04. Pengganggu Yang Harus Disingkirkan

Apa dia benar benar segila itu hanya untuk melakukan ini?
Sialan.

.
.
.

"Good morning, Love, wow!" seru Joshua terkejut saat membuka pintu apartemen dan melihat Agatha duduk dalam keadaan yang tampak kacau ditemani sebatang rokok.

"Agatha ini masih pagi dan kau sudah merokok?" amuknya menghampiri Agatha lalu menyita batang putih yang terselip diantara jari lentik Agatha.

Agatha mengembuskan asapnya ke arah samping agar Joshua tidak menghirupnya. Sahabatnya ini tidak suka menghirup asap rokok sama seperti Gabriel. Ia tak acuh pada omelan Joshua.

"Apa jadwal hari ini?" tanya Agatha yang kemudian mengulurkan tangannya untuk mengambil potongan buah apel di atas meja.

Joshua masih menatapnya sebal, tidak menjawab, ia memilih untuk pergi ke dapur. Ia tak mau paginya diwarnai kekesalan karena Agatha.

"Meeting dengan orang interior yang sejak kemarin menunggu jadwal untuk bertemu denganmu."

"Bukankah aku sudah menjawab emailnya, kenapa harus bertemu? Mereka bisa menyelesaikan ini sendiri, kan?"

"Kau meminta revisi tiap dua hari sekali, jika kau lupa. Mereka sudah terlalu baik mengubah semuanya sesuai dengan keinginanmu. Padahal waktu mereka tidak banyak. Mereka ingin memastikan sendiri seleramu yang seperti iblis itu."

Mendengar jawaban Joshua membuat Agatha mengernyitkan dahi. "Iblis?"

Joshua yang sedang menuang air dingin, menoleh. "Kenapa? Kau tidak tahu mereka menyebutmu atasan iblis karena semua revisi dan keluhanmu setiap saat?"

"Berani sekali."

"Agatha kau kadang harus menyadari bagaimana kau menghancurkan kerja keras mati-matian mereka. Tentu saja wajar jika mereka kesal dan berpikir begitu tentangmu."

"Mereka kugaji untuk bekerja sesuai perintahku, Josh. Jika mereka mengeluhkan segalanya harusnya mereka berhenti membuang waktu dan mencari pekerjaan lain."

"Tapi, kau keterlaluan Agatha. Tidak semua orang bisa bekerja mengikuti ritme yang sama denganmu. Proses yang dicapai setiap orang berbeda dan kau harus menghargai itu karena mereka melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan, untukmu, untuk pekerjaan mereka."

Agatha memutar bola matanya mendengar ucapan Joshua. Sudah bosan dengan omelan yang hampir setiap saat ia dengar dari Joshua tentang pekerjaan semua bawahannya. Selama ini dia mencoba memaklumi banyak hal, dan itu sudah termasuk toleransi paling baik darinya, tidak lebih.

"Aku sendiri heran kenapa aku masih saja tahan bekerja denganmu saat seharusnya aku bisa mengurus firma hukumku sendiri alih-alih berada di sampingmu," gerutu Joshua yang kini duduk di meja makan, mengupas apel untuk dirinya sendiri.

"Jika kau berani melangkahkan kaki untuk meninggalkanku maka jangan harap kau akan melihat firma hukum yang kau bangun itu masih berdiri tegak, Josh. Akan kupastikan tempat itu hilang."

Joshua mengedikkan bahunya tak acuh sebagai jawaban atas ancaman Agatha yang sering ia dengar. Keduanya terlalu sering saling mengancam hingga rasanya sudah tak peduli lagi dengan ancaman itu.

"Jadi, bagaimana semalam?"

"Hm, apa?"

"Tentang Winston, kau sudah menanyakanya?"

"Aku sudah bilang pada Gabriel semalam."

"Lalu, apa katanya? Dia yang memberikan akses?"

"Bukan."

"Eh? Bukan Gabriel, lalu siapa?" tanya Joshua kaget, ia pikir Gabriel atau Tuan Anderson yang mungkin melakukannya.

"Gabriel bilang, ia bahkan belum pernah bicara secara langsung dengan Winston ini. Lamaran sebelumnya juga hanya disampaikan melalui Arthur Winston, kakaknya."

"Kau mau aku menyelidikinya? Aku akan meminta Fred melakukannya, ini cukup serius jika sampai Gabriel saja tidak tahu," lanjut Joshua yang kini mulai khawatir.

"Ya, jika kau tidak keberatan. Thank you, Josh."

***


Sekarang pukul tiga siang, setelah janji temu tadi pagi, Agatha kembali ke kantor. Lalu kini ia sudah harus pergi lagi.

"Jadi jadwal selanjutnya apa, Josh?"

"Ada pihak dari hotel RedSky yang sudah menunggu untuk bertemu denganmu. Setelahnya ada orang dari GreenMart juga menunggu untuk meminta persetujuanmu mengenai berkas kerjasama dengan Woodpenter."

Agatha mendengus kecil, terkadang ia merasa Joshua seperti mesin penjawab otomatis yang akan berbicara selama satu jam penuh, sampai Agatha harus menutup mulut sahabatnya itu sesekali. Agatha melirik jam tangannya, masih ada tiga jadwal yang bisa membuatnya pulang larut nanti.

"Apa kau ada janji lain?" tanya Joshua saat melihat Agatha mengecek jamnya.

"Tidak ada. Aku hanya senang karena pulang larut lagi. Jadi, aku tidak perlu bertemu Gabriel atau pria tuaku."

"Agatha tak bisakah kau bersikap lebih ramah pada Ayahmu layaknya seorang anak perempuan?" keluh Joshua yang kerap kali mendengar ungkapan kasar Agatha pada Ayahnya.

"Aku sudah cukup bersikap sopan saat aku kecil, Josh. Sekarang tidak lagi." Mendengar itu, Joshua mengembuskan napasnya panjang. Percuma mendebat Agatha.

Keduanya baru saja akan melangkah keluar saat pintu elevator terbuka, namun yang mengejutkan, ada seseorang berdiri di depan mereka.

"Hello sunshine," sapa Christopher Winston dengan senyum ramah yang tertuju pada Agatha.

Joshua refleks menoleh dengan tatapan penuh tanya, karena tak akan ada siapapun apalagi seorang pria yang berani tiba-tiba menyapa Agatha seperti itu.

"Permisi, Anda menghalangi jalan," ucap Agatha tak peduli pada sapaan si pris. Ia menatap pria di hadapannya itu dengan ekspresi terganggu.

"Dingin sekali, padahal aku hanya ingin bertemu sebentar."

Joshua yang masih tidak paham situasinya kini semakin menuntut penjelasan dari Agatha melalui pandangannya, lalu dia melirik jam tangannya. "Agatha, we need to go."

"Bisakah Anda menyingkir, aku buru buru." Agatha berjalan lebih dulu menerobos pria di hadapannya. Namun, baru dua langkah lengannya ditahan oleh pria itu.

"We need to talk Miss Anderson."

"No, I don't. And I tell you Mr. Winston, jangan pernah muncul di hadapanku lagi."

Setelah mengatakannya Agatha menyentakkan lengannya, namun sepertinya Christopher Winston adalah orang yang memiliki nyali yang besar atau memiliki seribu nyawa, karena dia berani mengganggu Agatha.

Dengan tangan yang masih menahan lengan Agatha, ia mendekat, memangkas jarak diantara mereka. Hingga kini keduanya berdiri berhadapan.

Tatapan Winston begitu dalam seolah menyelami kedua manik coklat wanita di hadapannya itu, sementara Agatha balas menatap tajam pada kedua manik gelap yang seolah menghipnotis itu, tanpa sedikitpun rasa takut.

Cukup lama keduanya berada dalam posisi itu hingga Winston memutuskan untuk memundurkan sedikit tubuhnya. Tangannya masih menggenggam lengan Agatha, ia menundukkan kepalanya sedikit tepat di sebelah telinga Agatha.

"Baiklah, aku akan menurutimu kali ini, tapi jangan harap aku akan berhenti."

Tidak ada jawaban keluar dari bibir Agatha yang hanya menatap lurus ke depan seolah tak mendengar apa yang baru saja Winston muda itu katakan.

"I like it, I love your attitude Miss Anderson," dengan sebuah senyuman miring yang tipis si pria melepaskan genggamannya pada Agatha dengan lembut.

Tanpa membuang waktu, Agatha segera melangkahkan kakinya pergi. Meninggalkan Christopher Winston berdiri di sana, tersenyum penuh dengan kepuasan.

"Are you okay? Sini kulihat tanganmu," tany Joshua menghentikan langkahnya setelah agak jauh. Ia menyentuh lengan di mana Christopher Winston tadi mengenggamnya. "Sakit?" tanyanya memijit pelan.

"Tidak."

"Baguslah, itu artinya tidak memar."

Agatha terdiam selama perjalanan mereka. Dia memiikirkan bagaimana pria bernama Christopher Winston itu, memasuki hidupnya dalam dua hari ini secara terang terangan dan tidak masuk akal.

Agatha masih menahan diri untuk tidak mengeluarkan kalimat-kalimat menusuknya pada si pria mengingat status mereka dari keluarga kelas atas, yang harus menjaga martabat serta nama keluarga masing-masing. Menghela pelan, ia merasa kesal dan itu membuat Joshua yang sedari tadi fokus mengemudi kini melirik ke arahnya.

"Ada apa? Kau terganggu dengan sikap Tuan Winston?"

"Ya."

Joshua terkekeh kecil sebelum melanjutkan, "Tapi Agatha, aku cukup terkesan dengan sikapnya yang tenang padahal kau melemparkan tatapan membunuh padanya."

Agatha hanya berdecak kecil mendengar ucapan Joshua. Memang selama ini tak ada yang tahan dengannya jika sudah begitu, semua orang lebih memilih untuk tidak membantah atau menentangnya, dan memilih untuk menuruti semua perintahnya, toh selama ini semua yang dilakukannya tidak pernah menyakiti siapa pun.

"Yeah, we'll see that. Akan kupastikan dia pergi."

Mendengar jawaban Agatha yang datar membuat Joshua tersenyum, "That's My Agatha."

.
.
.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top