{4} Pertimbangan

Tadzkia

Satu dari sekian banyak hal yang kubenci adalah menunggu. Makanya, aku selalu berusaha hadir lebih awal setiap kali ada janji bertemu dengan orang lain. Karena aku benci menunggu, aku nggak ingin bikin orang lain menungguku. Efeknya … tentu saja kerap kali aku yang akhirnya harus menunggu. Aneh, bukan? Tapi sepanjang orang yang kutunggu datang  tepat waktu, aku nggak akan marah ataupun kesal.

Satu dari sekian banyak orang yang telah paham kebiasaanku itu adalah Mas Dimas. Setiap kali kami janji bertemu di kampus, dia juga akan mengusahakan untuk datang lebih awal. Katanya, dia nggak mau membiarkanku menunggu terlalu lama. Jadi, di sinilah kami sekarang. Di kantin fakultas, sepuluh menit sebelum jam dua siang. Sepuluh menit lebih awal dari jam yang telah kami sepakati sebelumnya.

“Ah, harusnya aku berangkat lebih awal,” kata lelaki berkulit sawo matang itu sambil menarik salah satu kursi plastik di hadapanku dan mengempaskan bokong di sana. Gelak tawanya berderai di udara. Aku pun jadi ikut tertawa karenanya.

“Yang penting Mas nggak telat,” ucapku sambil mendorong tumpukan buku yang telah kutata di atas meja ke arahnya. Buku-buku yang tempo hari sempat kupinjam darinya sebagai referensi skripsiku. 

Mas Dimas sebenarnya adalah kakak kelasku sewaktu SMA. Tapi karena dulu aku mengikuti kelas akselerasi, aku lulus di tahun yang sama dengannya. Ternyata kami melanjutkan kuliah di kampus dan fakultas yang sama, dan malah menjadi dekat karena sempat mengikuti kelas yang sama di tahun-tahun pertama. 

“Sesekali aku pingin datang lebih dulu dari kamu.” Mas Dimas melayangkan pandangan ke kios makanan di sekitar kami, lalu kembali menoleh kepadaku. “Sudah pesan makan?”

“Mas Dimas sudah kupesenin. Bakso tanpa mie sama es kelapa jeruk, kan?”

Lelaki itu mengacungkan kedua jempolnya kepadaku. “Kamu memang paling hafal seleraku.”

Aku tertawa canggung. Bagaimana mungkin aku nggak hafal jika dulu nyaris setiap hari kami makan siang bersama dan dia selalu memesan menu yang sama. Dia sendiri yang bilang kalau bakso adalah makanan favoritnya.

Sambil menunggu pesanan datang, dia meraih buku-buku tebal itu. “Kamu sudah nggak pakai ini lagi?”

Aku menggeleng. “Nggak. Aku sudah catat poin-poin penting yang kubutuhin.”

Mas Dimas memasukkan buku-buku itu ke dalam ranselnya. “Skripsimu sudah selesai?”

“Tinggal nunggu hasil revisi teknis dari dosen penilai. Kalau sudah oke, harusnya sudah bisa langsung daftar sidang.” Aku menahan diri untuk nggak terlihat terlalu bahagia, berusaha menghargai perasaan Mas Dimas. Seharusnya kami juga lulus bersama tahun ini, tapi penelitian Mas Dimas sedikit bermasalah sehingga dia harus mengulang lagi semester depan.

Mas Dimas tersenyum lebar. Kebahagiaan yang terpancar di wajahnya terlihat begitu tulus dan nggak dibuat-buat. “Alhamdulillah. Semoga lancar dan bisa lulus tepat waktu seperti rencanamu, Ki. Sayang, ya, kita nggak bisa lulus bareng lagi kayak waktu SMA.”

Yang bisa kulakukan hanyalah mengangguk dan tersenyum. Aku tahu bagaimana perjuangan Mas Dimas untuk menyelesaikan penelitiannya tepat  waktu, tapi kadang memang ada hal-hal yang di luar kendali manusia. Seperti kombinasi hujan deras dan saluran irigasi yang mampet, yang kemudian merusak lebih dari separuh sampel penelitian Mas Dimas.

“Nggak usah terlihat sedih gitu, Ki.” 

Apakah perasaanku tergambar jelas di wajahku? Mas Dimas seolah bisa membaca isi kepalaku.

“Memang sudah takdirku ngulang satu semester lagi.” Dia melanjutkan, masih dengan iringan tawa tanpa beban.

Percakapan kami terjeda oleh kehadiran penjual bakso yang mengantarkan makanan dan minuman ke meja kami. Mas Dimas mengerutkan kening saat melihat hanya ada semangkuk bakso dan segelas es kelapa jeruk yang tersaji di meja kami.

“Kamu pesan apa?” tanyanya penasaran.

“Maaf, aku nggak bisa nemenin Mas Dimas makan siang. Aku ada janji lain habis ini.” Aku memasang raut memelas agar dia nggak marah.

“Tahu gitu aku nggak perlu dipesenin makan, Ki. Biar bisa nganterin kamu. Memangnya kamu mau ke mana?”

“Cuma ke masjid kampus kok, Mas. Mau ketemu Mbak Wardah, mentorku.”

Mas Dimas tampak kecewa. Aku tahu, tindakanku ini bisa dibilang nggak sopan. Tapi, aku juga merasa nggak nyaman jika makan berdua saja dengan Mas Dimas. Aku sudah berusaha mengajak beberapa teman perempuanku, tapi nggak ada yang bisa meluangkan waktunya.

Dulu, aku dan Mas Dimas memang sangat sering menghabiskan waktu bersama. Semua itu terjadi saat aku belum begitu paham pentingnya menjaga interaksi dengan lawan jenis. Masih kuingat jelas ekspresi Mas Dimas ketika aku mengungkapkan niatku membatasi interaksi dengannya.

Dua tahun lalu, aku mengajaknya bertemu seperti ini. Saat itu, terakhir kalinya kami makan siang berdua tanpa orang lain yang menemani. Dia awalnya nggak langsung menerima penjelasanku bahwa sebagai seorang lelaki dan seorang perempuan yang bukan mahram, kami nggak seharusnya sering berdua-duaan.

“Tapi kita, kan, nggak ngapa-ngapain, Ki. Paling cuma makan bareng, ngerjain tugas, ya kadang-kadang jalan bareng.” Waktu itu, dia sempat mencoba mengubah keputusanku.

Sebenarnya, aku bisa saja menjauh dengan sendirinya dari Mas Dimas, tanpa perlu memberikan penjelasan. Toh, kami nggak terikat dalam hubungan apa-apa. Walau orang-orang di sekitar kami kerap mengira kami berpacaran, nggak pernah ada yang mengungkapkan perasaan.

“Kita tetap berteman, kok, Mas. Hanya saja, aku berusaha untuk jadi muslimah yang lebih baik. Jadi, berusaha membatasi interaksi dengan lawan jenis. Kita tetap bisa makan bareng, jalan bareng, tapi nggak berdua aja.”

Perlu perdebatan yang cukup panjang sampai akhirnya Mas Dimas mau menerima keputusanku. Memang nggak mudah untuk mengubah kebiasaan. Aku pun juga seringkali harus menahan diri untuk nggak menghubungi Mas Dimas jika nggak benar-benar penting. Untungnya, Mas Dimas akhirnya mengerti, meski kadang-kadang dia terlihat kecewa seperti sekarang.

“Nanti, kalau kamu sudah dapat jadwal sidang, kita makan bareng, ya, Ki. Ajak Karen dan yang lainnya juga.” Mas Dimas mengusulkan.

“InsyaAllah,” ucapku sembari tersenyum. “Aku pamit dulu, ya, Mas. Makasih banyak bukunya.” Aku bangkit dari kursi dan mengangguk sopan kepada Mas Dimas.

“Hati-hati di jalan, Ki.” Seulas senyum kembali tersungging di bibir Mas Dimas. Salah satu hal yang kusuka darinya, dia nggak pernah lama kalau marah. Selisih usia kami memang hanya dua tahun, tapi dia jauh lebih dewasa dariku.

Aku berjalan menyusuri jalanan berpaving, sengaja memilih area yang teduh di bawah naungan pohon-pohon ketapang kencana. Seperti biasa, masjid kampus selalu ramai orang. Aku langsung menuju bagian pelataran di area wanita yang sering dijadikan tempat berkumpul oleh berbagai komunitas maupun kumpulan mahasiswi yang sedang bertemu. 

Sosok Mbak Wardah dapat dengan mudah kutemukan. Perutnya telah makin besar jika dibandingkan dengan saat aku terakhir kali bertemu dengannya, nggak lagi dapat disembunyikan dibalik gamis dan jilbab lebar. Kalau nggak salah ingat, usia kandungan murabbiyahku itu sudah memasuki bulan ketujuh. Anak kedua. Aku sungguh salut kepadanya yang dapat menjalani kuliah S2 sambil mengurus anak dan menjalani kehamilan seperti ini.

“Maaf, Mbak Wardah sudah menunggu lama, ya?” Aku menyalami wanita berlesung pipit itu, lalu mencium pipi kiri dan kanannya.

“Nggak, kok. Ini juga baru kelar ngisi materinya.” Suara Mbak Wardah selalu terdengar lembut dan menyejukkan hati. Dia menarik ujung gamisnya yang sempat tersingkap saat bergerak menyambutku agar kembali menutupi telapak kakinya. “Sekarang tambah susah pakai kaos kaki, Ki. Lagian sebentar lagi Asar, jadi sekalian wudu.”

Aku belajar banyak darinya tentang pentingnya menjaga aurat. Padahal sangat jarang ada lelaki yang memasuki area wanita ini, kalaupun ada, mereka pasti akan memberi peringatan lebih dulu. Tapi, Mbak Wardah bilang nggak ada salahnya untuk selalu berhati-hati.

“Skripsimu gimana?”

Aku memberikan jawaban yang sama dengan yang kuberikan kepada Mas Dimas tadi. 

“Tapi, kali ini kamu bukan mau curhat masalah skripsi lagi, kan?” Mbak Wardah tersenyum penuh arti, membuat lekukan di pipi sebelah kanannya makin jelas terlihat.

Selama beberapa saat, aku terdiam. Entah kenapa, aku justru merasa gugup seperti ini. Rasanya jauh lebih menegangkan daripada saat seminar hasil penelitian yang kujalani tempo hari.

Sebenarnya, aku sudah bercerita kepada Mbak Wardah melalui Whatsapp tentang rencana Mama menjodohkanku. Waktu itu, dia sudah menyarankanku untuk salat istikharah, tapi aku merasa kurang mantap kalau kami nggak ketemu langsung. Karena itulah, aku menemuinya hari ini.

"Kalau kamu ragu, jujur saja kepada mamamu." Sarannya masih sama dengan isi chatnya kemarin.

"Tapi, Mama nggak salah juga, sih, Mbak. Aku memang ingin segera nikah begitu lulus."

"Kalau gitu, kenapa nggak kamu coba temuin dulu? Taaruf kan, nggak selalu harus lewat murabbi dan murabbiyah, Ki. Dijodohkan seperti ini juga bisa, yang penting sepanjang prosesnya kamu tetap menjaga diri untuk nggak sampai berkhalwat.

"Tapi … dia lebih tua dua belas tahun, Mbak." Bagian ini baru kuceritakan sekarang.

"Itu jadi masalah buat kamu?"

Aku terdiam. Walau nggak pernah terang-terang membicarakannya, Mas Akbar adalah kakak favoritku di antara ketiga kakakku. Dia paling dewasa dan paham bagaimana menghadapiku. Lelaki itu seusia dengan Mas Akbar.

"Ketemu saja dulu. Kalau kamu nggak cocok, kamu berhak menolak, kok. Jangan lupa untuk libatkan Allah dalam setiap prosesnya. Jangan lupa salat istikharah, Kia."

Nasihat Mbak Wardah seperti aliran air yang mengisi celah-celah keraguan di hatiku. Membuatku menjadi lebih yakin pada keputusan yang akan kuambil. Kalau saat pulang nanti Mama kembali bertanya, aku sudah tahu harus menjawab apa.

-----
-----
Katamela:
Halo, lama nggak berjumpa di cerita ini ya.
Mari kita coba lanjutkan cerita ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top