{15} Keputusan yang Ditunggu
Tadzkia
"Jadi, apa keputusan Tadzkia?"
Mas Arsyad bertanya untuk ketiga kalinya, sementara aku masih kerepotan mengatur detak jantung yang nggak nyantai setelah tangan kami sempat bersentuhan sekilas tadi. Rasa malu yang membakar sekujur tubuh berhasil membuatku nggak merasakan perih sama sekali dari jari yang terluka. Ada apa ini? Kenapa aku jadi salah tingkah begini? Padahal ini bukan pertama kalinya aku nggak sengaja bersentuhan dengan laki-laki. Apa karena laki-laki yang sedang duduk di depanku ini sebentar lagi akan menjadi–
"Kalau kamu masih ragu, saya bisa kembali lain waktu," sambung Mas Arsyad.
Aku memberanikan diri menatapnya. Dia terlihat serius dengan ucapannya, tapi juga terlihat ... kecewa? Bibirnya membentuk garis lurus. Nggak ada lagi senyum lembut yang kemarin kutemukan saat mencuri-curi pandang ke arahnya.
Kembali kutundukkan kepala sambil menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Saya sudah memutuskan, kok, Mas. Nggak perlu ditunda lagi karena nanti malah ngulur-ngulur waktu."
Tiba-tiba saja perutku terasa mulas. Debaran jantungku makin nggak terkendali, sampai-sampai aku takut Mas Arsyad dapat mendengarnya. Urusan ini harus cepat kuselesaikan supaya aku bisa segera balik ke kamar dan berteriak keras-keras di balik bantal.
Aku tahu harusnya tetap menjaga pandangan, tapi aku ingin melihat ekspresinya saat mendengar jawabanku. Aku perlu tahu apakah jawaban yang akan kuberikan sesuai dengan harapannya. Karena itulah, kembali kuangkat wajah agar dapat menatap mata Mas Arsyad. Sebagai konsekuensi, detak jantungku yang tadi berangsur normal kembali berdebar-debat nggak karuan.
"Sebentar. Beri saya waktu sebentar," pintaku sambil berusaha mengatur napas. Kurapal doa di dalam hati karena begitu jawaban meluncur dari mulutku, aku nggak akan bisa menariknya kembali. Semoga saja keputusanku ini memang membawa kebaikan bagi kami berdua.
Mas Arsyad mengangguk pelan dan nggak berbicara apa pun lagi. Tapi, aku bisa melihat dia sudah nggak sabar menunggu jawaban dariku. Senyum yang terkembang di wajahnya tampak dipaksakan. Kini, aku juga dapat melihat kantung matanya yang agak menghitam. Tadi, dia bilang nggak bisa tidur. Apakah dia nggak bisa tidur karena menunggu keputusanku?
Ya, Allah. Lagi-lagi imajinasiku berlari terlalu jauh. Walaupun sebentar lagi status Mas Arsyad akan berubah bagiku, tetap saja aku nggak boleh terlalu menaruh hati kepadanya selama akad nikah belum terlaksana. Aku nggak boleh terlalu lama berbicara berdua dengannya. Lebih baik, segera kuakhiri saja pertemuan kami ini daripada pikiranku makin ke mana-mana.
"Saya nggak punya alasan kuat buat menolak perjodohan ini. Kalau Mas Arsyad merasa saya adalah calon istri yang tepat, saya bersedia untuk menikah dengan Mas Arsyad." Akhirnya bibirku berhasil menguntai jawaban yang sejak kemarin tersimpan rapat-rapat di hati.
Hening. Lelaki di hadapanku hanya terdiam bagai patung. Ekspresinya juga nggak bisa kubaca. Apakah dia kecewa? Apakah jawabanku barusan bukan seperti yang dia harapkan? Apakah dia sebenarnya berharap aku menolak dijodohkan dengannya sehingga dia nggak perlu mengarang alasan untuk menolakku? Apakah karena itu dia nggak berusaha menghubungiku sama sekali sejak perkenalan kami waktu itu?
Entah kenapa, aku kecewa saat melihat reaksinya. Kupikir dia akan terlihat sedikit lebih ... bahagia? Apakah aku sudah terlalu percaya diri dengan mengira bahwa Mas Arsyad juga pasti bersedia melanjutkan perjodohan kami ini?
Pertanyaan demi pertanyaan terus berlompatan di kepalaku. Aku nggak tahu lagi harus bersikap dan berekspresi seperti apa. Yang kutahu, aku ingin cepat mengenyahkan diri dari tempat ini.
"Mas Arsyad jangan merasa terbebani. Kalau Mas Arsyad berpikiran sebaliknya, saya paham, kok. Nanti, biar saya yang jelaskan ke Mama dan Tante Ratih." Aku berusaha menyelamatkan harga diri yang tersisa. Kedua mataku kembali berpaling darinya. Mungkin akan lebih mudah baginya jika kubilang ke Mama dan Tante Ratih bahwa aku belum siap meni–
"Tentu saja saya bersedia, Tadzkia," kata Mas Arsyad tergesa.
Aku refleks menoleh lagi ke arah Mas Arsyad. Sekarang, mataku terkunci kepadanya. Kucari tanda-tanda keseriusan di wajah lelaki yang seumuran dengan kakak pertamaku itu. Aku langsung menemukan lengkung bibirnya yang membentuk senyum juga binar matanya yang balas menatapku.
Kupikir, jantungku nggak bisa berdetak lebih kencang lagi. Rupanya, aku salah. Kini bahkan aku juga merasakan seluruh wajahku memanas. Aku buru-buru kembali menundukkan kepala meski rasanya ingin sekali untuk terus bertukar pandang dengannya. Terlalu lama menatap Mas Arsyad benar-benar berbahaya buat kesehatan jantungku.
"Apakah kabar ini sudah boleh saya sampaikan ke ibu saya?" Dia meminta izin.
Aku menjawab dengan anggukan kepala. "Mama juga belum tahu keputusan saya ini," kataku lirih.
"Kalau begitu, ayo kita temui ibu kamu dan kita sampaikan kabar ini." Mas Arsyad bangkit dari duduknya. Tubuhnya menjulang tinggi di hadapanku.
Kupinta dia menunggu. Aku perlu mengatur napas lebih dulu dan mempersiapkan diri menerima reaksi Mama yang kuprediksi akan sangat heboh. Aku juga perlu mencari cara untuk mengatur supaya nggak perlu terlalu sering berinteraksi dengan Mas Arsyad selama persiapan pernikahan kami, takutnya aku justru membiarkan perasaan cinta tumbuh sebelum waktunya. Sekarang saja, rasanya aku ingin mengulurkan tangan dan memintanya menggenggam tanganku lagi sepanjang langkah menuju ruang tamu tempat Mama menunggu.
* * *
Karen dan Mas Dimas belum datang. Memang aku yang terlalu cepat datang seperti biasanya. Aku langsung menuju tempat duduk yang ditunjukkan pelayan restoran. Karena acara makan-makan kali ini memang untuk merayakan selesainya sidang skripsiku, aku memang mengajak kedua temanku itu untuk makan di restoran kekinian, bukan sekadar warung pinggir jalan. Aku ingin mentraktir Karen dan Mas Dimas karena mereka banyak membantuku selama masa kuliah. Perayaan ini memang sedikit terlambat karena sulit sekali menemukan waktu yang pas untuk kami bertiga.
Setelah menaruh tas di bawah kursi, aku mengambil ponsel dari saku gamis. Sejak tadi, kurasakan ponsel itu bergetar berulang kali. Benar saja, ada beberapa panggilan nggak terjawab dan puluhan chatt dari Mama. Sebagian besar isinya adalah foto desain baju pengantin dan pilihan souvenir pernikahan, padahal tanggal pernikahan saja belum ditentukan. Baru akhir pekan ini Mas Arsyad dan keluarganya akan datang ke rumah untuk melamarku secara resmi.
Dapat kurasakan pipiku memanas saat lagi-lagi aku memikirkan Mas Arsyad. Buru-buru kutepis bayangan laki-laki itu. Aku nggak boleh terlalu sering memikirkannya. Belum boleh! Meskipun kami berdua setuju untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, tetap saja nggak ada yang bisa memastikan kami benar-benar akan berjodoh nantinya. Sepanjang akad nikah belum terlaksana, aku tetap harus menjaga hati dan interaksi dengan Mas Arsyad.
Aku berusaha mengalihkan pikiran dengan memperhatikan foto-foto yang Mama kirimkan. Desain baju-baju pengantin yang Mama pilih semuanya cantik dan juga sesuai dengan permintaanku. Aku memang request agar bajunya nggak terlalu ramai dan juga tetap sesuai dengan syariat. Untungnya di zaman sekarang, sudah banyak desainer yang memfasilitasi permintaan-permintaan semacam ini.
"Siapa yang mau nikah, Ki?"
Saking kagetnya, ponselku hampir meluncur jatuh ke lantai. Untung saja aku berhasil menangkapnya tepat waktu.
Karen yang semula berdiri di belakangku kini bergeser dan menarik kursi di sebelahku. "Sorry, gue nggak bermaksud ngintip. Tadi niatnya cuma mau ngagetin elo," katanya sambil memasang muka memelas.
Aku percaya pada Karen. Selama aku berteman dengannya, Karen bukan tipe teman yang kepo dan terlalu ingin tahu. Dia akan menungguku bercerita sendiri dan selalu siap membantu saat dibutuhkan. Mungkin karena itu kami berdua cocok berteman meski berbeda keyakinan. Kami tetap menghargai pilihan hidup masing-masing dan memilih fokus pada persamaan yang kami punya.
"Nggak apa-apa, Ren. Aku memang mau cerita sama kamu hari ini." Aku berusaha tetap terlihat santai meski pada kenyataannya malu setengah mati. Pasalnya selain Mbak Wardah, nggak ada temanku yang tahu tentang rencana pernikahanku ini.
Mulut Karen menganga. Dia menatapku dengan sorot nggak percaya. "Wait a minute? Jangan bilang ... jangan bilang lo yang mau nikah? Sama siapa?" Dia mendadak mengatupkan mulut dan menutupnya dengan kedua tangan. "Oh my god! Apa karena itu elo dan Mas Dimas ngajak gue ketemuan hari ini? Akhirnya kalian res–"
"Bukan ... bukan Mas Dimas," potongku sambil menggerak-gerakkan kedua tangan di depan dada. Aku nggak mau Karen salah paham dan berkata aneh-aneh ketika Mas Dimas datang. Entah kenapa, Karen memang sering menjodoh-jodohkanku dengan Mas Dimas, padahal aku tahu Mas Dimas menyukai perempuan lain. Waktu masih belum membatasi interaksi dengan Mas Dimas, aku sering mendengarkan curhat Mas Dimas tentang perempuan yang diam-diam dia sukai sejak SMA. Hanya saja aku nggak tahu siapa perempuan itu karena Mas Dimas memang nggak pernah menyebut nama.
"Apanya yang bukan aku?"
Aku dan Karen serentak menoleh. Rupanya Mas Dimas sudah berdiri di belakang kami. Harusnya tadi aku memilih kursi yang menghadap pintu masuk, supaya bisa segera menyadari kehadiran Mas Dimas.
Mas Dimas duduk di seberangku. Sorot matanya menyiratkan rasa penasaran. Dia menatap kami bergantian, terlihat menunggu penjelasan dariku dan Karen kenapa namanya disebut-sebut dalam pembicaraan.
Aku, Karen, dan Mas Dimas sering hang out bertiga. Topik obrolan selalu mengalir di antara kami. Tapi, entah kenapa sore ini, suasana canggung justru menyelimuti kami seperti kabut yang tiba-tiba datang saat cuaca dingin.
======
Halo. Bagi yang pernah baca cerita ini di facebook beberapa tahun sebelumnya, mungkin menyadari ada sedikit perbedaan dari versi sebelumnya.
Saya akhirnya memutuskan memotong beberapa adegan supaya nggak bertele-tele sekaligus membangun ruang untuk memberi penjelasan tentang background Tadzkia dan Arsyad tanpa nambah sudut pandang tokoh lain.
Di versi ini, cerita hanya fokus pada sudut pandang Tadzkia dan Arsyad aja. Bismillah, semoga bisa tamat bulan Juli ini ya, biar bisa lanjut revisi cerita lain.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top