Ethan
Lily melanjutkan kuliahnya hari itu dengan perasaan tak tenang. Camry hitam itu masih tak beranjak dari parkiran kampus. Apa yang mereka mau, Lily benar-benar tidak tahu. Pengemudi dan penumpang mobil itu pun tidak beranjak dari dalam mobil hingga Lily tak tahu siapa dia pria yang ada di dalamnya.
"Pakai ini!" Rosaline menyodorkan kaos dan jaketnya agar Lily segera mengganti tunik yang ia kenakan. Sesaat sebelumnya Rosaline menarik Lily ke toilet lalu ia berlari ke arah mobilnya untuk mengambil baju cadangan yang sering ia bawa.
"Gak mau, ini pasti ngepas banget di badan gue. Badan lu kan lebih langsing dari gue."
"Lu mau diikutin terus? Kalo lu ganti baju yang beda banget sama baju lu sekarang mereka gak akan ngeh, plus nanti lu pulang naik mobil sama gue."
"Motor gue gimana?"
"Gampang itu urusan nanti. Udah cepetan ganti baju!"
Lily mengikuti perintah sahabatnya meski ia merasa tak nyaman menggunakan baju milik Rosaline. Kaos dan jaket itu tidak menutupi bentuk bokongnya yang tertutup celana pensil yang agak ketat. Bentuk tubuh Lily menjadi amat jelas meskipun pakaiannya tertutup.
Lily menatap horor bayangan tubuhnya di cermin. Ini seperti bukan dirinya. "Mending tetep pake tunik gue aja deh. Kaos dan jaket lo gak nutup bentuk bokong gue, aurat gue masih kebuka kalo kayak gini." Lily mengeluh dan berniat membuka pakaian Rosaline yang sudah ia pakai.
"Ck... jangan lu ganti dulu, tunggu di sini!" titah Rosaline yang dalam sekejap ke luar dari toilet.
Tidak lama kemudian Rosaline datang dengan membawa sehelai kain batik. Ia mengambil kain itu dari ruangan komunitas tari tradisional kampusnya.
Tanpa banyak bicara Rosaline memasangkan kain tersebut di pinggang Lily. Diikatnya dengan bentuk yang apik, sehingga Lily terlihat seperti memakai pakaian desainer.
"Done, aurat lu udah tertutup dan lumayan lebih fashionable daripada tadi."
Rosaline menggandeng Lily keluar dari toilet dan menuju ke parkiran kampusnya. Mereka berjalan cukup cepat agar bisa segera masuk ke dalam mobil listrik milik Rosaline.
"Alhamdulillah, akhirnya sampai juga. " ujar Lily ketika keduanya telah berhasil masuk ke dalam mobil.
Rosaline menyalakan mesin mobilnya, bersiap untuk meninggalkan kampus.
"Tunggu," tahan Lily.
"Kenapa? Bukannya kita harus segera pergi?"
"Itu ... Ethan?" Lily melihat ke arah Camry hitam yang menguntitnya. Seorang pria mengetuk pintu mobil itu.
"Ethan? Yang ngetuk kaca Camry itu?"
"He eh," jawab Lily tanpa melihat ke arah Rosaline.
"Ethan itu siapa?" tanya Rosaline penasaran.
***
Suara musik menghentak memekakkan telinga Lily. Bau asap rokok menyengat dan minuman keras yang dinikmati orang-orang di sekitarnya membuat Lily sangat tidak nyaman. Rosaline telah memaksanya untuk ikut ke sebuah klub malam.
Saat semua di klub itu berpakaian kekurangan bahan atau memakai pakaian sangat ketat, malam itu Lily memakai gamis. Hal itulah yang sempat membuatnya tertahan di pintu depan, tetapi Rosaline berhasil meyakinkan sang penjaga untuk mengizinkan Lily masuk dengan sedikit pelicin tentunya. Sebenarnya Lily sengaja menggunakan gamis agar Rosaline urung memaksanya tetapi gadis Chindo itu tak peduli, ia merasa aman jika berjalan bersama Lily.
"Aline, gue mau pulang." Baru lima menit mereka duduk Lily sudah ingin pergi.
"Baru juga sebentar, nanti dulu lah. Satu jam aja temenin gue di sini."
"Asap rokok di sini bisa bikin paru-paru gue keracunan, belum lagi mata gue yang ternoda liat pasangan yang pada cipokan."
"Lu tutup mata lu, atau main HP aja. Temenin gue ilangin stress. Please...."
Lily memutar bola matanya.
Alunan musik berubah, ada pergantian lagu. "Gue turun dulu ya, ini lagu favorit gue."
"Gue gimana?"
"Ikut turun sama gue, gimana?"
"Lu udah gila?!"
"Yaudah, duduk manis di situ aja ya."
Rosaline terkekeh lalu turun ke lantai dansa. Lily merasa kesal, kenapa juga ia harus turut dengan paksaan sahabatnya, tapi rasa sayang pada sahabat dan ingin menjaganya membuat Lily mengiyakan.
Seorang laki-laki dewasa mendekati Lily, usianya mungkin sekitar tiga puluhan.
"Hai, sendirian?" Laki-laki yang menatap Lily itu langsung mendaratkan bokongnya di samping Lily.
Lily diam tak menjawab, matanya pun tak menoleh sedikit pun.
"Bu Haji, saya nanya loh kok gak dijawab?"
Dasar om-om genit! rutuk Lily dalam hati. Ia masih tak mempedulikan perkataan pria itu.
Tiba-tiba telapak tangan sang lelaki mengelus paha Lily. Dengan cepat tangan Lily menggenggam pergelangan tangan si pria lalu memelintirnya.
"Aw!"
"Dasar genit! Saya patahin tangan Om baru tahu rasa!"
"Ampun, Bu Haji," mohon lelaki itu sambil meringis menahan sakit.
"Pergi dari sini!" perintah Lily. Pria itupun pergi setelah tangannya dilepaskan oleh Lily.
Insiden tersebut membuat Lily semakin yakin untuk meninggalkan klub itu. Ia berdiri dan masuk ke lantai dansa untuk mencari Rosaline.
"Permisi... permisi...." Lily berusaha berjalan melalui para pengunjung klub malam yang sedang asik berjoget. "Aline... Aline!" panggilnya sambil berteriak.
Ruangan yang remang-remang dan musik yang menghentak membuat Lily sulit mencari di mana keberadaan Rosaline. Mereka yang dilalui Lily sejenak menatap aneh pada Lily lalu kembali berjoget.
"Permisi, Kak. Tau di mana Aline?" tanya Lily pada perempuan yang menurutnya berpakaian paling sopan, dress selutut.
"Apa?" tanya gadis berambut coklat itu setengah berteriak.
"Aline, kakak tahu dia di mana gak?" jawab Lily yang juga berteriak.
Gadis yang ditanya menatap Lily dari kepala hingga kaki. "Gak ta-" Omongannya terputus karena ada tangan lelaki yang menarik pinggangnya untuk kembali berdansa.
Lily melihat ke sekeliling, betapa tempat ini bukanlah dunianya. Mereka sedang berdansa sambil bermesraan, perempuan-perempuan berpakaian minim dipeluk dan dicium oleh lelaki dan ada juga yang Lily lihat tubuh si perempuan digerayangi oleh tangan pasangannya. Ini sungguh jauh dari ajaran yang ia pahami selama ini. Bahwa perempuan adalah terhormat, tubuhnya suci, dan harus dijaga dari pandangan dan tangan-tangan yang bukan mahramnya. Sejatinya tubuh perempuan hanyalah untuk beribadah bersama suaminya.
"Astaghfirullah. Astaghfirullah...." Lily istighfar berkali-kali. Dia tak bisa berdiam di sana lagi, nalurinya mengatakan dia harus segera keluar dari klub malam itu. Biarlah nanti ia akan menelpon Rosaline untuk mengabari kepergiannya.
Angin malam bertiup, membuat gamis yang Lily kenakan bergoyang lembut. Saat ini Lily sudah keluar dari klub malam itu. Dengan perasaan lega dan tenang Lily melangkahkan kakinya menuju jalan raya.
Lily menunggu taksi online yang dipesannya 3 menit lalu. Satu dua mobil melalui jalan raya di depannya. Di tengah malam seperti ini, jalanan ibukota terlihat lengang, sebagian besar warga sudah terlelap dan sebagian lain masih menikmati malam seperti mereka yang ada di klub malam itu.
Sebuah Toyota Avanza putih menghampiri Lily. Dilihat dari platnya, mobil inilah yang Lily pesan tadi.
"Sesuai aplikasi, Mba?"
"Iya."
"Baru pulang Mba, tengah malam gini? Abis pengajian?"
Lily melihat dirinya sendiri, gamis yang ia kenakan memang mirip dengan seragam pengajian di masjid dekat rumahnya.
"Panjang ceritanya, Pak." Lily menarik napas panjang lalu mengembuskannya.
Driver taksi online itu merasa bahwa penumpangnya tidak ingin banyak bicara, karena itu ia tak lagi mengajukan pertanyaan.
Baru lima menit berjalan, tiba-tiba Lily berseru, "Berhenti, Pak!"
Mobil pun direm seketika itu juga.
Tanpa banyak bicara, Lily keluar dari mobil lalu menghampiri 3 pemuda yang sedang memukuli satu pemuda yang terlihat sempoyongan.
"Hei!" teriaknya.
Keempat pemuda itu menoleh ke arah Lily. Satu orang kemudian maju mendekati Lily. "Ini bukan urusan lu, pergi!"
"Kalian mengeroyok satu orang, itu tidak adil. Memukuli orang yang lemah itu kejahatan."
"Eh, Bu Haji. Gak usah ceramah di sini! Mending lu pulang," kata pria yang ada di depan Lily.
"Gue pulang kalo kalian udah ngelepasin tu orang." Kemudian Lily melepaskan pukulan ke arah ulu hati pria tersebut.
Bug!
Tubuh pria itu oleng. Sambil memegang dadanya dia membentak, "Berani lu ya!"
Dug!
Lily melayangkan tendangan atas, mengenai hidung lawannya. Pria itu jatuh tersungkur, dari hidungnya keluar darah segar. Dua pria lainnya bersiap untuk maju, Lily tak gentar. "Maju, kalo kalian mau babak belur seperti temen kalian!"
Pria yang barusan terkena pukulan dan tendangan Lily nampak kesulitan untuk bangun. Tadi Lily melancarkan serangannya dengan sekuat tenaga.
Tiba-tiba dari belakang Lily terdengar suara, "Beraninya kalian sama perempuan, sini hadapi saya!" Ternyata itu adalah suara driver taksi online yang Lily naiki. Ia telah siap dengan membawa kunci stir dan kunci roda sebagai senjata.
Dua pria itu maju, tetapi bukan untuk menghadapi Lily dan sang supir melainkan membantu temannya untuk bangun. Lalu mereka pun pergi.
Lily segera menghampiri korban pengeroyokan itu yang terduduk di jalanan. "Kamu gak pa-pa?" Itu terdengar seperti pertanyaan basa-basi yang keluar dari mulut Lily, kenyataannya pria itu lebam-lebam, tak kuat untuk berdiri, dan sedikit mengeluarkan darah di bibirnya.
"Kamu... keren." Jawaban yang tak terduga keluar dari bibir pria itu.
"Kami antar ke rumah sakit, kamu harus diobati." Sang supir taksi ikut bicara.
"I'm okay," tolak pria berkemeja slim fit warna hitam itu.
"Okay apanya, babak belur gini." Lily berusaha membantu pria itu untuk bangun.
Setelah bisa berdiri tegak dengan bantuan Lily dan supir taksi itu, ia menoleh ke arah Lily. "Aku Ethan, kamu?" katanya memperkenalkan diri.
"Lily."
"Μου αρέσεις."
***
Μου αρέσεις= aku menyukaimu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top