Chapter 2 : In The Morning
Setelah melintasi keheningan malam, akhirnya aku sampai di depan sebuah rumah. Tempatnya terlihat sederhana saja, tapi melihatnya membuatku nyaman. Mungkin tidak seindah rumah dimana aku tinggal saat masih kecil di Irlandia, tapi rumah inilah tempatku pulang, selama berada di negeri orang ini.
Kubuka pintu rumah terlebih dahulu, kemudian baru kubawa si perempuan ke dalam. Kuletakkan dia di atas kasurku, lalu aku bergegas mengambil kotak P3K di dapur, beserta dengan semangkuk air dan kain. Dengan perlahan, kulepaskan pakaiannya, dan kubersihkan luka yang ada di sekujur tubuhnya.
Setelah kuhitung, ada sebelas luka di tubuhnya, belum lagi sekujur tubuhnya yang memar. Dia mungkin sedang tidak sadarkan diri, tapi aku tetap berusaha selembut mungkin agar dia tidak kesakitan, kalau - kalau dia bangun karenanya. Tapi selama aku mengobati lukanya, dia terlihat tidur dengan sangat nyenyak. Apakah dia diberi obat tertentu sehingga dia tidak sadarkan seperti ini? Bisa jadi, dan aku tidak akan tau kecuali kalau dia memberi tau nantinya.
Kubalut lukanya dengan perban, dan kupinjami dia pakaian yang aku punya. Kelihatan agak kebesaran untuknya, tapi melihatnya seperti itu membuatku tersenyum. Dia terlihat sangat menggemaskan, sungguh. Mengingat apa yang kulihat saat pertama kali melihatnya membuatku merasa kesal. Kalau saja aku berhasil menangkap penjahat itu, aku akan pastikan dia dapat ganjarannya.
Kedengarannya sangat emosional ya? Tapi memang terkadang aku seperti itu. Mungkin karena disini ada seorang perempuan yang jadi korban. Teman - temanku selalu bilang kalau aku adalah sosok gentleman. Walau aku memang selalu berusaha memperlakukan wanita dengan baik, dan sering kali berakhir dengan suatu situasi yang dinamakan masyarakat sekitar sebagai baper atau bawa perasaan bagi si wanita.
Mereka belum tau saja kenapa. Aku punya alasan kenapa aku selalu memperlakukan perempuan dengan cara yang seperti itu.
Kini aku duduk di tepi ranjang. Kuusap kepalanya, dan kuamati sekali lagi wajah tidurnya yang damai. Kalau saja Rila ada di sini, dia pasti akan menertawakanku. Kondisi ini terlihat seperti diambil langsung dari novel roman paling pasaran yang bisa dia temukan di toko buku, dan dia tau kalau aku bukan tipe orang yang suka melakukan hal seperti itu. Terkadang aku bisa jadi romantis, tapi jarang sekali, atau mungkin saat itu aku sedang bercanda.
Kulirik jam yang menempel di dinding kamarku. Sudah jam tiga dini hari. Lebih baik aku tidur, aku juga butuh istirahat.
Kasurku cukup besar untuk menampung kami berdua. Jadi langsung saja aku berbaring di sisi yang kosong setelah kumatikan lampu kamarku. Aku tersenyum, memandang wanita yang ada di hadapanku. Kupejamkan mataku, berusaha untuk tidur.
Ketika aku sudah hampir tertidur, aku bisa merasakan sebuah tangan lembut mendekap lenganku. Aku refleks mendekat, dan membawanya dalam pelukanku. Kulingkarkan tanganku di pinggangnya, dan dia menyandarkan kepalanya di dadaku. Aku terkekeh kecil.
"Here you go, buttercup. You're save with me."
~~~~~
Kurasa aku baru saja memejamkan mataku sebentar, tapi rupanya pagi datang dengan cepat. Sinar matahari mengintip dari jendela kamarku, membuatku refleks menutupi wajah dengan lenganku. Mataku terbuka sedikit, dan di depanku terlihat seorang perempuan tengah melirik kesana - kemari dengan tatapan bingung.
"Hmm ... good morning." kataku, lalu tersenyum.
Si perempuan agak terkejut atas perkataanku, lalu dia melirik ke arahku. Dia terlihat sangat kebingungan. Yah, bagaimana dia tidak bingung, kan bisa dibilang kalau aku membawanya kabur dari "rumah"nya saat dia tidak sadarkan diri. Setidaknya dia cuma kebingungan, bukannya menamparku karena emosi setelah aku mengucapkan selamat pagi karena secara garis besar aku sudah menculiknya.
"Dimana ini? Kamu siapa? Dimana Tuan Myers?" tanya si perempuan, dengan nada suara yang selembut kapas.
Aku tidak langsung menjawab, melainkan tersenyum padanya. Dia benar - benar sangat manis, sungguh. Kini aku bisa melihat irisnya yang berwarna seperti kacang hazel, dan rambut cokelatnya diterpa sinar matahari pagi. Aku mengerti kenapa dia bisa berada di tangan seorang pria bejat yang kukejar, tapi aku tidak mengerti kenapa wanita ini bisa bertahan di sana.
"Hm, satu - satu dong. Aku baru saja bangun tidur, sementara itu kamu sudah mencecarku seperti itu." sahutku.
"Maaf, tapi aku harus segera kembali pada tuanku. Dia akan marah kalau tau bahwa aku tidak berada di rumah, apalagi kalau aku bersama lelaki lain seperti ini."
Aku mengerutkan alisku. Apa hubungannya si bangsat Myers itu dengan perempuan manis ini? Dari tempat dimana aku menemukan perempuan ini, aku sudah bisa menebak sedikit hubungan mereka, tapi kenapa dia sangat khawatir karena tidak bersama tuannya? Apa jangan - jangan ....
"Memang ada apa kamu dengan Mr. Myers? Dia siapanya kamu?"
"Dia adalah tuanku! Dia adalah penyelamatku! Dia telah mengeluarkanku dari neraka tempatku tinggal, dimana tidak ada seorangpun yang mencintaiku. Dia satu - satunya orang yang mencintaiku, dan aku juga mencintainya."
Pernyataannya tadi membuatku semakin bingung. Apa - apaan itu? Dari apa yang aku dengar, sepertinya aku telah terlibat satu masalah yang lebih besar daripada apa yang aku duga.
"Kamu serius? Aku menemukanmu dalam keadaan berdarah dan sebuah cambuk kuda di sebelahmu loh. Belum lagi aku tau kalau Mr. Myers itu adalah seorang penjahat."
"Dia tidak jahat! Dia hanya perlu seseorang yang bisa mengerti dia. Mungkin dia sedikit emosional, seperti kemarin ... aku keluar rumah tanpa izin padanya, jadi dia menghukumku. Dia hanya perlu seseorang yang mau mengerti dan sayang padanya. Dia orang yang baik, dia telah merawatku selama dua tahun belakangan."
Apa yang dia katakan membuatku ingin mengeluarkan semua sumpah serapah ala orang Irlandia yang terpendam dalam diriku. Tapi otakku yang baru bangkit dari mode tidurnya kini mulai bekerja dan aku sudah bisa mengerti akan perkataannya tadi. Jadi sepertinya, aku tidak perlu banyak tanya soal hubungannya dengan Myers lagi. Nanti aku akan tau sendiri apa yang sebenarnya terjadi, tidak baik kalau aku memaksanya.
"Oke, jadi Mr. Myers adalah tuanmu. Aku mengerti sekarang."
"Bisakah aku kembali padanya sekarang? Dia pasti mengkhawatirkan aku. Dan kau temannya tuan, atau apa?"
Aku menggaruk kepalaku, bingung untuk menjelaskan bagaimana situasinya. Akhirnya, kuputuskan untuk jujur saja. Daripada dia marah karena kubohongi, mending sekarang aku jujur saja, walau bisa jadi nanti dia memberiku sebuah sarapan berupa tamparan keras di wajahku.
"Eh, jadi kurasa kamu sudah tau kalau Mr. Myers berhubungan dengan penjahat kan? Nah, kalau kamu mau tau apa yang terjadi tadi malam, aku menyelinap ke dalam kediamannya. Aku berusaha untuk menangkapnya, tapi dia melarikan diri. Jadi ... aku dan timku memutuskan untuk melanjutkan pengejaran di lain hari. Kami mengamankan beberapa pelayan untuk dimintai kesaksian, kemudian aku berkeliling rumah untuk memeriksa keadaan. Kemudian kutemukan kamu dalam keadaan terluka. Jadi, karena aku rasa kamu tidak akan suka kalau berada di rumah sakit, jadi aku membawamu ke rumahku. Dan, disinilah kita."
"Kemana tuan pergi? Dia melarikan diri?"
"Aku tidak tau dia kemana. Tim sedang mencari dia, tapi sepertinya masih belum ada hasil."
"Jadi ... aku harus tinggal di sini?"
"Kamu bisa saja diamankan di tempat lain. Tapi aku tidak yakin itu akan aman. Jadi, ya lebih baik kamu di sini saja."
"Bisakah aku kembali pada Tuan Myers setelah dia ditemukan?"
"Eh, aku tidak bisa janji. Dia penjahat loh, kenapa kamu sangat ingin kembali padanya?"
"Dia tidak jahat! Dia baik padaku, dan sudah menyelamatkanku! Hanya aku yang bisa mengerti dia, dan kalau aku kembali padanya, semuanya akan baik - baik saja."
Aku menghela napas, "Aku tidak yakin kalau kamu bisa kembali padanya. Dia penjahat, kamu tidak tau apa yang dia telah lakukan. Lebih baik kalau kamu tinggal di sini."
"Tidak! Dia bukan penjahat!"
Tanpa kuduga, dia berusaha untuk mendorongku dari kasur. Untungnya aku sempat menahannya, kemudian kutarik tangannya sehingga dia jatuh ke kasur. Kini dia ada di sebelahku, dan aku mengelus kepalanya.
"Kamu keras kepala ya? Oke, terserah apapun perkataanmu, tapi aku tetap pada pendapatku. Toh kamu tidak akan bisa pergi kemana - mana."
Kami berdua terdiam, dan dia menatapku selama beberapa saat. Aku mengamati mata hazelnya yang kini menatap iris biru milikku. Bisa kurasakan genggamannya mengendur, dan dia fokus padaku selama beberapa saat. Aku terkekeh, dan memberinya sebuah senyuman. Dia tidak membalas senyumku, tapi aku bisa melihat pancaran cahaya dari matanya.
"Siapa ... namamu?" tanyanya.
Aku terkekeh sekali lagi. Dia benar juga. Kami sudah berdebat selama beberapa saat, tapi kami belum berkenalan. Kenapa aku bisa lupa?
"Namaku Brian Shea. What's yours, buttercup?" tanyaku.
"Aku ... Agápi Patterson."
"Agápi? Nama yang bagus."
Dia kembali terdiam selama beberapa saat. Dia memandangku dengan ekspresi serius. Aku tidak tau kenapa, tapi dia terlihat seperti sedang menyusun kepingan teka - teki jadi satu. Dan itu agak membingungkan.
"Ada apa Agápi? Kamu melamun?" Tanyaku.
"T - tidak, aku tidak apa. Aksenmu agak asing bagiku."
"Begitu? Aku berasal dari Irlandia, kalau kamu penasaran."
"Kamu ... tidak ingin bertanya tentangku?"
"Kurasa kamu masih belum bisa percaya padaku, terutama setelah mendengar apa yang kukatakan tentang tuanmu. Jadi buat apa aku bertanya kalau kamu tidak akan menjawabnya? Tapi dari tebakanku, kamu memiliki darah Yunani, terlihat dari namamu."
"Kamu benar."
Aku tersenyum. Sekali lagi aku mengelus kepalanya, dan dia terlihat menyukainya. Hal itu membuatku tersenyum.
"Kamu ... tadi malam ... tidak menyentuhku kan?" Tanya Agápi.
"Menyentuhmu yang bagaimana dulu?" Tanyaku, berusaha bercanda meski sedikit tidak pada tempatnya.
Dia terperangah, kemudian sedikit bergeser dariku, "Tidak! Jangan bilang kamu ...."
Aku tertawa karenanya, "Tidak, tidak. Aku bercanda. Aku tidak menyentuhmu tubuhmu, kalau itu yang kamu maksud. Kamu sedang terluka, dan aku tidak akan melakukan hal yang seperti itu. Tapi kalau aku menyentuhmu saat aku mengobati lukamu, nah, itu baru benar. Dan cuma itu."
Dia kembali rileks, "Baiklah ... aku percaya."
"Kau yakin? Bisa saja aku bohong loh. Kamu tidak seharusnya bisa percaya pada orang lain semudah itu," Sahutku, berusaha mempermainkannya.
"Kurasa kamu tadi berkata jujur padaku."
"Hm, baiklah."
Keadaannya kembali hening, dan dia menatap wajahku selama beberapa saat. Matanya memandangku dengan penuh rasa penasaran, dan penuh keluguan. Hal itu membuatku tersenyum. Perlahan, dia meraih rambutku, dan memainkan helaian rambutku yang sewarna dengan pasir pantai di tangannya. Aku memejamkan mata, menikmati sentuhannya.
Ketika aku membuka mataku, aku melihat pemandangan yang paling indah. Dia tersenyum kepadaku, sambil memainkan rambutku. Dia terlihat sangat bahagia. Sangat manis, sampai aku harus menahan diriku sendiri.
"Ada apa, Agápi? Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Tanyaku, lalu terkekeh.
"Aku ... tidak apa ... hanya saja aku ... aku tidak tau." Jawabnya.
"Tidak apa. Aku mengerti," Sahutku, lalu menggenggam tangan kirinya yang tengah diam.
"Rambutmu mengingatkanku akan pantai ... dan sesuatu yang aku tidak tau apa itu."
Perlahan, tangan kirinya menyentuh daguku, menyentuh jenggot yang mulai tumbuh memanjang. Aku harus ingat untuk bercukur nanti, karena jenggotku sudah agak panjang dari seharusnya.
"Tuan tidak pernah membolehkanku untuk menyentuh wajahnya," Ujar Agápi, lalu mengusap bagian belakang kepalaku.
"Dan aku bukan dia. Kamu boleh pegang wajahku kapan saja kamu mau. Tidak masalah bagiku," Sahutku.
Aku melirik ke arah jam dinding. Jarumnya sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat. Sebaiknya sekarang aku beranjak dari kasur.
"Hm, harinya sudah agak siang. Bagaimana kalau kamu pergi mandi, lalu aku akan buatkan kamu sarapan, karena aku berencana untuk mengajakmu pergi ke dokter hari ini," Ujarku.
"Dokter? Kenapa? Aku rasa aku tidak perlu ke dokter, aku baik - baik saja," Sahut Agápi.
"Aku tau, tapi aku perlu untuk memastikannya. Kita akan pergi menemui dua temanku, satu adalah seorang dokter, satunya lagi psikolog. Setelah itu, kita bisa pergi untuk mencari beberapa pakaian untukmu, karena aku tidak punya pakaian yang bisa kamu pakai."
"Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Dimana kamar mandinya?"
"Tepat di seberang kamar ini. Di lemari yang ada di sebelah kananmu, kamu bisa ambil handuk dan sikat gigi, lalu pakaianmu yang kemarin kamu pakai kotor karena darah, jadi aku mencucinya, dan kamu bisa menemukannya di dalam mesin cuci."
Dia tersenyum, kemudian mengangguk. "Baiklah, terima kasih, Brian."
Aku tersenyum saat dia memanggil namaku. Kuelus sekali lagi kepalanya sebelum akhirnya dia beranjak dari sisiku. Langsung saja dia berdiri, dan pergi ke kamar mandi. Aku merenggangkan tubuhku, lalu mengambil ponselku yang ada di atas meja. Bisa kulihat ada banyak pesan dan telepon masuk. Semuanya dari orang yang sama, sahabatku David. Langsung saja aku menelponnya untuk menanggapi pesannya.
"Brian! Aku sudah baca semua pesanmu itu. Dan satu hal yang ingin aku tanyakan, jadi itu serius?!" Tanya David.
"Iya lah. Ngapain aku bercanda?" Jawabku, lalu terkekeh.
"Tapi ... kamu yakin kalau itu benar?! Bagaimana bisa?!"
"Aku masih tidak tau bagaimana, kawan. Tapi ... ada satu masalah. Kalau tebakanku benar, maka itu sudah keterlaluan."
"Lalu, apa dugaanmu?"
"Aku akan ceritakan nanti. Aku harus mandi sekarang, dan kalau keadaannya sudah jelas, kamu akan tau semuanya."
"Baiklah Brian ... apapun itu, kuharap semuanya baik - baik saja."
"Kuharap juga begitu."
Setelah selesai bicara dengan David, aku memutuskan untuk pergi mandi di kamar mandi yang ada di kamarku. Setelah aku selesai dan siap, langsung saja aku pergi ke dapur untuk mencari sesuatu untuk sarapan. Tak lama kemudian, aku bisa mendengar suara langkah kaki mendekat. Saat menoleh, aku bisa melihat Agápi mengenakan sebuah kaus berlengan panjang dan sepasang celana jeans seperti yang aku ambil kemarin di ruangan tempat aku menemukannya.
Dia mendekat ke arahku, dan bisa kulihat wajahnya bersemu merah. Ya Tuhan, berapa kali aku harus bilang kalau dia ini cantik?
"Jadi, kamu ingin apa untuk sarapan?" Tanyaku.
~~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top