{7} Pertemuan

Tadzkia

Ponselku kembali bergetar. Tanpa perlu melihatnya, aku sudah tahu siapa yang mengirimkan pesan. Itu pasti Mama yang sejak tadi bolak-balik bertanya aku sedang di mana. Seharusnya aku memang sudah sampai rumah, tapi aku sengaja menyuruh tukang ojek yang kutumpangi untuk mengantarku ke masjid. Kepada Mama aku beralasan ingin salat Ashar dulu mumpung adzan baru saja berkumandang. Aku sengaja menunda-nunda untuk pulang karena aku tahu di rumahku sekarang ada pria itu, pria yang kata Mama ingin dikenalkannya kepadaku.

Sebenarnya, aku merasa bersalah. Aku nggak suka membuat orang lain menunggu, apalagi Mama sudah memberitahuku sejak kemarin tentang rencana pria itu berkunjung ke rumah. Hanya saja ... rasanya masih berat. Aku belum siap ketemu pria itu. Walau Mama menekankan bahwa hari ini kami cukup berkenalan saja, tetap saja otakku sibuk berpikir terlalu jauh. Bagaimanapun juga, aku sudah tahu apa yang Mama harapkan dari acara perkenalan hari ini.

Yang kukhawatirkan bukan gimana kalau pria itu nggak menyukaiku. Jika itu terjadi, aku justru akan merasa lega. Artinya, aku nggak perlu pusing-pusing memikirkan apakah akan menyetujui rencana perjodohan ini atau nggak. Perjodohan batal karena pihak pria nggak menyukaiku. Titik. Aku nggak perlu pusing mencari-cari alasan untuk menolak.

Beda ceritanya kalau pria itu justru setuju dijodohkan denganku. Itu artinya, akulah yang harus mengambil keputusan akhir. Aku nggak suka dengan hal itu. Sejak dulu, aku memang lebih memilih bermain aman. Mengikuti saja apa yang disarankan orang lain kepadaku. Tapi sekarang, nggak mungkin aku pasrah-pasrah saja untuk urusan seserius ini.

Gimana kalau aku salah mengambil keputusan?

Pertanyaan itu terus saja menghantuiku. Kalau saja nggak telanjur berjanji pada Mama, ingin sekali aku batalkan rencana perkenalan ini supaya nggak perlu ada keputusan apa-apa yang kuambil.

Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan ponsel dari tas. Andai saja aku nggak teringat pada anjuran Rasulullah SAW untuk menjawab panggilan orang tua, aku akan berpura-pura nggak mengecek ponsel dan berlama-lama di sini.

Ternyata dugaanku benar. Mama kembali mengirimiku deretan pesan panjang yang intinya menyuruhku untuk segera pulang. Aku rasa, aku nggak punya pilihan lain. Mungkin memang lebih baik cepat-cepat menyelesaikan urusan ini. Kalaupun aku nggak menemui pria itu hari ini, Mama pasti akan memilihkan hari lain untuk mengatur pertemuan kami.

Setelah membelas pesan Mama, aku mulai membereskan barang-barangku. Cukup banyak. Selain ransel yang penuh, ada setumpuk buku yang juga harus kubawa dengan tangan. Buku latihan soal milik murid-muridku di rumah singgah. Mungkin lain kali aku akan menyuruh mereka menulis jawaban mereka di lembar kertas saja, supaya aku lebih mudah membawanya.

Dengan setengah melamun aku menuruni tangga masjid. Gantungan kunci berbentuk bel mungil yang kupasang di ransel berayun mengiringi langkahku, mengeluarkan suara denting yang lumayan mengalihkan pikiranku.

Temui aja pria itu, Kia! Nanti baru kita pikirkan lagi harus gimana! Aku menyemangati diriku sendiri. Kalimat itu terus kurapal dalam benak seperti sebuah mantra mujarab untuk mengusir rasa cemas yang menghantuiku dari kemarin.

Kubiarkan tubuhku bergerak dalam mode autopilot. Meletakkan buku yang kupegang, duduk di undakan masjid, meraih sepatu keds, dan memasangnya. Sementara melakukan semua itu, aku berusaha memenuhi kepalaku dengan hal-hal yang tidak berkaitan dengan rencana perjodohan yang diusulkan Mama.

Begitu tali sepatuku terikat sempurna, aku bangkit berdiri. Kurapikan ujung rokku sebentar, baru kemudian menyeberang jalan. Jika tidak ingin Mama marah, aku benar-benar harus segera pulang.

"Dek! Adek yang jilbab kuning!"

Sebuah suara yang asing di telingaku menyapa. Kakiku berhenti melangkah ketika kusadari bahwa hari ini aku mengenakan jilbab kuning, tapi aku nggak berani menoleh sedikit pun. Di dekat masjid, ada warung kopi yang sering jadi tempat nongkrong cowok-cowok pengangguran di daerah sini. Biasanya, sih, mereka hanya bersiul-siul menggoda. Bukan hanya kepadaku, tapi hampir ke semua cewek yang lewat daerah sini. Benar-benar menyebalkan. Ini pertama kalinya ada yang berani memanggilku terang-terangan.

Aku mengabaikan panggilan itu dan terus berjalan. Orang-orang seperti mereka nggak bisa diberi perhatian. Sekali saja ditanggapi, mereka akan semakin menjadi. Kupercepat langkah agar bisa segera menjauhi mereka. Kedua tanganku memegang tali ransel yang tercangklong di pundak agar ranselku tidak bergoyang-goyang terus selama aku berjalan. Aku segera berbelok menuju sebuah gang sempit, mengambil jalan pintas menuju rumahku.

"Woi, Dek. Kok malah kabur sih?"

Mataku membelalak saat suara itu kembali memanggilku. Biasanya cowok-cowok itu hanya berani menggoda dari tempat nongkrong mereka, nggak pernah ada yang sampai mengejar. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Gang ini sungguh sepi. Ke mana, sih, orang-orang? Aku mendengus kesal.

Nggak bisa terus-terusan begini. Aku harus menunjukkan pada cowok iseng itu bahwa aku nggak takut dengannya. Kuhentikan langkah dan memasang ekspresi sejutek mungkin, bersiap untuk menyemprot cowok kurang kerjaan yang menggangguku itu.

Aku berbalik badan dan melihat seorang pria berlari menghampiriku. Iya, seorang pria. Bukan salah satu dari gerombolan remaja tanggung yang biasa nongkrong di warung seperti yang kubayangkan tadi.

"Kamu dipanggil-panggil kok malah lari, sih?" Pria itu terlihat kesal. Napasnya sedikit terengah-engah saat dia akhirnya berhasil menyusulku.

Saat jarak kami mendekat, baru kusadari sesuatu. Buku-buku yang kubawa tadi kini berada di tangan pria itu. Seperti ada lampu yang menyala di kepalaku. Ternyata, pria itu memanggilku karena itu.

Kurasakan pipiku memanas. Rasanya, aku ingin menunduk dalam-dalam untuk menyembunyikan muka, tapi tentu saja itu sangat tidak sopan. Jadi, mau nggak mau aku sedikit mendongak dan balas menatap pria itu. Kucoba tersenyum ramah untuk menyembunyikan rasa malu.

"Maaf, Pak. Saya pikir tadi bukan manggil saya."

Kening pria itu mengernyit saat aku menyebut kata 'Pak'. Raut wajahnya terlihat tambah penuh kerut. Apa aku salah bicara? Pria itu memang nggak terlihat seperti bapak-bapak, sih. Mungkin masih di usia tiga puluhan seperti kakak tertuaku. Tapi, bukankah panggilan bapak adalah sebuah panggilan netral yang biasa diucapkan kepada pria asing yang lebih tua?

Pria itu tampak membuang napas. Meski nggak membalas senyumku, ekspresinya sudah terlihat lebih baik dari tadi. Dia menyodorkan tumpukan buku yang dia bawa kepadaku. "Padahal, saya cuma mau ngasih ini. Buku-buku ini punya kamu, kan?"

Sambil menganggukkan kepala, aku menerima buku-buku itu. "Makasih, Pak, eh, Mas, eh Pak," ucapku bolak-balik meralat panggilan yang kutujukan kepadanya. Aku ini kenapa, sih, sebenarnya? Kenapa jadi salah tingkah begini?

"Nggak ada yang ketinggalan lagi, kan?"

Kali ini, aku menggeleng. Aku dapat melihat beberapa bulir keringat menetes di wajah pria itu. Berlari di cuaca yang panas ini pasti lumayan melelahkan, di tambah lagi dia malah menggunakan kemeja hitam model slim fit. Kemeja itu melekat di tubuhnya karena keringat. Aku buru-buru mengalihkan pandangan.

"Maaf sudah merepotkan. Bapak mau minum? Kebetulan saya ada air mineral yang belum diminum," tawarku. Kasihan juga melihatnya berkeringat begitu. Kemejanya sampai melekat ke kulit.

Dia tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Boleh deh kalau ada, capek juga tadi ngejar kamu."

Aku termenung, berpikir. Untuk mengambil botol minum di ranselku, aku harus meletakkan tumpukan buku yang di pegang. Tapi nggak ada tempat lagi di gang sempit ini. Kalau kutaruh di tanah, aku takut bukunya kotor.

Untungnya lelaki di hadapanku mengerti. Ia mengulurkan tangannya lagi dan meraih buku-buku yang kupegang. Kuserahkan buku-buku itu padanya lalu kupindahkan ranselku ke sisi depan tubuhku. Aku mulai membongkar ransel, seingatku aku masih menyimpan satu botol air mineral yang masih tersegel rapi dalam ransel.

Kantong samping ranselku telah kuisi payung, sisi satunya kuisi air mineral yang telah kuminum sepertiganya. Jadi air mineral yang utuh itu kucemplungkan ke kantong besar bersama barang-barangku lainnya.

Kelihatannya botol itu tertimbun di dasar ransel. Aku melirik pria itu, serba salah, tapi tak ada pilihan lain. Kukeluarkan charger laptop, dompet, buku agenda, bahan ajar, dan tas kecil berisi mukena, lalu menumpuknya di atas buku yang sedang ia pegang.

"Alhamdulillah, ketemu." Aku mengulurkan botol air mineral tersebut padanya. Matanya berkedip ke arah tumpukan barang di tangannya seolah ingin berkata 'Ambil dulu barang-barangmu ini!'

Aku tertawa sungkan. Satu-persatu kumasukkan kembali barang-barangku ke ransel. Setelah semua barang kembali ke dalam ransel, aku meraih tumpukan buku yang nggak muat masuk ransel dengan tangan kiriku dan menyerahkan botol air mineral dengan tangan kanan.

"Oke. Terima kasih," ucapnya sambil membuka tutup botol air mineral itu. Dia menoleh ke kanan dan kiri, lalu nggak lama kemudian menepi dan jongkok sebentar untuk menenggak air.

"Saya yang harusnya bilang terima kasih. Ba–, eh Mas, sudah repot-repot ngejar saya buat balikin buku saya yang ketinggalan." Dari kerutan yang muncul di keningnya setiap kali aku memanggilnya bapak, dapat kusimpulkan bahwa pria itu nggak suka kupanggil bapak. "Saya permisi dulu, Mas. Assalamualaikum."

Pria itu menjawab salamku dan kembali minum. Aku mengangguk ke arahnya, lalu buru-buru berbalik badan dan melanjutkan perjalanan pulang. Semoga saja, kami berdua nggak ketemu lagi. Yang barusan itu, benar-benar canggung dan memalukan.

==============

Halo, semuanya. Maapkan saya menghilang berminggu-minggu, padahal sebelumnya sudah janji bakal update cerita ini seminggu sekali.

Kebetulan di kantor lagi banyak kerjaan yang harus segera diselesaikan, jadi agak kesulitan bagi waktu dengan hobi menulis ini.

Untuk kamu, siapa pun itu yang sudah berkenan mampir. Terima kasih, ya. Minggu ini, saya double update, jadi selamat membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top