(3) Tawaran

Arsyad

Telah lewat seminggu sejak drama keluarga kami di meja makan tempo hari. Selama seminggu terakhir, Naila dengan gencar membujukku–atau mungkin lebih tepat disebut menerorku–untuk segera mencari calon istri. Setiap kali bertemu dia selalu menyodorkan foto teman-teman wanitanya dan menawarkan diri untuk menjadi mak comblangku. Awalnya secara halus, makin lama dia terang-terangan mendesakku untuk segera menentukan pilihan.

Sebagai kakaknya, aku paham betul sifat Naila yang keras kepala. Jika sudah menginginkan sesuatu, dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkannya. Menyerah tidak ada dalam kamus kehidupan Naila. Segala penghalang yang menghadangnya akan dia terobos tanpa peduli. Sialnya, sekarang penghalang itu adalah aku.

Andaikan saja mencari calon istri semudah itu. Bahkan, mencari jarum di tumpukan jerami terasa lebih masuk akal bagiku. Selama tujuh tahun, kuhabiskan waktu untuk mengurus usaha travel milik keluargaku demi melupakan Vira. Namun, bayang-bayang Vira tidak pernah benar-benar pergi. Setiap kali bertemu dengan perempuan lain, aku tidak pernah berhenti membanding-bandingkan mereka dengan Vira. Sampai akhirnya, aku menyerah. Mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk jatuh cinta lagi.

Aku tahu, omongan miring tentangku sering terdengar. Kupikir selama aku tidak mengindahkannya, gosip-gosip itu akan hilang dengan sendirinya. Aku tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain tentangku. Akan tetapi, ketika keluargaku sendiri terusik karenanya, mau tidak mau aku pun dihantui perasaan bersalah.

Rumah terasa seperti neraka bagiku. Ayah masih bersikap dingin terhadapku, Ibu kerap menatapku dengan sorot sedih, sementara Naila terus merongrongku. Aku memilih menyibukkan diri dengan urusan pekerjaan supaya tidak bertemu mereka. Sepulang kerja aku akan berlama-lama nongkrong di luar, baru pulang menjelang tengah malam. Jika sedang tidak ada teman yang bisa kuajak main, aku akan ke bioskop untuk menonton film apa saja yang sedang tayang. Yang penting, aku tidak perlu segera pulang.

Aku juga mulai mempertimbangkan untuk pindah ke salah satu apartemenku di kawasan Kaliurang. Unit-unit apartemen itu kubeli beberapa tahun lalu. Awalnya sekadar untuk investasi. Biasanya, apartemen itu kusewakan atau kupinjamkan pada klien dari luar kota yang butuh tempat transit sementara. Mungkin memang sudah saatnya aku pindah dari rumah ini. Hal yang sudah kulakukan sejak lama jika saja Ibu tidak melarangku.

Hari ini pun aku sudah punya rencana pelarian. Selepas maghrib nanti aku sudah ada janji bertemu dengan teman-temanku dari komunitas pecinta gim lawas.

Kami akan melangsungkan acara pertemuan rutin bulanan di salah satu cafe dekat UnGama. Usai acara komunitas, aku berencana meminta saran Rendra–sahabatku sejak SMA–terkait masalah yang kuhadapi saat ini. Sayangnya, CD game yang hendak dipinjam Rendra tertinggal di kamar, membuatku harus pulang dulu ke rumah untuk mengambilnya.

Aku merasa lega ketika tahu bahwa Ayah dan Naila sedang tidak berada di rumah. Ayah menghadiri pesta ulang tahun rekan sejawatnya, sementara Naila entah berada di mana, mungkin sedang bersama Daffa. Aku buru-buru berganti pakaian supaya dapat segera kabur sebelum Ayah atau Naila pulang.

Sebelum meninggalkan rumah, kusempatkan mampir ke dapur untuk mencari camilan. Aku berharap dapat menemukan makanan untuk mengganjal perut selama perjalanan ke tempat pertemuan.

"Kamu ndak makan malam di rumah lagi, Syad?"

Aku yang sedang berjongkok di depan kulkas tersentak mendengar suara Ibu.

"Iya, Bu. Ada janji dengan teman-teman." Aku bangkit berdiri dan menoleh kepada Ibu yang kini telah duduk di kursi makan.

Raut wajah Ibu menyiratkan kekhawatiran. Perasaan bersalah kembali hinggap di hatiku. Seperti ada yang meremas jantungku saat kulihat sorot mata Ibu yang sendu. Gara-gara aku, Ibu pasti jadi banyak pikiran.

"Bukan karena menghindar dari Ayah dan adikmu?"

Seperti yang sudah kuduga, Ibu dapat menebak alasanku lebih sering menghabiskan waktu di luar akhir-akhir ini. Sejak dulu, aku memang tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Ibu, kecuali satu rahasia yang masih terus kusimpan rapat-rapat. Tentang Vira dan segala jejak luka yang masih tertinggal di hatiku.

"Nggak kok, Bu. Saya memang ada janji dengan Rendra dan kawan-kawan lainnya." Aku coba mengelak. Kulanjutkan menyisir isi kulkas agar tidak perlu balas menatap Ibu. Aku mengambil sebutir apel yang tersimpan di kotak sayur. Setelah tujuanku tercapai, kini tak ada alasan bagiku untuk berlama-lama di rumah.

Sayangnya rencanaku itu tak bisa mulus terlaksana. Ibu menepuk sandaran kursi di sebelahnya san memintaku duduk di sana.

"Tapi ndak apa-apa kan kalau telat sedikit? Ibu pingin bicara sebentar dengan kamu." Meski diucapkan dengan nada bertanya, kutahu Ibu tidak sedang meminta izin ataupun memberiku pilihan.

Senyuman yang terukir di wajah Ibu selalu dapat membuatku luluh. Aku tak kuasa menolak permintaannya. Sambil membawa apel yang kuambil tadi, aku mendekati Ibu. Kutarik kursi di sebelah Ibu dan duduk di atasnya.

"Ibu sebenarnya kurang setuju dengan cara ayahmu memintamu untuk segera menikah. Apalagi menjadikannya syarat agar Naila boleh menikah," kata Ibu penuh kelembutan.

Aku masih tidak berani menatap Ibu. Kuputuskan untuk memusatkan perhatian pada apel yang kupegang.

Ibu menghela napas panjang sebelum lanjut bicara. "Bagaimanapun Naila itu perempuan, dan kamu adalah laki-laki. Tentu ndak bisa disamakan. Kamu sebagai laki-laki, dapat dimaklumi kalau ndak terlalu terburu-buru menikah. Kamu ndak dikejar waktu. Tiga puluh tiga tahun masih usia yang wajar untuk melajang menurut Ibu. Yah, meski para sepupumu rata-rata sudah menikah dan punya anak di usia segitu."

Aku terus memutar-mutar apel di tangan. Jujur saja, aku senang Ibu memahami kesulitannya, tetapi nada bicaranya mengisyaratkan ada hal lain yang ingin dia sampaikan kepadaku. Ibu terdengar memilih setiap kata dengan hati-hati. Hal itu membuatku makin cemas.

"Berbeda dengan Naila, jika terus ditunda, ia harus berlomba dengan usianya, supaya dapat melahirkan anak-anak yang sehat di waktu yang tepat," sambung Ibu, "lagi pula belum tentu Daffa bersedia menunggu jika pernikahan mereka terus diundur. Menurut ibu, ayahmu telah bersikap egois dalam urusan ini."

Akhirnya aku berani mengangkat kepala dan menatap Ibu. Setelah seminggu merasa tersudutkan, baru kali ini ada seseorang yang memahami posisiku.

"Ibu akan berusaha membujuk ayah. Tapi sambil menunggu hati ayahmu melunak, ibu rasa tak ada salahnya jika kita pun berusaha mencari jodoh untukmu, ya kan?"

Aku terdiam. Aku tahu Ibu tak membutuhkan jawaban. Selama ini aku sudah sangat bersyukur Ibu tak terlalu mencampuri urusanku. Memang beberapa kali Ibu sempat memberi isyarat ingin memperkenalkanku dengan perempuan pilihannya, tetapi setiap kali aku mengelak, Ibu tak pernah memaksa.

Sore ini, nada bicara Ibu berbeda. Meski dilantunkan dengan lembut, pertanyaan itu mengandung ketegasan. Ibu tidak sedang menawariku. Dia tengah memberitahuku bahwa usaha perjodohan ini telah diatur.

"Bagaimana kalau Ibu yang mencarikan calon istri untukmu? Kebetulan ada putri teman Ibu yang Ibu rasa cocok menjadi pendampingmu," lanjut Ibu. Ibu menatapku penuh harap.

"Tapi bu.." aku berusaha menolak. Namun demi melihat kerutan di kening ibu, segera kuurungkan niat itu. Cukup ayah dan Naila saja yang marah kepadaku. Tak perlu kutambah Ibu dalam daftar orang yang harus kuhindari di rumah ini.

"Ibu ndak akan maksa kamu kalau kamu ndak suka dengan calon yang ibu pilihkan. Jika setelah berkenalan kamu merasa tak cocok. Kamu boleh menolak. Yang penting kita tunjukkan dulu pada ayahmu bahwa kamu sudah berusaha memenuhi keinginannya. Mudah-mudahan hal itu bisa meluluhkan hati ayahmu."

Aku menelan ludah. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku sadar Ibu tengah menawarkan solusi yang baik untuk masalah yang kuhadapi. Hanya saja, bayang-bayang Vira kembali berkelebat di kepalaku. Aku khawatir akan mengecewakan Ibu dan gadis pilihannya. Bagaimana kalau aku tetap saja tidak bisa melupakan Vira?

Aku dan Ibu terdiam cukup lama sampai akhirnya aku menyetujui sarannya. Tidak kutemukan alternatif lain. Benar kata Ibu, setidaknya aku harus menunjukkan kepada Ayah bahwa aku tidak menganggap remeh permintaannya.

-------------

Sepanjang acara pertemuan komunitas, aku lebih banyak diam. Hanya menanggapi sekenanya jika ada yang mengajakku bicara. Rupanya Rendra memperhatikan sikapku itu. Usai pertemuan, dia langsung menginterogasiku.

"Kenapa sih, Ras? Daritadi bengong terus?" tanyanya sambil mengaduk kopi hitam yang dipesannya. Sampai sekarang dia masih memanggilku Aras, nama panggilanku semasa SMA.

"Naila mau nikah," jawabku singkat. Aku sendiri kaget dengan suara parau yang meluncur dari mulutku. Harusnya aku senang adikku akan menikah, tapi yang terdengar justru seolah aku membenci gagasan itu.

"Sama Daffa? Baguslah. Terus masalahnya buat lo apa?"

"Masalahnya. Ayah nggak setuju dia ngelangkahin gue. Kalau gue belum nikah, Naila nggak boleh nikah," jawabku ketus.

Dulu Rendra adalah murid pindahan dari Jakarta. Sebagai orang yang dibesarkan dalam keluarga Jawa, awalnya aku merasa risih ketika mendengar gaya bicara Rendra yang menggunakan lo-gue pada teman sebaya.

Ternyata saat sama-sama berkuliah di Jakarta, aku jadi ikut-ikutan menggunakan lo-gue dengannya. Kebiasaan itu terus terbawa setiap aku mengobrol dengan Rendra, bahkan ketika kami sudah sama-sama kembali tinggal di Yogya.

Mendengar penjelasanku, Rendra justru tertawa terbahak-bahak. "Ya udah sih, tinggal kawin aja kali, Ras! Kelar kan? Lagian enak lho kawin," ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata kepadaku. Kawanku satu ini memang sering tertawa di atas penderitaanku. Bukannya membela, dia malah asyik meledekku.

Rendra baru berhenti tertawa ketika gumpalan tisu yang kulempar nyaris masuk ke mulutnya. Dia kembali memasang raut muka serius saat aku mulai bercerita lebih detail. Walau terkadang masih terlihat menahan tawa, setidaknya dia tak menyelaku.

"Dan sekarang, gue nggak punya pilihan lain. Gue cuma bisa pasrah sama pilihan nyokap." Aku mengakhiri cerita. Kudongakkan kepala menatap langit-langit. Berharap di sana akan kutemukan solusi bagi masalahku.

"Menurut gue bagus juga usulan nyokap lo. Nggak ada salahnya kan kenalan dulu." Rendra menimpali. "Kalau cakep, sambeeeer. Kalau nggak, ya cari yang lain, yang lebih cakep. Lagian betah banget sih lo ngejomlo bertahun-tahun. Masih belum move on dari Vira, lo?"

Aku diam saja karena Rendra pasti sudah tahu jawabannya. Rendra adalah salah satu sahabatku yang paham benar sejarahku dengan Vira. Bahkan istri Rendra, Sarah, dulunya adalah teman satu kos Vira. Pada zaman kuliah dulu, kami terkadang kencan bersama alias double date. Sayangnya nasib kami berbeda. Rendra dan Sarah berakhir di pelaminan dan kini telah memiliki dua anak yang lucu, sementara aku masih saja jomlo dan gagal move on dari Vira.

"Lo kan dulu sering cerita, kalau bokap lo itu orang yang lebih berorientasi ke proses daripada hasil. Jadi mungkin bener juga kata nyokap lo. Kalau lo keliatan serius cari jodoh, Bokap lo bakal melunak."

Aku merenungkan saran Rendra. Aku teringat pengalamanku ketika masih SD. Ayah pernah berjanji akan membelikan game console jika aku menjadi juara kelas. Aku pun belajar dengan tekun, tapi rupanya tetap saja hanya memperoleh peringkat kedua.

Meskipun aku gagal meraih ranking satu, ayah tetap membelikanku game console yang kuimpi-impikan itu. Aku memang masih harus membayar sepertiga harganya dari tabunganku, sebagai bentuk kompensasi karena gagal meraih target yang ditetapkan ayah. Namun, hal ini membuktikan bahwa Ayah menghargai usahaku, setidaknya senilai dua pertiga harga game console tersebut. Mungkin jika melihatku serius berusaha mencari calon istri, Ayah akan memberikan sedikit dispensasi.

Tepukan Rendra di bahu mengagetkanku dari lamunan. "Eh, Ras. Gue pulang dulu ya. Ini Sarah dari tadi miscall-miscall terus. Kalau kemalaman bisa tidur di sofa nih, gue," pamit Rendra.

Meski telah lima tahun menikah, wajah Rendra masih saja berseri-seri bila sedang membicarakan Sarah. Terbit rasa iri di hatiku. Andai saja Vira menerima lamaranku waktu itu, mungkin aku pun akan sesemangat Rendra untuk pulang ke rumah. Pasti bahagia rasanya jika mengetahui wanita yang kucinta tengah menantikan kepulanganku.

--------

Wohohoho.. Maapkan, minggu kemarin sempat keskip post ya. Soalnya draft ini belum kelar-kelar dieditnya. Kebetulan lagi riweuh banget di dunia nyata.

Terima kasih sudah mampir dan membaca.

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar jika kamu menyukai cerita ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top