06 Bombonge Ati

Pejuang deadline 😁

Naskah ini dipublikasikan guna mengikuti tantangan 300 hari menulis oleh @300days_challenge

Afwan Yaa Alfathunnisa
Chapter : 06 Bombonge Ati
POV : Almeera Hasna Alfathunnisa
Word : 1900+

Karya saya tidak bagus-bagus sangat (pikir saya), tapi saya harap panjenengan (dengan saya sebagai saksi) adalah sebagus-bagusnya seseorang yang bisa menghargai jerih payah karya orang lain..

Mari bantu saya sisir typo ✍️

🌹🌹🌹

"Bahkan meskipun hatimu berkata enggan, namun cinta itu mampu masuk secara perlahan dan diam-diam, lalu mengejutkanmu dengan ledakannya yang seperti boomerang"

🌹🌹🌹


Meski hanya selayang pandang
Bingkai wajahmu, lengkung senyummu, binar matamu
Terbayang selalu
Setiap hari, bahkan sepanjang waktu
Dalam sukma dan kalbuku

Meski hanya selayang pandang
Aku tidak tahu harus melesat kemana
Agar bisa lupa
Segala perihal tentang kita
Semua peristiwa yang kita lalui bersama

Meski hanya selayang pandang
Kau telah melekat, membuatku terpikat
Hingga rasa ingin selalu dekat

Meski hanya selayang pandang
Kau telah terngiang, tak dapat dilupakan
Sampai kapan?
Entahlah, karena hanya Tuhan yang dapat menentukan

Hm ... baiklah, buang saja puisi itu karena terlalu bucin. Mana mungkin aku akan mengirimi Kang Arul puisi seperti itu.

Ini sudah puisi ke sepuluh yang ku buat, sejak hari kejadian sekotak apem yang ku lalui dengan Kang Arul. Iya ... sejak saat itu, puisiku semuanya menjadi bertema beruang berbulu halus berwarna merah muda. Ia galak, selalu mendesakku untuk mengeluarkan kata-kata romantis. Tahu, kan? Sesuatu yang mengganjal hati akan melegakan ketika telah dilepaskan.

Aku berusaha membuang rasa ini jauh-jauh dari hati, diam-diam memarahi diri sendiri. Rasa ini berbahaya karena membuatku jadi lembek dan rentan, hanya gara-gara Kang arul menarik. Kurang dari 24 jam bertemu, namun Kang Arul sudah berhasil memporak-porandakan hatiku.

Tepukan Mbak Zahira pada pundakku, lantas membuyarkan anganku. Dia sepanjang hari ini sibuk mengingatkanku, jika hari ini adalah hari Minggu malam Senin, hari di mana saat pembagian HP untuk santri-santri Hidayatur Rochman. Mbak Zahira adalah santri baru, jadi wajar saja jika ia belum terbiasa dalam hal tidak memegang HP.

Ini keputusan Abi sejak beberapa tahun silam. Tentu saja keputusan ini dibuat karena aku yang merengeknya. Tapi jadwal pembagian HPnya itu loh yang membuatku domblong. Minggu malam Senin, ketika banyak sekali aktivitas yang harus dikerjakan para santri.

Aku selalu tidur di asrama putri. Seperti alasanku yang kemarin sudah ku jelaskan jika aku tidak ingin terlalu dianggap sebagai seorang Ning, seseorang yang harus diajeni bagaikan seorang putri. Aku ingin bergaul biasa dengan lingkungan sekitar. Dan karena aku tinggal di asrama, maka aku juga harus mengikuti peraturan yang berlaku di asrama terutama masalah telepon genggam. Aku pun ikut senang ketika telepon genggam dibagikan.

Aku adalah roisah, ketua santri putri di Pondok Pesantren Hidayatur Rochman. Jadi akulah yang paling bertanggung jawab masalah apapun yang ada di pondok putri, termasuk HP, akulah yang bertugas mengumpulkan dan mengambilnya.

Setelah mengambil dan membagikan HP ke seluruh santri putri, aku rebahan di kamar pondok. Sekamar hanya ada aku dan Mbak Zahira, ya seperti yang aku bilang tadi, dia itu santri putri anyaran, jadi dia sangat rewel dengan lingkungan baru. Dan akulah yang mengemban tugas untuk menjinakkannya.

Selain mendesakku mengeluarkan kata-kata romantis, beruang berbulu halus berwarna merah muda tadi, juga memerintahku untuk mencari tahu segala hal tentang Kang Arul. Merayuku agar memiliki perasaan ingin tahu. Akhirnya aku pun tergoda, aku ingin tahu arti namanya, aku ingin tahu darimana ia berasal, aku ingin tahu nama akunnya, apa yang biasa ia tulis, apa yang biasa ia lakukan, aku ingin tahu jalan fikirannya, apa saja yang telah ia lalui, apa saja yang ia inginkan, apapun tentang dia aku ingin mengetahuinya.

Baiklah, HP sudah dalam genggaman, waktu untuk kepo pun dimulai. Bukankah filosofi Jawa berkata ana dina ana upa, bahwa jika ada kemauan pasti ada jalan. Itulah yang memperkuatku untuk kepo.

Pertama aku membuka aplikasi google, mencari tahu arti nama Kang Arul. Dan yang selanjutnya ku buka aplikasi Instagram, mencari akun Kang Arul di sana. Karena pikiran mbelingku berkata jika akun Kang Arul pasti miliki caption yang indah, mengingat dia adalah seorang penyair.

Coba kita buka Instagram. Kia-kira apa namanya ... ku coba ketik @arul lalu ku tekan tanda enter. Disana muncul beberapa nama dan satu nama yang langsung ku lirik adalah @arul_alqousy07. Langsung saja ku tekan nama itu, dan ajaibnya akun itu benar-benar milik kang Arul. Hal ini dapat ku lihat dari unggahannya beberapa menit yang lalu.

Ia mengunggah fotonya yang memakai kemeja putih dengan garis hitam yang menjalar di setiap kancingnya. Fotonya pun dilengkapi oleh peci hitam serta rambutnya yang berantakan ke depan. Ia tersenyum, menampakkan dereta gigi depannya.

Captionnya seperti ini "Cinta itu bisa lahir dengan kata-kata, tapi ia tidak bisa mati dengan satu kata." Hm ... apa dia sudah punya pacar? Batinku tiba-tiba mencelos. Tapi di Pondok Pesantren Hidayatur Rochman melarang santrinya untuk berpacaran. Kalau ketahuan bisa ditakzir.

Lalu ku scroll ke bawah. Banyak sekali caption dan puisi yang bagus. Jadi ku screenshot saja semuanya. Lalu ku letakkan di album tersembunyi. Ah sejak kapan Ning Alfathunnissa jadi seperti ini?

Akhirnya aku memiliki rasa untuk mem-follow akun Kang Arul. Menurutku itu penting, karena aku ingin mendapatkan notif ketika ia mengunggah sesuatu, terutama karena aku tidak ingin ketinggalan syairnya yang mempesona.

"Mbak Zahira, boleh ndak sih, perempuan mem-follow akun kaum Adam terlebih dahulu?" tanyaku minta pendapat pada Mbak Zahira yang duduk di sampingku, ia tengah sibuk dengan HPnya tentu saja.

"Sah-sah aja sih menurutku. Emang kamu mau mem-follow akunnya siapa?" tanyanya dengan kepalanya yang disembulkan ke HPku.

"Arul? Oh ... si pendek, anak SAINTEK sekelasku? Kenapa kamu bisa kenal hayo? Ciye? Udah sini biar aku yang follow-in," goda Mbak Zahira dan ngroyok HPku.

"Aaaaarrrggggghhhh ... Mbak! Jangan!" teriakku kesal. Sebenarnya aku ingin menimbang-nimbang dulu. Tapi Mbak Zahira sudah terlebih dahulu nyerobot, menyambar HPku dan membawanya lari, membuat kami akhirnya kejar-kejaran di kamar.

"Udah, nih. Tinggal tunggu respon. Hahaha," tawanya ngeledek. Aku langsung saja terduduk lemas di belakangnya yang berhenti berlari. Dan beberapa detik kemudian ucapannya membuatku semakin lemas.

"Uwu ... langsung di-folback nih, Nis! Uh ... postingan kamu juga dilove nih .... Aaaahhh ... di DM juga, nih. Udah, buruan dibales!" girangnya sangat keterlaluan. Ia berlalik dan berjongkok, menyerahkan HP kepadaku. 'Dasar santri anyaran terkamvret,' inner batinku kesal.

Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana ekspresi raiku sekarang. Susah? Senang? Kesal? Intinya campur aduk. Jantungku mulai berdenyut tak sabaran, badanku juga mulai gemeter ketika menatap layar obrolan HP yang tergeletak ra kanggo di lantai. Ruang obrolan itu berisi sebaris kalimat 'Gadhah IG barang, Yuk?' Duh Rabbi harus ku balas bagaimana?

Tanganku tarik ulur antara memegangnya atau tidak. Ku tarik napas dalam-dalam. Akhirnya ku pegang dan ku ketikkan sesuatu yang singkat di sana. Karena aku mumet harus menjawab bagaimana.

alfathunnissa27 :
- 'Yuk?'
- 'Kok yuk?'

Kenapa dia memanggilku yuk? Setelah mengetik seperti itu, ku letakkan HP di lantai lagi. Sebab tanganku masih bergetar hebat, dadaku pun membengkak berkali-kali lipat. Lalu ada balasan lagi.

arul_alqousy07 :
- 'Mboten Nissa tho niki?'

alfathunnissa27 :
- 'Nggih Nissa, tho. Sinten malih nek mboten Nissa?'

arul_alqousy07 :
- 'Oh ... saya kira Paiman.'

Ndeh, cantik-cantik seperti ini kok dikira laki-laki. Pripun tho Kang Arul ini? Bukankah namanya juga jelas perempuan. Atau jangan-jangan dia lupa denganku? Padahal kan baru saja seminggu. Aku diam belum menjawab, tapi tiba-tiba saja ia sudah mengetik lagi. Cepat juga dia.

arul_al-qousy07 :
- 'Matur suwun apeme. Tapi maaf, sepertinya saya lupa baca bismillah :V'

Aku tersenyum, ternyata dugaanku salah, dia masih mengingatku. Tapi aku sedikit kesal, bukankah di sana sudah ku tulis kalimat 'Jangan lupa baca bismillah dulu sebelum makan'? Dan dia dengan seenak jidatnya melupakannya begitu saja.

alfathunnissa27 :
- 'Ndeh ... kok begitu? Sampeyan tahu kisah Rasulullah dengan setan yang memuntahkan makanannya ndak?'

Dia menjawab tidak. Dan akhirnya memintaku untuk menceritakannya. Sebenarnya aku wegah kalau harus bercerita via telepon genggam karena harus mengetik. Ndak mungkin kan aku akan berpesan suara. Tapi karena Kang Arul terus mendesak, akhirnya aku pun mulai mengetik cerita.

Salah satu kelebihan Rasulullah shallallahu 'alaiki wa sallam adalah bahwa beliau mampu melihat peristiwa-peristiwa, termasuk makhluk-makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala yang ghaib. Seperti malaikat, jin, dan setan. Bahkan dalam berbagai kesempatan, beliau berkomunikasi dengan mereka.

Sebagian dari tingkah laku makhluk tersebut diceritakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat. Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedang duduk dan di dekat beliau ada seorang laki-laki sedang makan. Sebelum makan, ia tidak membaca basmallah, sehingga setan ikut serta dalam aktivitas makannya. Namun, saat suapan terakhir orang itu berkata, "Bismillaahi awwalahu wa aakhirahu." Yang artinya "Dengan menyebut nama Allah di awal dan di akhir."

Setelah mendengar perkataan orang tersebut, tiba-tiba Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa. Lalu beliau bersabda, "Setan terus makan bersama dia. Akan tetapi, saat dia ingat kepada Allah (dengan membaca basmalah), setan itu memuntahkan makanan yang sudah ditelannya dari dalam perutnya."

Setelah mengetik cerita panjang kali lebar, ku tarik sebuah kesimpulan agar Kang Arul segera paham.

alfathunnissa27 :
- 'Hadist ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Nasa'i, Kang. Kesimpulannya, karena beberapa sebab, terkadang kita bisa lupa mengucapkan basmallah sebelum beraktivitas. Jika hal itu terjadi, maka saat ingat, segeralah melafalkan bismillaahi awwalahu wa akhirahu.'

Chat kami terus berlanjut membahas ilmu-ilmu bahkan tentang kepenulisan. Dan parahnya ia ingat jika aku belum membalas puisinya tempo lalu.

Entah sudah berapa lama aku chatingan dengan Kang Arul. Karena tiba-tiba saja aku baru sadar kalau aku sudah berada di atas mbale. Dan Mbak Zahira sudah mengganti lampu terang menjadi lampu remang-remang.

"Nissa, tidur!" perintah mbak Zahira yang glimbungan di sampingku. Lah dia itu aneh, dia sendiri saja masih asyik dengan HPnya kok aku disuruh tidur.

Ku pandang jam dalam handphone. Astaghfirullah ... jam 00.00 dini hari. Berarti sudah sekitar tiga jam aku chatingan dengan Kang Arul. Bukankah itu waktu yang cukup lama? Namun mengapa batin meronta waktu itu sangat singkat?

"Kamu itu roisah, petugas tata tertib, seseorang yang membangunkan semua penghuni pondok putri untuk shalat tahajut dan sahur. Kalau kamu nggak bangun, lalu siapa lagi yang akan melakukan tugas itu? Aku benar-benar nggak mau ikut campur jika terjadi hukuman," omel Mbak Zahira panjang.

"Iya-iya, Mbak. Sebentar lagi, kok," elakku. Aku harus pamit dulu kan? Lagi pula siapa tadi yang mendukungku untuk mem-follow akun Kang Arul? Keblanjur kan akhirnya. Eh dia sekarang malah sewot. Benar-benar santri anyaran terkamvret.

Akhirnya aku pamit dengan Kang Arul, meski sebenarnya tidak tega. Setelah itu ku letakkan HP di meja samping mbale tidur. Lalu berusaha memejamkan mata meski bibir tetap saja tak bisa berhenti tersenyum. Tapi tiba-tiba saja ...

Puk ... telapak tangan Mbak Zahira menepuk pelipisku.

"Aduh, Mbak ... apa maneh, tho?" tanyaku jengkel.

"Jangan mikirin Arul terus. Nanti kebawa mimpi," godanya dengan kekehan. Aku hanya manyun.

Beberapa menit kemudian aku yang membalas tepukannya.

Puk ... dia lalu berteriak aduh.

"Mbak jangan lupa baca mantra dulu,"

"Mantra apa?"

"Bismikallahumma ahya wa bismika wa amud," ucapku meniru chatnya Kang Arul. Eh Mbak Zahira cuma jawab 'aamiin.' Dasar ... dia itu memang benar-benar santri anyaran terkamvret.

Mbak Zahira akhirnya berbalik dan diam, mungkin juga berusaha tidur. Aku memandang langit-langit kamar yang penerangannya remang-remang. Tersenyum, berharap pagi segera datang, sehingga kemungkinan chatku dengan Kang Arul dapat berlanjut lagi. Karena setiap inti jiwaku saat ini seolah mengemis, ingin merasakan sensasi mendebarkan seperti tadi. Entahlah, rasanya ... chatingan dengan Kang Arul itu mungkin ... bombonge ati.

Domblong : Bengong

Diajeni : Dihormati

Roisah : Ketua perempuan

Anyaran : Baru

Ana dina ana upa : Ada hari ada nasi

Mbelingku : liarku

Ditakzir : Hukuman

Scroll : Geser naik turun

Screenshot : Mengambil gambar

Caption : Status

Follow : Mengikuti

Ndak : Tidak

Nyerobot : Menyalip

Gemeter : Bergetar

Ra kanggo : Tidak terpakai

Gadhah IG barang, Yuk? : Punya IG juga, Mbak?

Mumet : Pusing

Mboten Nissa tho niki? : Bukan Nissa kah ini?

Nggih Nissa, tho. Sinten malih nek mboten Nissa? : Ya Nissa lah. Siapa lagi kalau bukan Nissa?

Ndeh : Hanya kata imbuhan

Pripun, tho? : Bagaimana, sih?

Matur suwun : Terima kasih

Sampeyan : Kamu

Glimbungan : Rebahan

Chatingan : Berbalas pesan

Keblanjur : Terlanjur

Mbale : Ranjang

Apa maneh, tho? : Apa lagi, sih?

Bombonge ati : Menyenangkan hati

Bumi Wali (Tuban),
13 Desember
©2019 Yunimatul Azizah

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top