Chapter 8 : [Agápi's POV] Blue Spark
Kalau ada satu mainan yang paling aku suka, dia adalah Mr. Teddy. Sebuah teddy bear berwarna biru lembut yang selalu tersenyum kepadaku. Aku selalu memeluknya saat aku berada di kamar, dan kalau bisa aku akan selalu membawanya kemanapun untuk menemani petualanganku. Tapi kini dia sedang berdiri di depan sebuah rumah - rumahan dan menjaga teman - temanku yang lain.
Aku tersenyum melihat Mr. Teddy, kemudian kuambil dia dan kupeluk. Kuayunkan dia mengitari kamarku sambil tertawa. Mr. Teddy sangat menggemaskan. Dan aku menyukainya, sama seperti aku menyukai seseorang yang memberikan hadiah berharga ini untukku.
Kubawa Mr. Teddy bersamaku menuju ke lantai bawah. Disana aku bisa mencium aroma manis dari pancake yang langsung membuatku melangkah ke arah dapur. Aku bisa melihat seseorang tengah berdiri di sana, sambil menuang jus jeruk dari dalam kotak karton ke sebuah gelas. Dia tersenyum padaku, lalu aku menghampirinya, memeluknya. Dia terkekeh, lalu mencium keningku dan mengacak - acak rambutku.
"Selamat pagi, Agápi! Sudah siap untuk sarapan?" Tanyanya.
"Selamat pagi Ayah! Ya! Agápi mau sarapan! Agápi lapar!" Jawabku.
Beliau terkekeh. "Ayo duduk, supaya kita bisa mulai makan!"
Aku duduk di depan meja makan, dan memulai sarapanku. Hari ini berlangsung seperti biasanya, dimana aku nanti akan pergi ke sekolah dan bertemu dengan teman - teman. Mereka semua sangat baik padaku, dan aku sangat ingin untuk bertemu dengan mereka.
Ayah mengantarku ke sekolah, memberiku ciuman seperti biasanya sebelum aku memasuki gerbang sekolah. Beberapa teman - teman terkadang menertawakan aku karena itu, tapi apa salahnya kalau Ayah menciumku? Mungkin mereka iri karena Ayah mereka tidak mencium mereka.
Sekolah itu menyenangkan, dan bu guru sangat baik pada semua orang. Walau terkadang aku tidak paham dengan pelajaran di kelas, beliau akan selalu membantuku.
Saat aku kembali ke rumah, aku akan langsung mengerjakan PR, lalu setelah selesai aku akan bermain dengan Mr. Teddy sambil menonton televisi.
Aku tengah menonton televisi, ketika aku mendengar ada sebuah langkah kaki aneh yang mendekat. Suaranya langsung membuatku gemetar, karena aku tau apa yang akan terjadi setelahnya.
Aku memeluk lututku di sofa, Mr. Teddy ada di sebelahku. Hingga akhirnya sebuah wajah mengerikan berdiri di hadapanku. Rambutnya panjang dan berantakan, wajahnya sangat jelek, lalu dia juga bau. Tapi orang ini yang harus kupanggil Ibu.
"Rupanya kamu di sini, anak nakal ... enak ya kamu bisa nonton televisi sambil bermain seperti itu?" Katanya, sambil mengacungkan sebuah botol hijau yang memiliki bau aneh.
"Tapi ... aku sudah mengerjakan PR. Ayah bilang kalau aku sudah selesai aku boleh menonton televisi ... " sahutku.
"Begitu? Enak sekali ya? Dasar anak manja! Dan anak manja ini juga yang menghancurkan hidupku!"
"Tapi Ibu ..."
Dia tidak mendengarkanku. Selalu saja dia tidak mau mendengarkan aku. Dia kemudian meminum isi botolnya, lalu berusaha melemparnya ke arahku. Tapi lemparannya meleset, dan jatuh berdenting ke lantai keramik. Aku mendengar suara pecahan, dan membuka mataku sedikit.
Aku bisa melihat dia mengambil sebuah pecahan kaca besar, dan berteriak mengatakan kata - kata kotor yang Ayah larang untuk katakan. Dia melemparkannya ke arahku, dan aku yakin kalau pecahannya akan segera mengenaiku. Aku berteriak, aku tidak bisa lari kemanapun karena di depanku ada pecahan kaca dan dia akan menangkapku kalau aku lari.
Tapi aku tidak merasakan pedihnya goresan kaca. Melainkan aku melihat sebuah cahaya berwarna biru berkelabat di hadapanku. Dia menghalau pecahan kaca tersebut, yang membuat sebuah cairan merah berterbangan di udara. Aku bisa melihat cahaya itu melihatku sejenak, sebelum akhirnya melihat ke arah makhluk mengerikan itu.
"Jangan kau berani sakiti Agápi, wanita sialan!" Seru sebuah suara dari cahaya itu.
"Ho, anak nakal lainnya ya? Kamu tidak seharusnya berkata kotor begitu padaku." Sahut Ibu.
"Masa bodoh! Kau bukan siapa - siapa untukku! Kalau kau sampai melukai Agápi, aku tidak akan membiarkanmu lepas!"
"Bisa apa ha kamu?"
Cahaya biru kembali berkelabat, dan dia menjatuhkan Ibu ke lantai. Dia meraihku, dan aku memeluknya erat - erat. Dia membawaku ke sebuah kamar, lalu mengelus kepalaku dengan lembut.
"Tenang saja Agápi, aku tidak akan membiarkan dia melukaimu. Aku sudah janji padamu." Katanya lembut, dengan suaranya yang agak aneh.
"Tapi, dia akan datang ke sini!" Seruku.
"Aku tau. Tapi aku tidak akan membiarkan dia menggoresmu, sayang."
Terdengar suara pintu didobrak, dan seketika pintunya terbuka. Wanita mengerikan itu membawa sisa pecahan kaca yang dibalut cairan berwarna merah. Dia tertawa saat melihat kami berdua, lalu mendekat.
"Agápi, cepat sembunyi di bawah kasur!" Bisiknya.
Aku mengikuti perkataannya, kemudian aku bisa melihat sebuah pecahan kaca melayang, diikuti oleh suara jatuh yang nyaring. Kilatan biru dan merah bercampur menjadi satu di lantai, dan bayangan hitam dari si wanit mengerikan semakin mendekat.
"Tidaaaaak!!!!"
"Agápi? Agápi! Bangun Agápi!"
~~~~~
Aku bisa merasakan bahwa tubuhku diguncang, dan yang kemudian aku lihat saat aku membuka mata adalah ekspresi khawatir dari Brian yang ada di hadapanku. Bisa kurasakan napasku berpacu dan wajahku basah, ketika itulah aku sadar kalau semuanya hanya mimpi.
Ya, itu adalah sebuah mimpi. Tapi semuanya terasa nyata karena aku tau itu pernah terjadi di kehidupanku.
Bisa kurasakan air mata membasahi wajahku. Aku benar - benar ketakutan, dan yang bisa kulakukan hanyalah terisak sambil menyandarkan kepalaku ke dada Brian.
Ekspresi Brian terlihat agak melemah, dan yang kemudian dia lakukan adalah mengelus kepalaku lembut, dan mengeratkan pelukannya di punggungku. Dia berbisik dengan suara yang sangat lembut, berusaha menenangkanku dari guncangan yang aku alami.
"Sssh, that's okay, buttercup. It's only a dream, kay? It's okay, I am here." Bisik Brian.
Aku masih terisak selama beberapa saat, sebelum aku bisa mengatakan sesuatu padanya.
"But I know it is real." Bisikku.
"Itu hanya masa lalumu, sayang. Semuanya sudah berlalu, tidak ada lagi yang perlu kamu takutkan. Aku akan selalu ada di sini untukmu, Agápi. Aku sudah janji, kan?"
Brian mengelus kepalaku lembut, dan mendaratkan sebuah kecupan di kening. Aku mendongak, dan Brian memberiku sebuah senyuman lembut. Dia menyeka air mata yang tersisa di wajahku, dan aku menatap matanya. Irisnya yang biru lembut membantuku untuk tenang secara misterius. Mengingatkanku akan cahaya pelindungku.
"Ma - maafkan aku, Brian. Tadi ... aku mimpi buruk."
Brian mengangguk. "Aku tau, dan aku mengerti. Kamu tidak apa kan?"
"Aku tidak apa. Hanya ... sedikit ketakutan."
"Tenang saja, aku ada di sini, Agápi."
Tanganku bergerak menuju ke punggung Brian, memeluknya erat. Kuhirup aroma tubuhnya yang menenangkan, yang membuatku terdiam selama beberapa saat. Barulah saat itu aku ingat kenapa aku bisa mengalami mimpi buruk. Tadi malam aku ketakutan karena mengingat beberapa kejadian mengerikan di masa laluku. Kemudian aku tertidur sebelum Brian pulang.
"Brian ..." Kataku, lalu mendongak ke arahnya.
"Ya, ada apa, Agápi?" Tanya Brian.
"Boleh aku tidur bersamamu? Aku takut ..."
Brian terkekeh. "Tentu saja. Kamu hanya perlu minta. Ayo, kita ke kamarku saja."
Aku mengangguk, kemudian kusambut tangan Brian yang menggiringku menuju ke kamarnya. Kami berbaring di kasur, dan dia mengelus kepalaku lembut. Aku tidak mengerti kenapa, tapi Brian suka sekali melakukannya. Itu juga selalu bisa membantuku agar jadi lebih tenang. Tapi yang paling menenangkan diantara semua itu adalah ketika aku menatap mata Brian. Seolah tatapannya adalah obat paling ampuh bagi semua ketakutan dan kesedihanku.
"Tidurlah, Agápi." Kata Brian.
"Maukah kamu memelukku? Aku ... pelukanmu selalu membuatku merasa aman." Ujarku.
"Of course. Anything for you, buttercup."
Brian memelukku erat, dan aku menyandarkan kepalaku di dadanya. Perlahan, mataku terasa berat, dan yang aku ketahui kemudian aku kembali terlelap, dengan detak jantung Brian berada di sisiku, memberikan sebuah nyanyian sebelum tidur yang lembut.
~~~~~
Sepasang tangan hangat menggenggam kedua tanganku. Tangannya menenangkanku, walau perasaanku tetap saja tidak karuan setelah mendengar apa yang dikatakannya.
"Kamu tau kan kalau aku menyanyangimu, Agápi?"
"Ya, aku tau. Tapi aku takut sendirian. Ibu nanti akan melukaiku!"
"Tenang saja, ada paman dan bibi yang akan melindungimu. Aku takkan pergi lama. Aku janji akan kembali padamu."
"Tapi kalau Ibu mengambilku?"
"Aku akan lakukan apa saja agar kau bisa kembali padaku. Aku janji."
"Kamu serius?"
"Ya."
~~~~~
Aku terbangun, dan bisa kurasakan pipiku memerah. Kenapa aku bermimpi lagi? Tapi ini bukan mimpi buruk. Yang ini adalah sebuah mimpi indah. Karena saat itu aku ...
Kugelengkan kepalaku, dan kusadari kalau Brian tidak ada di sebelahku. Kurenggangkan tubuhku, dan setelah aku duduk, bisa kulihat bahwa pintu jendela terbuka, serta ada beberapa suara dari lantai bawah. Brian pasti sedang membuat sarapan.
Membayangkan apa yang terjadi membuatku tersenyum. Langsung saja aku melangkah keluar kamar, dan menuju ke dapur. Disana bisa kulihat bahwa Brian tengah fokus di depan sebuah penggorengan, dan bisa kulihat rambutnya yang kecoklatan berantakan sehabis bangun tidur.
"Oh Agápi, kamu sudah bangun?" Kata Brian, lalu menoleh ke arahku.
Aku agak terkejut karena dia menyadari kehadiranku. Sementara itu Brian tersenyum ke arahku, dengan sebuah spatula di tangannya.
"Bagaimana kamu bisa tau kalau aku ada di sini? Aku padahal sudah melangkah diam - diam!" Ujarku.
Brian terkekeh. "Sekedar memberi tau saja, sebagai agen aku dilatih untuk mengetahui posisi lawan. Termasuk merasakan kehadiran mereka. Jadi ... mau sepelan apapun kamu melangkah, kalau aku masih bisa merasakan kehadiranmu, ya percuma. Selain itu tadi aku juga mendengar suara derak pintu dibuka. Siapa lagi kalau bukan kamu?"
Aku duduk di kursi yang ada di depan meja makan, lalu terkekeh. "Aku lupa soal itu. Jadi, mau kubantu?"
"Tidak usah, aku sudah selesai kok. Aku sedang ingin makan pancake hari ini."
Aku mengangguk, kemudian dia menyajikan sepiring pancake di hadapanku. Kami makan dengan tenang, hingga akhirnya kami selesai. Aku memutuskan untuk menceritakan mimpiku semalam pada Brian.
"Kamu ingin tau apa yang terjadi di mimpiku semalam?" Tanyaku.
"Aku sih tidak memaksa, kalau kamu masih tidak mau menceritakannya. Tapi kalau kamu mau cerita, silahkan saja." Sahut Brian.
Aku tersenyum. Brian selalu sangat pengertian padaku, bahkan sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Mungkin karena itu aku bisa percaya padanya. Terutama karena matanya yang meneduhkan itu. Jadi, aku menceritakan semuanya pada Brian, dan dia mendengarkannya dengan seksama. Setelah selesai, Brian melangkah ke arahku, kemudian memberiku sebuah pelukan hangat.
"Tenang saja, Agápi. Semua itu hanya masa lalu. Aku yakin kalau ibumu tidak akan pernah melukaimu lagi. Dan kalau memang dia melakukannya, dia harus melangkahiku dulu." Bisik Brian, sambil mengelus kepalaku.
"Terima kasih, Brian. Maaf kalau itu tidak bisa mengatakan secara pasti siapa aku sebenarnya." Sahutku.
"Tidak masalah. Aku dan teman - temanku juga berusaha untuk mencari tau tentang itu. Nah, karena hari ini kita ada janji dengan Sherina, lebih baik kita segera bersiap."
Aku mengangguk. Hari ini aku ada janji sesi terapi dengan Dr. Sherina. Beliau sangat baik dan menyenangkan. Aku bisa ceritakan semua hal yang kuingat atau aku tau tanpa khawatir. Kurasa aku juga harus menceritakan tentang mimpi itu padanya.
Walau aku masih agak penasaran, sebenarnya apa atau siapakah cahaya biru itu? Dan kenapa dia melindungiku seperti itu?
~~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top