(14) Menunggu Keputusan

Arsyad

Aku dapat memaklumi jika dia merasa aku tidak cukup pantas untuk menjadi teman hidupnya. Selain kami belum tahu banyak tentang satu sama lain, usia kami juga terpaut cukup jauh. Namun, memaklumi bukan berarti dapat dengan mudah menerima.

Jujur saja, dadaku terasa nyeri setiap kali membayangkan Tadzkia menolakku. Padahal, aku dan Tadzkia belum terikat apa-apa. Kami hanyalah dua orang asing yang jika tidak pernah bertemu lagi setelah ini, hidup kami akan tetap baik-baik saja. Setidaknya, aku merasa dapat melanjutkan hidupku seperti sedia kala. Hanya saja, kata penolakan itulah yang justru menjadi momok menakutkan bagiku. Luka yang ditinggalkan Vira bertahun-tahun lalu masih membekas di hatiku. Aku telah merelakan Vira, tapi rasa sakit yang kualami waktu itu masih terus menghantui. Karena itulah aku tak pernah berhasil menjalin hubungan baru selepas putus dari Vira.

Kupikir memulai kembali melalui jalur perjodohan tidak akan membuat bingung seperti ini. Ternyata aku salah. Rasa penasaran yang menggerogoti hatiku persis seperti saat aku menunggu keputusan Vira apakah dia mau berpacaran denganku atau tidak. Malahan, yang sekarang kurasakan lebih menyiksa karena harus kutahan selama berminggu-minggu. Pikiranku sering tidak fokus. Di tengah aktivitas sehari-hari, aku sering tiba-tiba saja teringat pada Tadzkia yang belum juga mengabariku tentang keputusannya. Pertanyaan dari keluargaku makin memperburuk suasana hatiku.

Untuk membungkam pikiran-pikiran buruk yang terus menyambangi kepala, aku menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Hal-hal yang harusnya cukup kudelegasikan pada anak-anak buahku, justru ku-handle sendiri. Aku bersembunyi di balik kesibukan kerja agar tidak perlu sering-sering bertemu Ayah, Naila, juga Ibu. Bahkan sejak lima hari lalu aku memutuskan pulang ke salah satu apartemen yang biasa kusewakan pada klien travel. Bertemu dengan keluargaku justru membuatku makin teringat pada ketidakcakapanku memenuhi tuntutan mereka. Ibu tentu saja mengomeliku–menurut beliau untuk apa tinggal terpisah kalau aku belum menikah–tapi akhirnya mau mengerti saat kujelaskan bahwa aku butuh waktu sendiri.

Begitu tiba di apartemen, aku langsung menge-charge ponsel yang sudah hampir kehabisan baterai. Sepintas kulihat notifikasi adanya pesan dari Ibu yang belum kubaca. Aku berniat untuk mengabaikannya. Pikirku, Ibu hanya akan bertanya apakah aku sudah makan atau semacam itu. Bahkan sampai usiaku yang sudah kepala tiga ini, Ibu masih saja memperlakukanku layaknya anak kecil.

Aku berusaha untuk pura-pura tidak menyadari saat ponselku menyanyikan ringtone khusus yang kupasang saat Ibu menelepon. Namun, rasa bersalah menyusup pelan-pelan ke dalam hati. Aku tiba-tiba teringat isi khutbah Jumat minggu lalu, tentang seorang ahli ibadah yang memilih meneruskan salat sunnah daripada menjawab panggilan ibunya, lalu dia mendapat cobaan fitnah karena doa ibunya yang kesal akibat tidak segera mendapat jawaban. Akhirnya kuputuskan untuk menerima panggilan.

"Kamu ke mana aja, Syad? WA ibu, kok, nggak ada yang dibaca?" Ibu langsung mencecar setelah menjawab salam dariku.

"Maaf, Bu. Arsyad baru sampai apartemen."

"Ya, ampun. Jam segini baru pulang? Kamu sudah makan belum? Makanya Ibu bilang pulang ke rumah aja. Biar ada yang ngurusin. Ngapain, sih, pakai pulang ke apartemen kayak anak kecil lagi ngambek."

Aku tidak berani menyela Ibu. Meski omelannya mengandung banyak pertanyaan, beliau tidak memberi jeda sedikit pun agar aku dapat bisa menjawab. Kudengarkan dengan sabar saat beliau bercerita tentang Naila yang terlihat kesal karena belum juga mendapat restu dari Ayah, juga tentang Ayah yang bolak-balik bertanya kenapa aku tidak pulang.

"Ibu bilang kamu memang lagi perlu fokus karena lagi banyak yang pesan paket umroh. Tapi, sampai kapan alasan itu bisa dipakai. Jangan sampai ayahmu ngerasa kamu sengaja menghindarinya."Akhirnya tempo bicara Ibu melambat. "Jadi, ibu harus jawab apa ke mamanya Kia?"

"Mamanya Tadzkia? Memang apa hubungannya sama Tante Rahayu?" Aku bertanya keheranan. Kenapa pembicaraan jadi tiba-tiba berbelok ke Tante Rahayu?

"Loh, kamu belum ngecek WA ibu, toh?"

"Gimana saya mau ngecek, Bu. Kan, ini lagi teleponan sama ibu."

"Kan, bisa kamu cek sambil dengerin ibu ngomong."

"Maaf. Sebentar saya cek du–"

"Nggak usah! Biar ibu langsung ngomong aja," potong Ibu.

Aku membuang napas panjang untuk menahan diri agar tidak mendebat Ibu. Prinsipku saat sedang berhadapan dengan Ibu adalah: Ibu selalu benar.

"Tadzkia mau ketemu kamu. Kamu bisanya kapan?"

Hening. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Pikiranku masih sibuk mencerna pertanyaan Ibu. Harapan perlahan tumbuh kembali di hatiku yang sebelumnya mulai putus asa, meski di sisi lain, sebagian diriku juga terus mengingatkan untuk tidak banyak berharap. Bisa saja Tadzkia ingin bertemu untuk menyampaikan bahwa dia tidak berminat melanjutkan perjodohan kami.

Aku berusaha tidak banyak berharap, tapi juga tidak ingin membayangkan Tadzkia akan menolakku. Penolakan tetaplah penolakan, kan? Meski aku belum memiliki perasaan apa pun terhadap Tadzkia, harga diriku pastilah tetap akan terluka. Jika Tadzkia menolakku, apakah aku masih punya cukup keberanian untuk mencoba perjodohan lain?

"Syad?" Suara Ibu memecah lamunanku. "Ibu harus jawab apa?"

"Sa-saya bisa kapan saja Tadzkia bisa," jawabku tergagap. Tidak ada gunanya menunda-nunda. Apa pun keputusan Tadzkia, akhirnya tetap harus kuhadapi juga.

* * *

Setelah menyapa Tante Rahayu di teras, aku menghampiri Tadzkia yang telah menunggu di taman depan. Dia duduk di tempat yang sama dengan saat kami berbincang tempo hari. Aku pun memilih kursi yang sama, tepat di seberangnya. Dia menjawab salamku dengan suara yang sangat pelan, nyaris tak terdengar.

Aku menunggunya bicara lebih dulu, tapi lima menit berlalu begitu saja. Kepalanya terus menunduk sejak tadi. Akhirnya kuputuskan untuk memulai pembicaraan.

"Apa kabar, Tadzkia?" Hanya pertanyaan itu yang terlintas di benakku. Kemampuanku berbasa-basi seakan menguap begitu saja di hadapan Tadzkia.

"Alhamdulillah, baik. Bagaimana dengan Mas Arsyad sendiri?" jawabnya, masih dengan kepala tertunduk.

Sepertinya yang merasa gugup bukan hanya aku. Samar-samar kulihat Tadzkia sibuk mengetuk-ngetukkan ujung sepatu ke tanah. Ke mana sosok gadis cerewet yang kutemui di gang waktu itu? Bibirku perlahan mengurai senyum gara-gara tingkah Tadzkia yang menggemaskan.

"Alhamdulillah, baik, meski sering sulit tidur akhir-akhir ini."

Untungnya aku berhasil mengerem mulut untuk tidak mengatakan bahwa dialah yang membuatku sulit tidur. Kalau tidak, bisa-bisa Tadzkia akan menganggapku sebagai tukang gombal yang tebar pesona. Gara-gara hampir keceplosan barusan, pikiranku jadi blank lagi. Kami kembali terjebak dalam diam.

Hatiku sibuk menduga-duga apa kiranya keputusan Tadzkia. Makin lama, detak jantungku makin tak karuan. Rasa penasaran yang berusaha kuabaikan selama ini kini membuncah hingga tumpah. Akhirnya, aku kembali mengambil inisiatif untuk bertanya. Jika dibiarkan, bisa-bisa kami hanya akan saling diam sampai berjam-jam tanpa kejelasan.

"Jadi, apakah Tadzkia sudah memutuskan?" Lebih baik kutanyakan langsung saja daripada aku cuma menebak-nebak. Walau jawaban yang kudengar tak sesuai harapan, setidaknya aku tak perlu menderita karena penasaran.

Tadzkia mengangguk pelan. Aku mencoba mendefinisikan arti anggukan kepalanya itu. Dia mengangguk tanda sudah memutuskan atau tanda setuju dijodohkan denganku?

"Jadi? Apa keputusan Tadzkia?" Aku bertanya sekali lagi agar tidak salah paham.

Bukannya menjawabku, dia malah menunduk semakin dalam. Diletakkan tangannya di atas meja yang memisahkan kami.

Tadzkia mulai menarik-narik ujung kukunya. Aku merasa jeri. Dari dulu, aku tak suka jika ada orang yang menggigiti atau memainkan kukunya seperti itu. Belum apa-apa sudah perih membayangkan kulitnya robek dan berdarah.

Tiba-tiba Tadzkia tersentak. Walau samar, kulihat wajahnya meringis. Aku refleks meraih tangannya untuk memastikan. Ternyata benar dugaanku, jarinya berdarah karena ia terlampau keras menariki kulitnya. Tadzkia menarik tangannya dengan kasar, ekspresinya jauh lebih kaget dibandingkan saat jarinya terluka.

"Maaf," ucapku ketika menyadari kesalahanku. Aku lupa kalau Tadzkia sangat menjaga interaksinya dengan lawan jenis.Tadi aku tidak ada maksud apa-apa, hanya ingin memastikan bahwa lukanya tak terlalu dalam.

"Tidak apa-apa, hanya luka kecil." Dia menggenggam jemarinya yang terluka.

Kupandangi tanganku. Masih ada rasa hangat yang tertinggal di sana. Untuk beberapa detik tadi, bisa kurasakan tangannya yang lembut dan mungi begitu pas dalam genggamanku. Sejujurnya tadi aku masih ragu akan keputusanku atas perjodohan ini, tapi kini keraguan itu telah pergi. Aku ingin terus menggenggam tangan mungil itu, jika pemiliknya mengizinkan.

"Jadi, apa keputusan Tadzkia?" Aku mengulang pertanyaanku sekali lagi. Kali ini, penuh dengan harapan akan mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Aku khawatir jika menunggu jawabannya terlalu lama, jantungku akan meledak.

* * *

**

*

Hai. Lama tak bersua. Doakan saya bisa rutin posting ya. Saya pingin cepat tamatin cerita ini plus revisi dan republish Cahaya Cinta Arunika. Soalnyaaaa, saya lagi nyiapin cerita baru spin off dari Arunika.

Semoga semester ini saya bisa bagi waktu dengan bijaksana biar tetap bisa nulis di sela-sela tugas kuliah.

Terima kasih buat siapa pun yang mampir. Kalau suka cerita ini jangan lupa klik tombol vote yak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top