski rasanya ingin kabur meninggalkan tempat ini, pada akhirnya aku duduk juga di salah satu kursi.

"Silakan duduk, Mas," ujarku tanpa berani menatap lelaki itu.

Dia memilih kursi yang berseberangan denganku. "Maaf kalau tadi saya memperlakukan kamu kayak anak kecil. Gara-gara buku yang kamu bawa, saya pikir kamu masih anak SMP." Lelaki itu membuka pembicaraan dengan permintaan maaf.

"Sa-saya juga minta maaf atas sikap saya yang nggak sopan tadi." Aku menelan ludah. Kerongkonganku terasa seperti dipenuhi duri.

"Yang mana?"

Pertanyaan lelaki itu berhasil membuatku mendongak. Tatapan kami sempat bertemu di udara. Buru-buru kualihkan pandangan ke rumpun bunga di belakangnya. "Yang mana apanya?" Aku balas bertanya dengan suara lirih.

"Sikap kamu yang mana yang kamu anggap nggak sopan?"

Aku mengerutkan kening. Kali ini aku nggak bisa menahan diri untuk menatap wajah laki-laki itu. "Err... Karena tadi saya sudah panggil Mas dengan sebutan om?" ujarku ragu-ragu.

Suara tawanya berderai di udara. "Tadi, saya memang sedikit kesal, sih. Tapi, setelah dipikir-pikir lagi mungkin saya memang sudah terlihat seperti om-om."

Posisi kami yang berdekatan membuatku dapat memperhatikan laki-laki itu dengan lebih saksama. Kalau benar dia seumuran dengan Mas Akbar, kakak tertuaku, sebenarnya laki-laki di hadapanku ini terlihat sedikit lebih muda. Perutnya pun tampak rata, tidak terlihat membuncit seperti Mas Akbar. Tadi, aku terlalu cepat menyimpulkan karena pakaian yang dikenakannya kelewat rapi, juga suaranya yang berat dan dalam.

"Maaf kalau sudah membuat Mas kesal." Aku mengucapkan permohonan maaf sekali lagi. Kali ini dengan lebih tulus.

"Sudah maaf-maafannya. Saya rasa yang tadi cuma salah paham saja," ujarnya sambil menumpukan kedua tangan ke atas meja. Seulas senyum melengkung di wajahnya dan jantungku seperti melewatkan satu kali detakan saat melihatnya, "Sekarang, apa yang harus kita lakukan? Ada yang kamu mau tanyakan kepada saya?"

Aku sudah menyiapkan daftar pertanyaan yang kususun setelah berdiskusi dengan Mbak Wardah kemarin. Tapi, entah kenapa semua pertanyaan itu raib begitu saja dari kepalaku. 


-------=====-------

Katamela:

Aaaaak... Saya sampai malu minta maaf terus karena belum juga bisa memenuhi janji buat update rutin cerita-cerita di Wattpad.  Janjinya update tiap minggu, ini malah lebih dari sebulan baru bisa update.

Dengan kondisi yang sudah kembali normal, artinya kerja pun sudah mulai WFO tiap hari, saya benar-benar masih keteteran ngatur waktu. Semoga bisa segera bagi jadwal dengan adil ya. Belum berani janji yang muluk-muluk, tapi saya usahakan untuk menyelesaikan revisi cerita ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top