(10) Interogasi

Arsyad

Gadis itu, maksudku Tadzkia, mengajakku menuju deretan bangku taman yang terletak di sisi dalam pagar. Terdapat beberapa kursi besi dan sebuah meja bundar di sana. Bayang-bayang pohon ketapanh menaungi area itu dari cahaya matahari sore. Tadzkia memilih kursi yang membelakangi ruang tamu, sedangkan aku mengambil tempat di seberangnya. Aku tak terlalu suka duduk bersisian karena tak bisa leluasa mengamati orang yang kuajak bicara.

Sebenarnya, aku merasa gugup. Tapi karena Tadzkia terlihat lebih gugup dariku, aku mencoba untuk bersikap seakan perjodohan ini bukan hal besar bagiku. Harus kuakui, ekspresi Tadzkia saat ini sungguh menggemaskan. Sejak kami diperkenalkan tadi, dia tampak berusaha menghindari tatapanku. 

Bulu mata Tadzkia tidak lentik, tapi cukup panjang, baru terlihat jika dia memejamkan mata. Selain bola matanya, seluruh ornamen wajahnya mungil, menyesuaikan bentuk wajahnya yang juga mungil. Wajahnya bersih dengan pipi yang kemerahan. Ada beberapa bekas jerawat di pipinya, tapi tak terlalu mengganggu.

Yang paling mencolok di wajahnya adalah matanya yang bulat dan jernih, seperti anak rusa. Perawakannya yang mungil membuatnya benar-benar terlihat jauh lebih muda. Kuterka tingginya sekitar 150 cm karena tak sampai sebahuku. 

“Sebaiknya, saya harus panggil apa?” tanyanya setelah meminta maaf kepadaku untuk kedua kalinya. Dia kembali melayangkan pandang ke entah apa di balik punggungku. 

“Mas saja. Jangan panggil Om. Saya belum setua itu, kok,” jawabku dengan nada bercanda, berharap dapat mencairkan ketegangan di antara kami.  

Tadzkia mengangguk lalu berkata, “Mas Arsyad tahu maksud kedua orang tua kita mengenalkan kita?”Caranya bicara terdengar sangat kaku dan formal, berbeda dengan saat interaksi kami di gang tadi. Tampaknya, Tadzkia sengaja membuat jarak di antara kami.

Aku mengangguk. “Iya, Ibu sudah memberitahu saya sebelum mengajak ke sini. Bagaimana dengan Tadzkia? Apakah sudah tahu?” Aku jadi ikut-ikutan menggunakan bahasa formal.

“Sudah. Tadi pagi Mama sudah cerita.”

Dia terlihat berpikir sejenak, seperti sedang berusaha memilih kata-kata yang tepat. “Saya harap mas Arsyad nggak tersinggung. Tapi kalau boleh saya tahu. Kenapa di usia yang err … matang ini, Mas Arsyad belum menikah?”

Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya yang to the point. Tapi jika berada di posisinya, mungkin aku akan menanyakan hal yang sama.

Lelaki seusiaku biasanya sudah menikah dan memiliki setidaknya satu orang anak. Begitulah standar yang berlaku dj masyarakat. Ketika aku tidak bisa memenuhi ekspektasi itu, bukankah sedikit mencurigakan? Setidaknya bagi keluarga besarku, hal itu mencurigakan, sehingga sampai beredar desas-desus tidak jelas tentangku.

“Saya terlalu sibuk kerja. Dan selama ini saya belum bertemu wanita yang membuat saya memikirkan pernikahan.” Aku tidak berbohong. Semenjak putus dengan Vira, aku belum bertemu wanita yang membuatku ingin menikahinya.

“Kenapa Mas Arsyad setuju untuk dijo--maksud saya dikenalkan dengan saya?”

Kurasa untuk pertanyaan ini aku bisa jujur sepenuhnya. “Beberapa hari lalu, Naila, adik perempuan saya, dilamar pacarnya. Tapi, Ayah kami tidak merestui kecuali jika saya menikah lebih dulu.”

"Oh." Bibir mungil Tadzkia membentuk bulatan. Hanya itu tanggapannya. Aku tidak bisa menebak apa yang dia pikirkan tentangku setelah mendengar jawabanku barusan. 

Karena Tadzkia tetap diam, kuputuskan untuk gantian bertanya. “Kalau Tadzkia sendiri, kenapa Tadzkia mau mengikuti perjodohan ini? Bukankah dari segi umur, Tadzkia masih sangat muda? Bahkan saat bertemu di gang tadi, saya pikir Tadzkia masih SMP."

Akhirnya Tadzkia menatapku. Raut wajahnya menyiratkan rasa tidak suka. Apakah dia marah kusebut mirip anak SMP?

“Buku-buku tadi. Bukankah untuk siswa SMP?” cetusku panik, berusaha menyiratkan alasanku menarik kesimpulan itu. Tak kusebutkan bahwa alasan sebenarnya adalah perawakannya yang mungil dan wajahnya yang awet muda. Buku-buku itu hanya memperkuat keyakinanku.

“Oh, itu tadi saya gunakan untuk bahan mengajar di rumah singgah.”

Sorot mata Tadzkia kembali melembut. Dia kembali melempar pandangan pada hal selain diriku. 

Aku menghela napas lega. Setelah bertahun-tahun, baru kali ini aku berhadapan dengan seorang gadis untuk urusan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi Tadzkia jika dia marah atau kesal kepadaku. Meski aku tak berharap banyak pada perjodohan kami, setidaknya aku ingin meninggalkan kesan baik pada Tadzkia dan keluarganya. 

“Saya memang sempat mengutarakan keinginan saya untuk menikah muda pada mama." Tadzkia membelokkan topik kembali pada agenda perjodohan ini. "Tahun ini insyaAllah saya genap berusia 22 tahun. Menurut saya, nggak bisa dibilang terlalu muda juga untuk menikah. Beberapa teman saya, ada yang sudah menikah.”

Dia menjeda sebentar. Matanya masih saja terarah pada benda di sekitarku. Tampak jelas bahwa dia menghindari bertemu tatap denganku. 

“Dan niat saya adalah menikah tanpa perlu berpacaran dulu. Ketika saya mengutarakan niat saya itu pada Mama, beliau menawarkan diri untuk memilihkan calon suami. Menurut saya tidak ada salahnya menyenangkan hati Mama.”

"Jadi, Tadzkia tidak keberatan menikah dengan saya?" Usai melontarkan pertanyaan itu, tubuhku seakan tersengat listrik. Kalimat itu lepas begitu saja dari mulutku. Sebenarnya aku hanya ingin memastikan apakah Tadzkia akan mempertimbangkan untuk menyetujui perjodohan ini, tapi entah kenapa yang terucap justru mirip sebuah lamaran. Sekarang, dia pasti menganggapku lelaki yang putus asa karena tidak juga bertemu jodoh, sehingga dengan gampangnya mengajak gadis yang baru ditemui menikah. 

Wajahku terasa begitu panas. Gagal sudah rencanaku untuk menjaga image. Kedua pipi Tadzkia terlihat memerah. Bahkan, kini kedua matanya membulat menatapku. 

Beberapa menit berlalu dengan canggung. Rasanya aku ingin bersembunyi, atau pamit pulang sekalian. Kenangan burukku saat melamar Vira mengintip kembali di sudut ingatanku. Vira yang waktu itu berstatus pacarku dan telah sangat mengenalku tetap saja menolak lamaranku, apalagi Tadzkia yang baru saja kutemui. 

"Sa-saya ti-tidak bisa jawab sekarang." Akhirnya, Tadzkia memecah sunyi yang menyelimuti kami. 

Aku memikirkan jawaban Tadzkia dengan serius. Aku tidak tahu apakah dia sedang menolakku secara halus atau benar-benar akan mempertimbangkan menikah denganku.

"Saya harus diskusi dulu dengan keluarga saya, juga salat istikharah dulu," lanjut Tadzkia. Kepalanya tertunduk, seakan sengaja ingin menyembunyikan wajah. Aku jadi tidak bisa melihat bagaimana ekspresinya. Apakah dia serius dengan perkataannya, atau sekadar berbasa-basi mengulur waktu. 

Lagi-lagi rasa canggung meruak di udara. Aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana. 

"Sebelum kita akhiri pembicaraan ini. Boleh saya bertanya dua hal lagi?" Tadzkia kembali bersuara. Pelan-pelan dia mengangkat wajahnya. Sepasang mata rusa itu kini menatapku dengan serius. 

Pipiku kembali membara, tapi kali ini bukan karena malu. Ada perasaan hangat yang perlahan mengisi dada saat aku dapat melihat raut wajah Tadzkia dengan begitu jelas.

"Silakan." Aku menjawab. Jujur saja, aku merasa begitu gugup. 

"Menurut Mas Arsyad, pernikahan itu seperti apa? Bagaimana posisi suami dan istri dalam rumah tangga?"

Aku tertegun. Tadzkia jauh lebih muda dariku. Penampilannya, suaranya, nada bicaranya mempertegas jarak usia kami. Aku tidak menyangka dia akan menanyakan hal yang begitu serius. Pertanyaan Tadzkia membuatku merenung. Aku tidak pernah benar-benar memikirkan hal itu, jadi kuputuskan untuk mengutarakan apa yang tercetus pertama kali di kepalaku. 

"Bagi saya, pernikahan itu adalah ruang bagi suami dan istri untuk bertumbuh bersama, saling mendukung dan membantu untuk meraih hal yang dicita-citakan, saling mengingatkan untuk terus berada dalam jalan kebaikan. Suami dan istri adalah partner dalam menjalani hidup, tapi tetap dua individu yang berbeda. Masing-masing pasti punya karakter dan pemikiran yang berbeda. Pernikahan bukan untuk menjadikan kedua karakter itu jadi satu, tapi justru mendorong masing-masing karakter menjadi versi terbaik dari dirinya. Karena seperti yang saya utarakan tadi, pernikahan akan menjadi ruang bagi kita untuk tumbuh bersama."

Lidahku terpeleset di kalimat terakhir. Tiba-tiba saja terucap kata 'kita' dari bibirku, seolah aku sedang mendeskripsikan pernikahan yang akan kujalani bersama Tadzkia. Aku harap, Tadzkia tidak menyadarinya. Aku tidak ingin dia mengira aku sedang merayunya agar mau menikah denganku. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top