09 Laa Tahzan
Pejuang deadline 😁
Naskah ini dipublikasikan guna mengikuti tantangan 300 hari menulis oleh @300days_challenge
Afwan Yaa Alfathunnisa
Chapter : 09 Laa Tahzan
POV : Arul Haidar Al-Qousy
Word : 1900+
Karya saya tidak bagus-bagus sangat (pikir saya), tapi saya harap panjengengan (dengan saya sebagai saksi) adalah sebagus-bagusnya seseorang yang bisa menghargai jerih payah karya orang lain..
🌹🌹🌹
"Semoga dan semoga, kesedihanmu tidak lantas mencuri senyuman dari bibirmu"
🌹🌹🌹
Sore ini, seharusnya ada keseruan karena saya akan mengikuti pertandingan bola voli di lapangan STAI Hidayatur Rochman. Tapi keseruan itu tak saya rasakan. Yang saya rasakan saat ini adalah sebuah kepanikan. Bagaimana tidak? Ketika saya memasuki ruang baca Abi, saya melihat Abi tergeletak tak bergerak di keramik yang dingin.
Sudah beberapa sore terakhir ini, saya meminta Abi untuk memberi ngaji tambahan ke saya. Karena saya merasa harus mengejar ketinggalan saya. Abi begitu bergembira mengetahui semangat saya, sehingga beliau pun juga ikut bersemangat.
Tapi semangat itu hari ini tidak nampak. Mata Abi terpejam, saya bimbang. Dengan gusar keluar dari ruang baca dan memanggil Ummi. Ummi pun menyuruh saya untuk segera menghubungi Mas Zahran. Dan akhirnya dengan napas yang tersengal-sengal karena berlari, saya menghampiri Mas Zahran, menghentikan permainannya.
Hal itu membuat Mas Zahran terkejut, ia kehilangan keseimbangan dalam memukul bola, hingga pukulannya mengenai Zahira, teman sekelas kami di bimbel SAINTEK. Dan gadis itu seketika pingsan. Saya melihat ada Nissa di sana. Wajahnya gusar melihat saya panik. Tapi saya tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu.
Mas Zahran awalnya marah pada saya karena mendadak menginterupsinya. Tapi ketika saya menjelaskan kondisi Abi secara bisik-bisik, kemarahannya pun berubah menjadi kepanikan. Segera saja ia meminta salah satu teman kami untuk menggantikannya.
Sebelum pergi, Mas Zahran menyempatkan untuk menengok Zahira. Mungkin ia bingung, harus siapa yang terlebih dahulu ia tolong. Dan ia memutuskan untuk ikut saya.
Setibanya di ndalem, saya, Ummi dan Mas Zahran mengangkat Abi ke mobil. Beruntung saya bisa menyetir mobil, sehingga kami tidak perlu bersusah payah mencari sopir. Ummi melarang kami untuk memberi tahu siapapun jika Abi sakit. Karena masalahnya bisa berbuntut panjang. Ummi cuma memerintah saya untuk berpesan kepada Ustad Hamid agar menggantikan posisi Abi sebagai imam di masjid Hidayatur Rochman malam ini, dengan beralasan Abi harus pergi ke suatu majelis pengajian.
Ummi sendiri pergi ke pondok, mencari Kang-Kang dan Mbak-Mbak yang bisa dipasrahi untuk setoran mengaji Al-Qur'an malam ini. Sedangkan ngaji kitabnya diliburkan terlebih dahulu. Dan setelah semuanya beres, kami segera membawa Abi ke rumah sakit.
Ba'da maghrib Abi baru tersadar dari lelapnya. Dokter bilang Abi hanya kelelahan. Saya dan Mas Zahran memapah Abi untuk mengambil wudhu, Abi shalat maghrib dalam posisi duduk. Mas Zahran memutuskan untuk tidak mau diajak berjama'ah, karena takut terlalu lama dan Abi ndak bisa segera istirahat lagi. Sedangkan Ummi juga sedang udzur.
Setelah Abi kembali ke ranjangnya, Mas Zahran hendak segera pergi ke masjid karena ia bilang sebenarnya wudhu di dalam kamar mandi itu kurang baik. Akhirnya ia keluar dari kamar. Saya masih berada di samping Abi sebentar, karena saya ingin bertanya mengapa Abi tetap ingin mengajar saya meski beliau sedang gerah.
Beliau menjawab karena termasuk alamatnya khusnul khotimah itu masio sampun sepuh tasih seneng ngaji. Ngaji iku kaya dene sholat, entah diterima entah tidak, harus tetap wajib shalat. Mengaji pun begitu, paham tidak paham ya harus tetap mengaji. Mengaji itu obat, Abi tetap ingin mengaji walau dalam keadaan gerah.
Dan semakin seseorang itu cinta dengan Gustinya maka semakin cinta pula orang itu kepada makhluk Allah yang lain. Tegese cinta iku sak akenan. Makanya walaupun gerah Abi tetap ingin ngucal santri-santrinya, karena Abi kasihan dengan santri-santrinya, karena Abi cinta dengan santri-santrinya yang haus akan ilmu itu.
"Apalagi ketika Abi melihat sampeyan semangat begitu, ya ndak mentolo tho Abi kalau menolak permintaan sampeyan," kekeh Abi dengan menepuk-nepuk bahu saya. Ummi yang menyiapkan makan untuk Abi tersenyum.
"Ya begitulah Abimu, persis seperti putrinya yang ngeyelan," sahut Ummi. Oh ya saya baru sadar, apakah Abi punya putri atau putra? Selama ini saya tak pernah melihat siapapun di ndalem selain Abi dan Ummi. Foto keluarga mereka pun ada di ndalem. Rasa penasaran ini ingin segera saya ungkapkan, tapi Abi menginterupsi saya untuk bergegas menyusul Mas Zahran shalat maghrib.
Saya akhirnya keluar, mungkin nanti saja saya tanyakan. Dan ketika membuka pintu alangkah terkejutnya saya mendapati Mas Zahran dan Nissa yang tampak akrab bercengkrama. Saya merasa tidak suka melihatnya. Nissa juga tampak terkejut, ia mengenakan sarung hitam bercorak bunga hari ini, lengkap dengan kemeja dan jilbab biru khas santri putri.
Ketika Nissa masuk ke kamar inap Abi saya langsung saja bertanya ke Mas Zahran tanpa berpikir panjang lagi, "Mas kok kenal dengan dia? Tampak akrab malahan. Dan untuk apa dia di sini? Bukankah yang tahu Abi ke rumah sakit cuma saya, sampeyan dan Ummi?"
"Hmm ... saya yang memberitahunya. Dia itu dari kecil sudah mondok di sini, jadi Abi Ummi itu sudah sangat seperti orang tuanya sendiri. Maka dari itu saya menghubunginya, karena dia pasti wis kroso, nek Abi dan Ummi ndak ngucal secara mendadak itu berarti ada sesuatu. Karena jika Abi mau tindak mengisi majelis, jauh-jauh hari sudah bilang. Ya saya jelas akrab wong dia sepupu saya," kata Mas Zahran sembari kami berjalan menuju ke masjid rumah sakit. Perkataannya entah mengapa membuat saya bisa bernafas lega.
"Loh, dia putrinya Abi? Sampeyan kan keponakannya Abi?"
"Eh .... Hmm ... bukan. Dia sepupu saya dari jalur Bapak. Yang adiknya Abi kan Ibu saya," jawaban Mas Zahran kok saya rasa kurang meyakinkan, ya?
"Lah trus putrinya Abi yang mana, Mas?" tanyaku benar-benar penasaran.
"Hmm ... itu rahasia, Rul. Pokoknya putrinya Abi itu adalah salah satu santri di Hidayatur Rochman. Ia ingin disembunyikan karena ingin berbaur agar tidak terlalu dihormati. Dia tidak pernah keluar dari penjara suci, maka dari itu jarang orang yang mengetahuinya. Lagian apa faedahnya sampeyan bertanya seperti itu?" jawab Mas Zahran. Hm seorang putri yang hebat menurut saya. Bagaimana tidak? Biasanya anak penguasa itu ingin menang sendiri, lah ini malah ndak.
"Ya kan saya penasaran, Mas."
Kami akhirnya shalat magrib, Mas Zahran yang jadi imam. Usai shalat Mas Zahran memutuskan untuk membeli makan, dan saya disuruh balik ke ruang inap Abi, menjaga Abi barangkali beliau membutuhkan sesuatu.
Setibanya saya di lorong kamar inap Abi, saya melihat Nissa duduk termenung di kursi tunggu depan kamar. Ia tampak bersedih, mungkin benar kata Mas Zahran dia terlalu peduli dengan Abi dan Ummi, sehingga ketika Abi gerah begini dia juga ikut cemas.
Melihat mendung yang melintasi harinya membuat saya tak tega. Ada bagian dari diri saya yang tak ingin melihatnya bersedih. Saya memikirkan bagaimana caranya agar mendung itu sedikit berarak pergi. Saya mengambil kertas dan bolpoin di dalam saku saya. Saya memang selalu membawa dua benda itu, karena sejak di sini saya jarang merokok, jadi dua benda itulah yang selalu menemani saya, untuk apalagi kalau bukan membuat puisi.
Saya mulai menulis puisi, mepet tembok sebagai alas. Setelah sudah, saya segera menghampirinya dan memberikan kertas itu. Ia tersenyum ketika membacanya, hati saya membengkak.
Saya jadi teringat jika ia belum membalas puisi saya tempo lalu, ketika saya memancingnya, ia segera memberi saya secarik kertas. Tulisannya rapi dan saya langsung sadar memang begitulah seharusnya tulisan seorang remaja. Saya bayangkan tulisan saya yang tadi saya berikan padanya, tulisan saya tampak rengget-rengget koyok srondeng.
Aku hanyalah mar'ah
Yang belum bisa shalihah
Aku hanyalah mar'ah
Yang belum pandai dalam berbenah
Aku hanyalah mar'ah
Yang tak bisa dikatakan Jamila
Soal status
Entah itu tulus
Entah itu modus
Aku tak tahu
Yang ku tahu hanyalah
Aku tak ingin jadi munafik
Aku hanya ingin jadi baik
Dhohirku bolehlah kau nilai
Tapi bathinku biarlah Sang Ilahi yang memaknai
Doakan saja aku, selalu disertai hidayah
Selalu diliputi qana'ah
Selalu disandingi istiqomah
Agar hidupku tak jauh-jauh dari ridha-Nya
Duh Gusti, sirahe kawula mumet. Lha kok ora kepiye? Di sini banyak kata baru yang saya belum ketahui, bahkan sejak dibait pertama. Nissa berhasil membuat saya minder. Rasanya ingin saya ambil kertas yang tadi sudah saya berikan padanya. Karya saya tidak ada apa-apanya.
Mungkin karena ekspresi senyum saya menghilang, ia panik, takut jika karyanya jelek. Akhirnya saya jujur tentang apa yang saya rasakan, karena saya tak ingin membuatnya gelisah. Sepintas saya melihat ketika ia tersipu malu tampak pipinya kemerah-merahan, lantas saya memerintahnya untuk menuliskan kosakata Bahasa Arab.
Saya memperhatikannya yang tengah menunduk menulis di bangku kosong di antara kami. Saya terus memperhatikannya, afwan yaa Alfathunnissa, dari sudut bola mata saya kamu terlalu menarik untuk dilihat, hingga rasanya saya enggan berpaling. Darah saya berdesir, menciptakan gejolak geli dalam dada.
Setelah selesai menulis ia menyerahkannya kepada saya. Saya membacanya, dan alangkah terkejutnya saya ketika ada kosakata arti nama saya di sana. Di sana ia menulis Arul memiliki arti berkilau, Haidar memiliki arti pemberani, dan Al-Qousy memiliki arti ketegasan. Jidat lebar saya berkerut, "Mengapa ada arti nama saya?"
Pipinya semakin merona, saya bisa melihat itu dengan jelas. "Loh itu kan termasuk kosakata yang sampeyan ucapkan sehari-hari, Kang" ucapnya dengan senyum.
"Yo nggih, tho. Wong itu nama saya. Ada-ada saja malah sampeyan itu," dan kami pun tertawa bersama. Melihatnya bahagia pun membuat saya bahagia.
Suasana di antara kami hening beberapa saat, meski banyak orang yang lalu-lalang melewati kami di lorong ini. Saya tak mampu menahan kikuk, jika suasana seperti ini berlangsung lebih lama lagi. Awalnya saya ingin membuka percakapan kembali. Kemudian saya merasa ada penghubung antara saya dan Nissa, karena kami berkata bersama-sama. Saya meminta dia yang terlebih dahulu berkata. Karena kata Mbah Kung seorang laki-laki seperti saya harus menghormati tiga orang dalam keadaan umum, misalnya ketika saya berada di dalam bus. Yang pertama adalah anak kecil, yang kedua wanita apalagi ibu-ibu hamil dan yang ketiga adalah orang tua.
Saya tertawa karena pertanyaan kami ternyata sama juga, yaitu apakah masing-masing dari kami meiliki wattpad, mengingat aplikasi itu adalah aplikasi untuk berkarya dalam kepenulisan.
Ia menjawab punya, dan saya pun bertanya apakah ada salah satu karyanya yang dipajang di sana. Dan ketika ia menjawab ada tapi sudah ia unpublish karena alasan yang konyol menurut saya, saya tanpa sadar mengocehinya dengan kecepatan lima ratus tiga puluh tiga ribu kilometer perjam.
Ya ya ... saya akui laki-laki itu memang banyak ocehan kosong. Mereka pandai merangkai kata. Ndolal ndalil nganthi njedhir. Tapi yang saya katakan itu murni, bukan sebuah modus tapi karena saya benar-benar ingin menyemangatinya.
Saya benar-benar tulus, saya tak mau ia terpuruk hanya karena masalah sepele. Ya meskipun saya sendiri terkadang juga begitu sih. Entah mengapa saya begitu peduli dengan perasaannya, entah mengapa saya tak bisa melihatnya bersedih.
Saya melihat senyumnya kembali ketika saya bilang padanya bahwa saya akan menjadi pembaca pertamanya yang setia. Ia pun lantas menyuruh saya untuk membahas diri saya sendiri. Awalnya saya ingin bercerita banyak hal tentang karya saya, tapi Mas Zahran tiba-tiba saja datang, mengganggu suasana yang manis ini.
Mas Zahran menyuruh Nissa makan di kamar inap Abi, sedangkan saya dan dia akan makan di sini. Akhirnya Nissa berdiri, menuruti perintah Mas Zahran.
Sebelum ia membuka pintu kamar Abi, saya menyempatkan diri untuk melihatnya, dan ajaibnya mata kami saling bertemu, karena ia juga menatap saya. Hal ini membuat denyut nadi saya tidak tenang. Tapi saya bahagia, karena melihat binar matanya yang kembali menghangat. Laa tahzan yaa Alfathunnissa, mari berbahagia, jangan banyak duka. Sekalipun siang akan meredup, ataupun malam akan tertutup, aku di sini, menghiburmu dengan jantung yang terus berdegub.
Ndalem : Rumah Pak Kiai
Dipasrahi : Diberi amanah
Ba'da : Setelah
Ndak : Tidak
Udzur : Sedang dalam masa menstruasi
Gerah : Sakit
Masio sampun sepuh tasih seneng ngaji : Walaupun sudah tua masih suka mengaji
Ngaji iku kaya dene shalat : Mengaji itu seperti shalat
Tegese cinta iku sak akenan : Maksudnya cinta itu merasa kasihan
Ngucal : Mengajar
Sampeyan : Kamu
Ndak mentolo : Tidak tega
Ngeyelan : Keras kepala
Wis kroso : Sudah merasa
Nek : Kalau
Tindak : Pergi
Mepet : Dekat
Rengget-rengget koyok srondeng : Berantakan seperti abon
Gusti sirahe kawula mumet : Yaa Allah kepala saya pusing
Lha kok ora kepiye? : Lha kok tidak bagaimana?
Ndolal ndalil nganthi njedir : Berdalil terus hingga bibirnya bengkak
Bumi Wali (Tuban),
4 Januari
©2020 Yunimatul Azizah
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top