(5) Alasan
Arsyad
Jemariku sibuk menggulir layar ponsel yang menampilkan halaman instagram Vira. Yup, Vira mantan pacarku itu. Gadis yang telah membuat hatiku hancur berkeping-keping tujuh tahun lalu. Akun media sosialnya tidak digembok, jadi kadang-kadang aku memang berkunjung ke sana. Tidak sering, kok. Hanya saat aku sedang kangen saja. Aku hanya ingin memastikan bahwa dia baik-baik saja, juga memastikan bahwa keputusanku untuk melepaskannya waktu itu memang sudah tepat.
Foto terakhir yang Vira unggah adalah foto liburannya ke Korea Selatan. Rambutnya kini dipotong pendek. Wajah lonjongnya tampak berseri-seri tertimpa sinar matahari saat dia berfoto di depan istana Gyeongbokgung. Sepertinya kami memang tidak ditakdirkan untuk bertemu lagi. Beberapa bulan lalu aku juga sempat ke tempat itu, mengawal rombongan klien perusahaan travelku. Korea Selatan memang sedang jadi destinasi wisata favorit para wisatawan Indonesia.
Aku jadi teringat rencanaku untuk mengajak Vira berbulan madu ke Pulau Jeju. Sejak dulu Vira memang menggandrungi segala sesuatu yang berbau Korea, bahkan sebelum fenomena hallyu atau korean wave seheboh sekarang. Tentu saja rencana itu batal dengan sendirinya karena Vira menolak lamaranku, dan setelah itu hubungan kami kandas di tengah jalan.
Walau Vira sudah mematahkan hatiku sedemikian rupa, tidak mudah untuk melupakannya. Bagaimanapun juga Vira adalah cinta pertamaku. Bisa dibilang aku memang terlambat jatuh cinta karena baru merasakannya di tahun ketigaku kuliah. Semasa sekolah aku memang terlalu sibuk dengan urusan sekolah dan hobiku bermain game.
Menurutku, berpacaran itu merepotkan dan membuang-buang waktu.
Sampai aku bertemu Vira.
Kami bertemu saat sama-sama menjadi panitia wisuda di kampus kami. Dia dua tahun di bawahku.
Sejak pertama berkenalan, aku langsung merasa cocok dengannya. Status kami yang sama-sama anak sulung membuat kami memiliki banyak kemiripan sifat. Kesukaan kami pun sama. Kami sama-sama suka menonton film dan mencoba berbagai macam makanan unik. Segala persamaan itu membuatku nyaman bersamanya. Hanya butuh enam bulan pendekatan bagiku untuk yakin bahwa aku telah jatuh cinta.
Vira tidak seperti gadis kebanyakan. Dia adalah gadis yang mandiri, tidak pernah merepotkanku dengan kemanjaan-kemanjaan yang tak perlu. Kami saling menghargai privasi masing-masing. Dia tak menuntutku untuk selalu menghabiskan waktu bersamanya. Selama menjalin hubungan dengannya, kami jarang sekali bertengkar. Sebagai sesama orang yang logis, jika ada masalah, kami akan membicarakannya baik-baik. Tidak ada acara ngambek-ngambekan yang menguras energi. Karena itulah hubungan kami bertahan sampai kami berdua lulus dan sama-sama memperoleh pekerjaan yang cukup mapan di Jakarta.
Semakin mengenalnya, aku semakin yakin bahwa dia adalah jodohku. Aku pun memantapkan hati untuk melamar Vira. Waktu itu usianya 25 tahun, sedangkan aku sendiri 27 tahun. Tentu saja aku telah memikirkannya matang-matang. Kami berdua telah memiliki pekerjaan tetap. Aku bekerja sebagai data analyst di sebuah perusahaan start up dan Vira menjadi dosen tidak tetap di kampus almamater kami. Menurutku, memang sudah saatnya kami melangkah ke tahapan berikutnya: pernikahan.
Rupanya perhitunganku salah. Kenyataan yang harus kuhadapi jauh berbeda dari bayanganku. Aku dan Vira memiliki pandangan yang berbeda tentang masa depan.
"Bukannya aku nggak sayang sama Kak Arsyad. Kalau nggak sayang tentu aku nggak akan bertahan selama ini bareng Kak Arsyad. Tapi Kakak tahu kan, kalau masih banyak mimpi yang harus aku perjuangkan? Aku masih ingin fokus dengan studi dan karirku. Jadi untuk sekarang, menikah bukan prioritasku," ucapan Vira waktu itu kembali terngiang di telingaku. Entah kenapa, aku masih hafal setiap kata per kata. Bahkan, aku masih ingat bagaimana intonasi suara Vira saat mengucapkannya.
"Nggak apa-apa, Vira. Aku nggak maksa, kok. Aku rela nunggu sampai kamu siap." Aku tidak ingat persis bagaimana ekspresi wajahku saat itu. Yang jelas, memikirkan kembali momen itu selalu berhasil membuat hatiku berdenyut nyeri.
Tujuh tahun berlalu dan aku belum melupakan bagaimana raut wajah Vira yang biasanya selalu tersenyum kepadaku tampak begitu serius. Sepasang matanya yang biasanya selalu menyorot teduh saat menatapku, berubah tegas dan tergoyahkan.
"Aku nggak tahu kapan aku akan siap, Kak. Mungkin lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi, atau malah lebih. Mungkin baru siap ketika semua mimpiku terwujud, dan itu butuh bertahun-tahun. Dan sepanjang tahun-tahun itu aku akan merasa dituntut untuk segera merasa siap."
Aku mengusulkan untuk melupakan kejadian itu dan kami berdua melanjutkan hidup seperti tidak ada pembicaraan tentang pernikahan. Berharap dengan begitu semua hal dapat kembali baik-baik saja. Tapi ternyata, Vira langsung menolakku mentah-mentah.
"Nggak bisa kayak gitu, Kak! Kita nggak bisa memutar balik waktu. Kita mungkin bisa pura-pura lupa. Tapi kakak akan tetap menyimpan rasa kecewa karena aku menolak lamaran kakak, sedangkan aku akan terus merasa bersalah. Hubungan kita nggak akan pernah sama lagi. Kita seperti menyimpan bom waktu, lalu dihantui rasa cemas tentang kapan bom itu akan meledak. Dan itu hanya akan menyiksa kita berdua."
Aku masih ingat betul ekspresi wajahnya saat itu. Datar. Vira mengucapkannya dengan tenang. Aku tak bisa menebak apa yang dia pikirkan dan rasakan. Aku tak tahu harus berkata apa.
"Lagipula saat ini, aku benar-benar butuh konsentrasi untuk rencana studiku. Aku ga mau terbayang-bayang rasa bersalah menolak lamaran Kak Arsyad setiap kali kita ketemu. Aku juga ga pingin Kakak merasa kecewa setiap melihatku. Hubungan kita ga akan pernah sama lagi Kak. Kita seperti menyimpan bom waktu. Daripada kita selalu cemas menebak-nebak kapan bom itu akan meledak, mungkin saat ini yang terbaik bagi kita adalah menjaga jarak."
Setelah menghabiskan minumannya, Vira pergi meninggalkanku. Aku lupa berapa lama aku mematung di meja sambil berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Sebelum mengajak Vira ke tempat itu, aku begitu percaya diri dan optimis Vira akan menerima pinanganku. Sudah kubayangkan berbagai skenario indah untuk mempersiapkan pernikahan kami. Ternyata, aku justru pulang dengan tangan dan hati yang hampa.
Butuh usaha yang cukup berat untuk membangkitkan kembali semangat hidupku. Setelah kejadian itu, aku meratapi nasib tak keluar kamar selama tujuh hari tujuh malam. Aku hanya mau ditemui oleh sahabat-sahabatku saja, itupun untuk sekadar mengambil makanan dan minuman yang mereka antar. Untungnya waktu itu aku masih cukup logis untuk memaksa diriku makan. Walau tak berselera, tubuhku tetap butuh asupan nutrisi. Penolakan Vira memang meremukkan hati, tapi tidak sampai membuatku ingin mati.
Pada hari kedelapan, aku kembali masuk kerja. Walau rasanya masih sulit untuk tersenyum, setidaknya aku sudah bersikap biasa ketika berinteraksi dengan orang lain. Tiga bulan berlalu, kami tetap tak saling kontak. Beberapa kali aku ingin menghubunginya, tapi tidak juga terkumpul keberanianku untuk menekan tombol panggil.
Aku berhasil melanjutkan hidupku tanpa Vira, tapi rasanya tetap tak sama. Setiap kali aku melintasi tempat-tempat yang pernah kukunjungi dengan Vira, hatiku kembali berderak patah. Sialnya, terlalu banyak yang telah kami singgahi di Jakarta. Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan Jakarta dan segala kenanganku bersama Vira.
Rendra awalnya coba mencegahku dengan mengingatkan bahwa karierku waktu itu sedang bagus. Namun, kedua sahabatku yang lain justru mendukung.
Sampai detik-detik terakhir menjelang kepulanganku ke Yogya, aku tidak berhasil mengumpulkan keberanian untuk menemui Vira, atau sekadar mengirim pesan kepadanya. Akhirnya kuputuskan untuk pulang tanpa berpamitan padanya. Aku hanya menitipkan pesan kepada Rendra dan Sarah.
Kepada orang tuaku, aku beralasan tak betah di Jakarta. Aku pun langsung bekerja di perusahaan biro perjalanan milik ayahku, awalnya sebagai manajer pemasaran. Dengan latar belakang pendidikanku di bidang sistem informasi, aku meyakinkan ayahku untuk merambah layanan digital. Kugunakan data-data penjualan untuk membuat paket-paket perjalanan yang sesuai dengan selera pasar.
Melihat perkembangan perusahaan kami yang cukup pesat, Ayah akhirnya menyerahkan kendali penuh perusahaan kepadaku. Beliau memilih fokus mengelola jaringan penginapan yang awalnya hanya sebagai pelengkap dari bisnis biro perjalanan kami. Walau begitu, beliau tetap memantau kinerjaku. Aku pun juga selalu meminta saran ayahku terkait strategi-strategi baru yang kubuat.
Selama tujuh tahun terakhir, kupikir aku telah berhasil membuat ayahku bangga. Ternyata, aku keliru. Selama ini beliau menyimpan kekecewaan atas statusku yang masih lajang. Mungkin beliau akhirnya mulai terpengaruh oleh gosip bahwa aku tak menyukai perempuan. Semata-mata karena aku tak pernah mengenalkan sesosok perempuan sebagai kekasihku saat menghadiri acara-acara keluarga, para penggosip itu dengan semena-mena menyimpulkan orientasi seksualku.
Awalnya aku memang tidak peduli pada fitnah keji yang ditujukan kepadaku itu, tapi ternyata Ayah memedulikannya. Rupanya gosip itu membuat Ayah resah. Keluargaku memang tak ada yang tahu bahwa aku pernah berpacaran dengan Vira, seorang wanita. Sekembalinya dari Jakarta, aku tak pernah dekat dengan wanita lain. Mungkin karena hal-hal itulah Ayah menuntutku untuk segera menikah.
Sejak ultimatum Ayah minggu lalu, beberapa kali terpikirkan olehku untuk mengontak Vira, ingin menanyakan apakah dia sudah berubah pikiran. Sudah tujuh tahun berlalu, siapa tahu kini dia sudah siap untuk menikah. Tapi keraguan memenuhi pikiranku. Vira terlihat bahagia tanpa kehadiranku, setidaknya itulah yang kulihat dari foto-foto di Instagramnya. Bahkan kutahu dia sempat berpacaran dengan orang lain. Bukankah itu artinya dia sudah berhasil melupakanku?
Rasanya aku tak sanggup jika harus mengalami penolakan untuk kedua kalinya. Akhirnya semalam aku menghadap Ibu. Menyetujui tawaran perjodohan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top