{13} Petunjuk Tersembunyi

Tadzkia

Meski sudah hampir dua jam berbaring di atas kasur, aku belum bisa tidur. Mataku sudah terpejam dari tadi, tapi otakku masih aja terus melompat-lompat memikirkan banyak hal. Jadwal sidang skripsi, dosen pembimbing yang sulit ditemui, dan entah kenapa wajah lelaki itu muncul lagi setelah berhari-hari nggak muncul. 

Tanggal sidang yang makin dekat sempat membuatku lupa tentang perjodohan itu. Mama juga sepertinya paham aku perlu fokus mengurus skripsi. Seminggu terakhir, beliau nggak pernah menyebut-nyebut nama lelaki itu di hadapanku. 

Semua ini gara-gara aku nggak sengaja lihat iklan agen travel yang dikelola Mas Arsyad saat dalam perjalanan pulang ke rumah sore tadi. Padahal dalam baliho itu nggak ada foto Mas Arsyad, namanya juga nggak disebutkan. Tapi, karena Mama dan Papa beberapa kali membahas tentang pekerjaan Mas Arsyad, otakku langsung mengasosiasikan iklan itu dengannya. Kini, wajah lelaki itu kembali seliweran di otakku, nggak mau pergi meski aku berusaha mengalihkan pikiran ke hal lain. Aku juga jadi teringat kalau sudah lewat dua minggu sejak pertemuan kami, dan aku belum mengambil keputusan apakah akan melanjutkan rencana perjodohan kami atau nggak. 

Apa aku terlalu lama menggantung jawaban?

Aku nggak tahu berapa lama waktu yang biasanya dibutuhkan untuk mengambil keputusan dalam proses taaruf seperti ini. Menikah akan mempengaruhi semua hal dalam hidupku. Aku nggak bisa buru-buru mengambil keputusan, kan? Mas Arsyad juga nggak menghubungiku. Itu artinya dia juga nggak menuntutku untuk segera memberikan jawaban, kan? 

Makin kupikirkan, entah kenapa aku malah merasa makin gelisah. Perasaan bersalah pelan-pelan terbit di hatiku. Apakah aku terlalu mengulur-ulur waktu? Tempo hari, Mas Arsyad bilang, adiknya nggak diperbolehkan menikah selama Mas Arsyad belum menikah. Berarti …  aku sudah menjadi penghambat pernikahan adik Mas Arsyad?

Ah. Aku jadi tambah ngerasa bersalah. Mungkin besok aku akan memberi tahu Mama kalau aku belum siap untuk menikah. Dengan begitu, Mas Arsyad nggak perlu menunggu jawaban dariku. Dengan begitu, dia bisa mencari perempuan lain untuk dipinang.

"Kenapa jadi gini?" Aku terduduk di tempat tidur. Mataku kini terbuka lebar, sementara tangan kananku memegangi dada. Rasanya seperti ada yang meremas-remas jantungku. 

Perasaan apa ini? Kenapa dadaku tiba-tiba terasa sesak saat aku memikirkan Mas Arsyad akan menikah dengan perempuan lain? 

Kami baru sekali bertemu! Setelah itu, nggak ada komunikasi sama sekali. Bahkan, aku juga nggak mencari-cari akun media sosialnya. Satu-satunya yang terekam dalam ingatanku hanyalah sosoknya yang kulihat dalam pertemuan yang nggak sampai satu jam itu! Nggak mungkin kan aku jatuh cinta kepadanya? 

Sepertinya aku terlalu stres memikirkan skripsi, sampai-sampai hatiku jadi kacau-balau hanya karena masalah sepele begini. Biar nggak mengganggu persiapan sidang, aku rasa besok aku benar-benar harus bilang ke Mama untuk membatalkan rencananya menjodohkanku dengan Mas Arsyad. Aku nggak mau jadi penghambat bagi Mas Arsyad dan adiknya untuk menikah. 

Merasa nggak ada gunanya lagi berusaha tidur, aku turun dari tempat tidur dan menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka. Daripada nggak bisa tidur karena mikirin lelaki yang belum tentu jadi jodohku, mending aku coba baca-baca lagi buku-buku referensi. Aku harus menguasai semua materi supaya nggak mempermalukan diri sendiri saat sidang nanti. 

Sekembalinya dari kamar mandi, kulihat layar ponselku menyala. Sebuah pesan baru saja masuk. Buru-buru aku memeriksanya. Ternyata pesan itu berasal dari dosen pembimbingku. 

Bu Maesaroh - Dosbing

Assalamu'alaikum. Tadzkia. Maaf mendadak ngabarinnya. 

Ternyata saya diminta berangkat ke UK lebih awal, jadi minggu depan rencananya saya sudah mulai ambil cuti. Saya sudah kontak dosen2 lain, katanya mereka ada jadwal kosong di hari Rabu. Besok kamu coba urus ke sekretariat untuk majuin jadwal sidang ya. 

Selama beberapa menit, aku cuma bisa bengong menatap layar ponsel. Kubaca pesan itu berulang-ulang, berharap isi pesan tersebut akan berubah. Tapi, tentu saja hal itu nggak terwujud. Isinya tetap sama persis dengan yang pertama kali kubaca. 

Beberapa bulan lalu, dosen pembimbingku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke jenjang S3. Makanya selama sebulan terakhir aku diburu-buru untuk segera mengumpulkan skripsi dan mendaftar sidang. Beliau ingin segera berangkat karena memang sudah mendapat LoA sejak sebelum mendaftar seleksi beasiswa. Setelah berhari-hari sulit ditemui karena sibuk mengurus entah apalah, sekarang dosen pembimbingku itu justru minta aku memajukan jadwal sidang. 

Sebenarnya, apa yang sedang Allah rencanakan untukku? 

Lagi-lagi, wajah Mas Arsyad kembali melintas. Aku nggak pingin berpikir macam-macam. Tapi, nggak bisa kupungkiri, sebagian dari diriku berpikir bahwa Allah nggak mau aku menjadikan skripsi sebagai alasan untuk menolak dijodohkan dengan Mas Arsyad.

Tiba-tiba saia, aku nggak berminat lagi mereviu materi. Sosok Mas Arsyad kembali berkuasa di dalam pikiranku dan sepertinya akan sulit diusir pergi. 

***

“Kamu sudah istikharah?” tanya Mbak Wardah setelah mendengarkan dengan sabar ceritaku. 

Aku bersyukur Mbak Wardah bersedia menungguku selesai mengurus administrasi perubahan jadwal sidang yang super ribet dan melelahkan. Aku  perlu mendengarkan nasihat Mbak Wardah yang selalu menyejukkan hati. Semoga dengan begitu, lusa nanti aku sudah bisa fokus menjalani sidang, bukannya malah melamun memikirkan hal lain. 

“Sudah, Mbak. Tapi aku belum mimpi apa-apa terkait hal ini.” Kujawab pertanyaannya sambil menganggukkan kepala. 

“Ki, petunjuk dari Allah itu nggak cuma lewat mimpi.” Mbak Wardah berkata dengan lembut. “Petunjuk Allah bisa datang melalui hal-hal yang kamu lihat, kamu dengar, atau kamu rasakan. Bisa juga dalam bentuk kemudahan atau sekadar kemantapan hati. Jadi, jangan terlalu fokus dan mengharapkan ada mimpi yang dengan jelas memberikan jawaban. Kamu harus peka dengan sekitar. Petunjuk itu bisa datang dari mana saja. ”

Kutatap Mbak Wardah dengan sorot bingung. “Jadi, nggak selalu dalam bentuk mimpiku?" Aku mengonfirmasi. 

Mbak Wardah menggeleng. "Mimpi cuma salah satu perantara aja. Seringnya justru tersirat dalam hal-hal yang terjadi di sekeliling kita."

Hal pertama yang kuingat adalah perubahan jadwal sidang yang mendadak ini. Beberapa saat sebelum kabar dari dosen pembimbing kuterima, aku sempat berniat menolak perjodohan dengan Mas Arsyad karena nggak mau dia terlalu lama menunggu. Waktu itu, aku merasa mustahil memikirkan pernikahan kalau urusan skripsiku belum beres. 

"Sampai sekarang aku masih ragu, Mbak. Waktu aku cerita  ke Mama pingin langsung menikah tanpa pacaran, bukan seperti ini yang aku bayangkan,” kataku terus terang. "Aku pikir bakal seperti Mbak Wardah dan teman-teman yang lain. Tukeran proposal, taaruf, lalu menikah."

“Kia. Banyak cara untuk ketemu jodoh kita, salah satunya melalui perantara orang tua.” Mbak Wardah menepuk bahuku lembut. “Kalau kamu menerima perjodohan ini, maka Kia tak hanya menyempurnakan setengah agama, tapi juga menunjukkan bakti pada orang tua.”

Aku menundukkan kepala dan memandangi jemariku yang sejak tadi sibuk memilin ujung jilbab. Sesungguhnya apa yang dikatakan Mbak Wardah persis sama dengan yang kupikirkan sejak kemarin.

“Iya, Mbak. Tapi aku masih ragu karena belum kenal baik dengannya.” Aku menghela napas. “Makanya kemarin aku minta tolong Mbak Wardah untuk tanyakan ke Mas Ubay. Siapa tahu Mas Ubay kenal. Dulu kan pernah satu sekolah. Kalau tanya Mas Akbar, nanti aku malah diledekin. Aku pingin dengar pendapat orang lain yang lebih netral.”

Mas Ubay, suami mbak Wardah, memang satu almamater dengan Mas Akbar dan Mas Arsyad. Hanya saja, Mas Ubay satu tahun di bawah mereka.

“Iya, sudah Mbak tanyakan. Mas Ubay memang kenal dengan Arsyad. Tapi bukan kenal di sekolah dulu. Sebentar.” Mbak Wardah merogoh saku gamisnya, seperti mencari sesuatu.

“Kenalnya malah pas udah sama-sama kerja. Mas Ubay sering kerja sama dengan Arsyad kalau mau bawa rombongan umroh. Kan dia Direktur Hijrah Travel,” sambungnya.

“Terus mbak? Gimana kata Mas Ubay?” tanyaku penuh harap.

Bukannya menjawab, Mbak Wardah malah menyerahkan secarik kertas kepadaku. “Sengaja mbak minta Mas Ubay tuliskan di kertas. Siapa tahu butuh dibaca-baca lagi kalau kamu ragu.”

Aku membuka lipatan kertas itu. Terlihat tulisan tangan Mas Ubay yang meliuk-liuk di atas kertas.

Arsyad Sulthony adalah pengusaha yang amanah. Selalu tepat waktu setiap ada janji temu. Saya sudah beberapa kali bekerja sama dengannya. Sikapnya selalu sopan dan ramah. Selama ini dia juga terlihat menjaga pergaulan dengan lawan jenis. Sejauh yang saya tahu, Arsyad adalah lelaki baik-baik.

Nggak banyak informasi baru yang kudapat dari Mas Ubay, tapi entah kenapa aku merasa lega. Mungkin karena Mas Ubay nggak menyebutkan satu pun hal buruk tentang lelaki yang dijodohkan denganku itu.

Aku menarik napas dalam-dalam. Sepertinya aku sudah tahu jawaban apa yang harus kuberikan. Akan segera kuberi tahu Mama saat aku sampai di rumah nanti. Aku ingin masalah ini segera selesai, supaya aku bisa fokus dengan persiapan sidang. 

=======
=========

Author's note

Halo. Apa kabar? Semoga kalian sehat selalu.
Maaf masih slow update ya. Saya lagi coba beradaptasi dengan lingkungan baru, status baru, dan jadwal baru. Juga masih sibuk cari tempat tinggal di kota yang baru ini.

Kemarin jujur aja saya lagi galau segalau-galaunya karena urusan tempat tinggal ini. Tapi, pas mampir ke Twitter, ada yang ngetag saya di utasan Wattpad Menfess. Ternyata ada salah satu pembaca yang promoin cerita ini.

Buat sender dan pembaca yang lain. Terima kasih banyak atas suntikan semangatnya. Semua itu sangat berarti buat saya. Terima kasih sudah sabar menunggu. Terima kasih sudah berkenan membaca cerita ini.

❤❤❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top