Chapter 4 : Her Little Giggle

Setelah berdiskusi, kami mampir ke sebuah rumah makan. Kami memesan makanan, kemudian selama menunggu, bisa kulihat bahwa Agápi menatapku dengan serius. Ekspresinya itu jelas membuatku bertanya. Kukerutkan alisku, lalu balas menatapnya.

"Ada apa? Kenapa kamu memandangku seperti itu?" tanyaku, agak heran karena dia terdiam selama beberapa saat.

" ... Tidak, aku hanya berpikir saja. Aku masih tidak mengerti kenapa kamu membawaku bersamamu, dan apa keuntungannya untukmu," ujar Agápi.

"Hm, pertanyaan bagus. Dan kamu memang berhak menanyakannya. Alasan pertama kenapa aku membawamu adalah, karena kamu ada dalam keadaan tidak sadarkan diri dan juga terluka. Jadi kurasa membiarkanmu bangun di dalam ruangan sempit dan gelap tempat biasanya kami menahan saksi justru malah membuatmu makin panik."

"Kamu kira aku tidak panik saat melihat ada seorang pria berbaring di sebelahku di sebuah kamar asing?"

Aku terkekeh, "setidaknya ada seseorang yang bisa menjelaskannya padamu apa yang terjadi. Aku sudah sering lihat beberapa saksi yang mengalami trauma langsung panik ketika bangun di dalam ruangan tempat dia berada."

"Lalu, apa keuntungannya aku ada bersamamu? Tuan Myers bisa saja membahayakanmu karena aku bersamamu. Dia tidak suka kalau aku dekat - dekat orang asing."

"Aku masih tidak tau kenapa aku membawamu. Alasan utamaku karena kamu terluka. Itu saja. Tapi mungkin nanti kamu bisa membantuku, siapa tau?"

"Bagaimana caranya aku membantumu, kalau aku saja tidak pernah tau apa yang sebenarnya Tuan Myers lakukan?"

Aku menggaruk kepalaku, "entahlah. Kalau kamu sudah lebih baik, siapa tau kamu bisa mengatakan sesuatu yang penting untuk penyelidikanku."

"Mungkin ... lalu, kamu sendiri? Apa yang sebenarnya kamu selidiki?"

Aku melirik sekitarku, memastikan tidak ada orang iseng yang sedang menguping pembicaraan kami. Setelah yakin kalau keadaannya aman, akupun memberi tahu apa yang sebenarnya aku lakukan.

"Aku sedang berfokus pada Myers. Jadi, kamu tau apa itu bisnis penjualan manusia?" Tanyaku.

Agápi mengangguk. Bisa kulihat kalau dia sedikit bergeser dari tempat duduknya dengan cara yang menunjukkan bahwa dia tidak nyaman. Kurasa topik ini agak sensitif untuknya, yang bisa jadi dia pernah berada dalan lubang hitam itu.

"... Budak ... prostitusi ... dan semacamnya ... " kata Agápi, agak pelan.

Aku mengangguk, "ya. Jadi, ditempatku kerja, aku diminta untuk menyelidiki tentang itu. Khususnya yang ada di kota Inkuria. Dan jejaknya membawaku ke Ascott Myers. Aku mencari tau tentang siapa dia dan bagaimana keterlibatannya dalam bisnis itu. Rupanya Myers merupakan pempimpin dari sindikat itu. Jadi, setelah beberapa kali pengejaran, akhirnya kami memutuskan untuk melakukan penyergapan. Kami tidak berharap untuk mendapatkannya, tapi setidaknya kami ingin mendapat beberapa petunjuk baru dari kediamannya."

"Baiklah ... aku mengerti. Aku akan senang kalau bisa membantumu. Tapi aku masih tidak yakin kalau Tuan Myers sejahat itu, dan aku benar - benar tidak tau apapun yang bisa jadi penting."

Aku tersenyum. Dari seberang meja, kuraih tanganku, dan kuelus kepalanya lembut dengan tangan kananku. Agápi memejamkan matanya, sebelum akhirnya aku menjauhkan tanganku.

"Tidak apa, aku tidak akan memaksamu. Dan aku tidak akan membiarkan orang lain memaksamu. Aku akan biarkan kamu ingat semuanya dengan perlahan. Kalau kamu ingat sesuatu, kamu bisa bilang padaku."

"Baiklah. Beri aku waktu agar aku bisa percaya padamu. Lalu aku akan katakan beberapa hal lain yang ada di kepalaku, atau mungkin sesuatu yang bisa kuingat."

"Tapi sepertinya kamu sudah bisa memercayaiku dengan cukup cepat."

"... Aku tidak tau kenapa. Ada sesuatu dari dirimu yang tidak bisa aku jelaskan. Tapi hal itu entah kenapa membuatku merasa ... nyaman?"

"Begitu? Setidaknya aku tidak membuatmu takut, kurasa itu hal yang bagus."

"Boleh aku menanyakan tentang dirimu? Aku ingin tau beberapa hal tentangmu, terutama karena aku sepertinya aku akan bersamamu dalam waktu yang cukup lama."

"Boleh saja. Apa yang ingin kamu tanyakan?"

"... Dari mana kamu berasal, dan kenapa kamu bisa berada di Inkuria?"

"Kurasa aku sudah mengatakannya padamu kalau aku berasal dari Irlandia? Jadi ... ketika aku lulus SD, orang tuaku satu - satunya, yaitu ayahku, beliau meninggal karena penyakitnya. Beliau memberiku wasiat agar aku meneruskan pendidikanku di Chicago, karena beliau punya seorang teman di sana yang merupakan salah satu pengurus dari sekolah agen dimana aku berada, Sandford Academy. Jadi ... aku belajar bagaimana caranya jadi agen di sana. Aku sempat kembali ke Dublin sebentar, untuk mengunjungi beberapa keluarga yang aku miliki.  Tapi aku memutuskan untuk pergi ke Inkuria karena salah seorang mentorku membuat sebuah agen penyidikan swasta di sini, jadi aku ingin membantunya. Karena itulah aku berada di sini."

"Jadi, kamu langsung bekerja setelah selesai sekolah?"

"Tidak juga. Aku sempat kuliah di sini, karena aku berhasil mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar. Aku bisa dibilang magang pada mentorku. Tapi beberapa bulan lagi aku akan lulus kuliah dan sekarang ... ya, aku bekerja sebagai agen."

Agápi mengangguk. "Lalu, apa yang kamu lakukan di waktu luang?"

"Hmm ... saku sering pergi bersama teman - temanku, tapi kini mereka sudah mulai ada yang bekerja, jadi aku sudah jarang melakukannya. Selain itu aku juga sering bermain game. Mungkin hanya itu, karena aku tidak punya hobi lainnya."

"Apa kamu merasa kesepian? Kamu pasti sering kali sendirian tanpa siapapun kan?"

Aku tersenyum, "terkadang. Tapi sepertinya sekarang tidak lagi karena kamu akan ada di dekatku."

Agápi juga ikut tersenyum, "selama kamu juga tidak akan membiarkaku merasa kesepian, maka aku juga akan membuatmu tidak kesepian."

Aku terdiam sejenak. Dia mengulas sebuah senyum, yang terlihat manis. Bukan sebuah senyum lebar yang memanjang dari telinga kanan ke telinga kiri, atau senyuman yang dipaksakan. Tapi sebuah senyuman yang tulus. Senyumannya memberikan semilir lembut di hatiku, seperti hujan ringan di tengah musim kemarau.

"Andai saja aku bisa memberi tau kamu tentang diriku sendiri. Tapi ... aku tidak begitu ingat apapun tentang masa kecilku," kata Agápi.

"Tidak masalah. Nanti kamu akan ingat beberapa kok. Santai saja, jangan paksakan dirimu untuk mengingatnya."

"Baiklah. Aku akan ceritakan kalau aku ingat nanti."

"Aku akan siap mendengarkannya kapanpun. Ayo, kalau sudah selesai, kita langsung saja pergi sekarang."

Agápi mengangguk. Setelah kami selesai makan, kami langsung saja pergi. Aku membawanya untuk membeli beberapa pakaian. Melihatnya memilih tumpukan pakaian dan mencoba beberapa diantaranya membuatnya terlihat serius, tapi di saat yang sama juga menggemaskan.

Setelah selesai berbelanja, kami melewati sebuah toko buku. Agápi terdiam sejenak di depannya, dan melihat ekspresinya yang dipenuhi rasa penasaran, langsung saja aku menarik tangannya untuk masuk ke dalam.

"Kamu tertarik pada buku?" Tanyaku, setelah masuk ke dalam toko.

"Aku ingat pernah berada di sebuah perpustakaan. Mungkin saat masih kecil aku sering menghabiskan waktu di sana? Entahlah, aroma buku itu terasa menenangkan untukku," jawab Agápi.

"Kalau begitu kamu bisa pilih beberapa yang kamu suka. Siapa tau nalurimu mengatakan sesuatu padamu."

Agápi mengitari rak - rak buku yang ada di sana. Setelah menemukan beberapa buku yang dia suka, akhirnya dia menuju ke bagian alat tulis. Dia melihat - lihat beberapa pulpen dan buku catatan. Aku berdiri di belakangnya, tersenyum.

"Aku dengar menulis adalah terapi yang bagus. Mungkin kamu bisa coba?" Kataku.

"Huh? Apa yang harus aku tulis?" Tanya Agápi.

"Kamu bisa mulai dari apa yang kamu rasakan, atau pikirkan. Kegiatan sehari - hari juga bisa. Kamu kan belum bisa memercayaiku sepenuhnya, menulis bisa jadi media yang bagus. Tenang saja, aku tidak akan menyentuh catatanmu."

"Maksudmu seperti buku harian?"

"Ya, seperti itu."

"Baiklah, aku akan coba."

Setelah selesai dengan buku, kami memutuskan untuk pulang. Tapi di tengah perjalanan, kami melewati taman kota. Di sana ada keramaian, dan seketika aku teringat akan sesuatu.

"Oh iya! Kan sekarang ada festival akhir tahun di taman kota. Dan katanya hari ini akan ada pawai," Ujarku, melirik ke lautan manusia di taman kota.

"Festival?" Tanya Agápi.

"Kamu ingin tau? Kalau begitu, lebih baik kamu lihat saja langsung."

Aku memarkir mobilku di lahan parkir dekat taman kota, lalu kami berjalan ke arah keramaian itu. Bisa kurasakan kalau tangan Agápi menyentuh lembut tanganku, sentuhannya itu membuatku tersenyum.

"Ramai sekali ... aku jarang berada di tengah keramaian seperti ini," ujar Agápi.

"Kamu boleh gandeng aku, kalau itu bisa membuatmu merasa lebih nyaman," sahutku.

Tanpa disuruh dua kali, dia langsung menggengggam tanganku, menjalin jari - jari kecilnya di antara jari - jariku. Senyumku semakin lebar karenanya.

"Terima kasih."

Aku mengelus kepalanya lembut, dan kami menyaksikan pawai yang berlangsung di sana. Agápi terlihat sangat senang saat melihatnya. Dia mengamati setiap orang yang lewat dengan kostum - kostum mereka yang spektakuler, dan sekekali menampilkan ekspresi terpana ketika melihat beberapa hal yang menakjubkan untuknya. Dia tidak melepaskan genggaman tangannya dariku, dan kurasa itu adalah hal yang bagus.

Beberapa badut lewat dengan dandanan mereka yang khas. Mereka menyapa para pengunjung yang menyaksikan pawai. Dua diantaranya menghampiri kami. Mereka menyapa kami berdua, dan bisa kulihat Agápi terlihat malu - malu karenanya. Aku hanya bisa terkekeh saat melihat Agápi menyaksikan mereka menampilkan beberapa trik sulap yang mereka bisa. Salah satu dari mereka memunculkan sekuntum mawar putih, yang membuat Agápi terkesima karenanya. Si badut memberikannya pada Agápi, dan dia menerimanya lalu berterima kasih.

Agápi tertawa saat dia melihat badut tadi melambai dengan ekspresi mereka yang lucu. Sementara itu, aku hanya bisa mengagumi bagaimana caranya tertawa. Dia benar - benar terlihat sangat bahagia. Rasanya sulit memercayai kalau kurang dari 24 jam lalu dia berada dalam keadaanya yang tidak baik.

Tawanya seolah menggema di telingaku. Dan suara itu membuat dadaku terasa hangat. Pikiranku seakan dibawa ke sebuah tempat yang sangat indah. Tempat yang sangat aku rindukan.

"Lihat ini Brian! Mawar ini cantik sekali!" Kata Agápi, sambil memperlihatkan mawar putih yang ada di tangannya.

"Tapi kamu lebih cantik lagi, Agápi," sahutku, lalu mengelus kepalanya.

Bisa kulihat pipinya bersemu merah, "t - terima kasih."

Kami menikmati festivalnya lebih lama lagi, dan menyaksikan beberapa pertunjukkan yang ada. Setelah hari mulai agak larut, kami memutuskan untuk pergi makan malam dan pulang. Sesampainya di rumah, kami berdua sama - sama lelah, dan langsung saja memutuskan untuk pergi tidur.

"Ah, maafkan aku, Agápi, sepertinya kita harus berbagi kasur untuk sementara. Mungkin nanti aku bisa berikan sebuah kamar untukmu? Masih ada sebuah ruangan kosong di rumah ini," ujarku, saat melihatnya sudah berbaring di kasur.

"Seperti ini juga tidak apa - apa. Aku yakin kamu tidak akan melakukan apapun padaku," sahut Agápi.

"Yah, aku tidak akan mencobanya, tapi siapa tau? Sudahlah, aku mengantuk. Kamu juga sebaiknya tidur, Agápi."

Aku mematikan lampu kamar, kemudian berbaring di sebelah Agápi. Kuelus kepalanya, dan dia balas mengelus lenganku.

"Terima kasih, Brian. Aku tidak tau kapan terakhir kali aku merasa sesenang ini, tapi aku sangat menikmati semua yang terjadi hari ini."

"Sama - sama, Agápi. Sekarang, kamu lebih baik tidur."

Dia mengangguk, kemudian memejamkan matanya. Aku tersenyum, memandangi wajahnya yang tenang.

"Aku janji akan membuatmu lebih baik, Agápi." Bisikku, lalu aku memejamkan mataku.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top