05 Kang Afwan
Pejuang deadline 😁
Naskah ini dipublikasikan guna mengikuti tantangan 300 hari menulis oleh @300days_challenge
Afwan Yaa Alfathunnisa
Chapter : 05 Kang Afwan
POV : Arul Haidar Al-Qousy
Word : 1700+
Karya saya tidak bagus-bagus sangat (pikir saya), tapi saya harap panjenengan (dengan saya sebagai saksi) adalah sebagus-bagusnya seseorang yang bisa menghargai jerih payah karya orang lain..
Mari bantu saya sisir typo ✍️
🌹🌹🌹
"Hembusan angin berayun lirih, mengisyaratkan kedatanganmu. Ku ucapkan untukmu kasih, selamat datang sekuntum rindu"
🌹🌹🌹
"Aku ingin kau menjadi khobar-ku," kata Mas Zahran, teman baru saya di Pondok Pesantren Hidayatur Rochman. Ia senang sekali dengan pelajaran nahwu, bahkan ia sangat senang membuat puisi yang berbau nahwu. Apalah daya saya yang anak baru. Saya ndak paham sama sekali dengan hal-hal seperti itu. Semakin saya disini sepertinya saya akan semakin merasa bodoh, sebab ternyata banyak sekali ilmu yang belum bisa saya kuasai.
Saya kenal Mas Zahran baru tadi pagi, ketika ia menghadap pada Abi bahwa bimbingan belajar ke perguruan tinggi berbasis pondok pesantren dengan jurusan SAINTEK, masih kekurangan satu peserta. Akhirnya Abi meminta saya untuk ikut, karena kebetulan sekali saya masih bisa jika diikut sertakan dalam SBMPTN.
Ya sekali lagi, saya ndak mungkin menolak permintaan Abi, sungkan rasanya. Oh ya, dan Mas Zahran ini satu tahun lebih muda dari saya. Tapi mengapa saya manggilnya Mas? Karena dari penampilannya ia seperti orang yang berwibawa dan lesung pipinya itu loh sangat manis. Saya yang sesama laki-laki saja adem ngelihatnya, apalagi kaum perempuan.
Kami dalam perjalanan menuju MA Hidayatur Rochman, sebab bimbelnya diadakan disana. Jadi lokasi pondok dan sekolah di Yayasan Hidayatur Rochman itu sedikit terpisah. Dan sepanjang perjalanan, kami ngobrol ngalur ngidul. Saya iseng tanya apa saja yang diajarkan di pondok pesantren, hingga terbitlah antusias Mas Zahran dalam menyebutkan pelajaran nahwu.
"Maknanya apa, Mas?" tanya saya penasaran.
"Khobar itu kan sesuatu yang menyempurnakan mubtada'. Nah jadi jika dianalogikan itu ... ketika sampeyan bilang pada seseorang agar ia menjadi khobarnya sampeyan, itu maknanya sampeyan ingin menjadikan dia sebagai penyempurna hidup sampeyan," jelasnya membuat saya baper.
Setibanya di depan kelas bimbel, Mas Zahran pamit ke toilet dan menitipkan buku-bukunya kepada saya. Dan saya menunggunya di depan kelas, menyender di pilar depan.
Saya menunggu Mas Zahran sambil melihat buku-buku yang ia titipkan pada saya. Ternyata Mas Zahran benar-benar maniak nahwu. Bahkan saat bimbel mata pelajaran umum pun, ia sempat-sempatkan untuk membawa buku nahwu. Hm, benar-benar nahwu lovers yang sejati.
Ketika tengah sibuk melihat sanbil membaca sedikit-sedikit buku Mas Zahran, saya lantas dikejutkan dengan suara perempuan yang halus nan lembut.
"Kang, afwan," panggilnya membuat saya menoleh. Dan ketika saya membalikkan badan, saya benar-benar terkejut sehingga nyaris menjatuhkan semua buku yang saya bawa. Hayo tebak siapa yang saat ini tengah menyapa saya?
Ya, dia adalah gadis yang semalam membuat hati eh maksud saya kopi buatan saya untuk Abi tumpah. Dia mengenakan sarung hari ini, sarung khas santri putri. Bajunya berwarna merah muda, jilbabnya pun sama. Sedang apa ia di sini? Kenapa ia membawa buku? Apa ia juga bersekolah di sini? Tanya batin saya penasaran. Tapi tunggu, mengapa ia memanggil saya afwan? Padahal nama saya kan bukan afwan, nama saya kan Arul. Darimana ia mendapat persepsi seperti itu?
"Hm," deheman saya sejenak untuk mengurangi rasa terkejut sekaligus rasa grogi. "Maaf, nama saya Arul, Arul Haidar Al-Qousy bukan afwan,"
"Eh ... anu ... itu ... ngapunten ... afwan itu berasal dari bahasa Arab yang berarti maaf," jelasnya dengan kikuk. Mungkin dia sama groginya dengan saya.
"Oh," ucap saya kehabisan kata-kata, berusaha mengsem. Duh Gusti ... saestu ... isin tenan. Ingin rasanya saya nglothok rai.
Lalu suasana di antara kami hening. Karena jujur saja saya bingung mau bilang apa, dan ia pun sepertinya juga merasakan hal yang sama. Dan hal ini membuat saya bisa mendengar dengan jelas degub jantung saya sendiri yang mulai berdetak kuat.
Saya gelisah dan berusaha keras untuk tidak melihatnya. Sesuatu tentangnya membuat saya linglung, dan saya perlu mencari tahu alasannya agar bisa memperbaiki situasi, karena kami tidak bisa terus-terusan tegang seperti ini.
Ucapan minta maafnya yang terbata-bata kemudian memecahkan kesunyian ini. Ia terus menunduk, tak berani menatap mata saya secara langsung. Sepertinya ia benar-benar merasa bersalah.
"Ndak apa-apa. Bukan masalah yang besar, kok. Santai saja," ucap saya tulus. Aduh seharusnya malah saya yang minta maaf. Andai saja kemarin saya masuk kamar Abi dengan salam, pasti dia tidak akan menabrak saya.
Saya tidak bisa menahan senyum saat melihatnya, ada ekspresi kagum di wajahnya. Mukanya memerah ketika melihat saya tersenyum, dan ia cepat-cepat menunduk. Jujur saja ini adalah uasana yang aneh.
Lalu ia mengucapkan terimakasih. Duh Gusti ... adem banget rasanya, dada saya membengkak berkali-kali lipat. Kemudian ia menyerahkan sebuah kotak kepada saya. Saya penasaran, sebenarnya apa isi kotak ini. Mengapa berat dan anget. Sehingga membuat saya membolak-balik kotak itu, serta nyaris mengocoknya.
Ketika saya bertanya apa isinya, dia menjawab 'apem' sambil ngegas. Membuat saya terkejut, lagi. Mungkin ia takut saya terlalu keras mengocok kotak itu, hingga bisa saja ia berasumsi jika perlakuan saya akan menghancurkan isinya. Akhirnya saya berhenti membolak-balikkan kotak tersebut.
Ia memberi saya sekotak apem. Dan lucunya ia bertanya apakah saya doyan atau tidak. Tentu saja saya doyan. Ya meskipun saya ini mantan pegawai minimarket yang sering lihat camilan buatan pabrik, saya tetap suka jajanan pasar. Toh di rumah Mbah Dhok juga sering membelinya.
Tapi saya bingung, mengapa ia harus memberi saya apem saja? Kenapa tidak jajanan beraneka macam, atau bekal makan siang misalnya. Akhirnya saya bertanya, dan ia bilang jika apem memiliki filosofi yaitu kata ini serapan dari kata afwan tadi loh yang berarti maaf. Hm ... dia benar-benar niat sekali dalam minta maaf. Saya jadi terharu, tapi ndak mungkin sampai menangis.
Dan alasannya memberi saya sekotak apem yang paling lucu adalah, karena saya butuh tenaga tambahan untuk memcuci baju saya yang tersiram kopi. Apalagi dia memperagakan proses mencuci baju. Duh, dia ini ngeledek atau bagaimana ceritanya? Apa dia kira saya akan mleyot hanya karena mencuci baju? Atau dia kira saya butuh asupan energi supaya sedikit gemuk. Hm ... entahlah, ini antara ngeledek dan perhatian. Saya tidak tahu. Saya hanya bisa mengsem dan berterimakasih.
Kemudian suasana hening lagi. Saya heran, kenapa Mas Zahran ke toiletnya lama sekali? Saya kan jadi bingung harus bagaimana lagi menghadapi Nissa. Karena jujur saya badan saya gemeter. Jantung berdetak kuat seperti selesai lari marathon seribu lima ratus empat puluh lima kilometer. Duh lebay-nya saya malah kumat.
Saya sangat bersyukur ketika dia menemukan topik pembicaraan lagi. Yaitu tentang selembar puisi yang tak sengaja ia temukan di dapur tadi malam. Ketika ia menunjukkannya, saya yakin jika tulisan itu benar-benar tulisan saya. Akhirnya karena saya merasa memiliki hak untuk mengambilnya, maka saya meraihnya.
Namun belum sempat tangan ini meraih kertas di tangannya, lantas ia dengan sigap mendekapnya. Ya saya langsung terkejut. Ndeh ... bocah iki kenopo, tho?
Ia mengingis. Matanya memancarkan binaran memohon. Saya punya firasat buruk tentang hal ini. Dan benar saja, ia meminta ijin saya untuk menyimpan puisi itu. Sebenarnya saya sedikit minder. Puisi jelek gitu kok ingin disimpan? Ndak rugikah?
Tapi karena matanya bersikukuh maka akhirnya saya pun mengalah untuk mengijinkan, tapi saya memberi syarat, agar ia harus membalasnya dengan puisi juga. Ia kemudian diam, sepertinya menimbang keputusan. Dan setelah beberapa menit ia memutuskan untuk menerima tantangan dari saya. Baiklah, saya harus mengingatnya, saya tidak boleh melupakan kesepakatan ini.
Dan kata-kata penerimaannya itu, loh ... membuat saya terpaksa tertawa. Saya menertawakan diri sendiri, karena dia tanpa sengaja telah membuat saya benar-benar merasa bodoh. Setelah afwan sekarang kata na'am yang ia luncurkan. Sebenarnya apakah dia ini keturunan Arab?
"Na'am itu artinya iya, Kang," jelasnya mencoba membuat saya paham.
Bel sekolah membuyarkan percakapan kami. Ia pamit menuju kelasnya. "Sampeyan ikut bimbel juga, ta?" tanya saya.
"Nggih. Tapi nderek kelas SOSHUM," jawabnya membuat saya antara senang dan sedih. Senang karena ia juga merupakan peserta bimbel, dan sedih karena saya berbeda kelas dengan dia. Karena jujur saja, saya masih penasaran dengan dia. Bagaimana sifatnya, apa saja yang telah dia lalui, darimana asalnya, sudah berapa lama ia mondok disini, mengapa tadi malam ia di ndalem, pokoknya hal-hal yang ada kaitannya dengan dia. Saya sungguh penasaran.
"Nggih mpun. Kula pamit nggih, Kang. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumus sallam," jawab saya. Lalu ia berbalik badan, melangkah menuju kelasnya dan meninggalkan saya. Entah mengapa ada rasa di kedalaman hati saya yang ingin dia agar tetap tinggal. Rasa ini membuat saya memanggilnya.
"Afwan," teriak saya berhasil menghentikan langkahnya dan berhasil membuat ia kembali menoleh pada saya.
"Nama?" hanya itu kata tanya yang sanggup meluncur dari bibir saya. 'Aduh Arul Haidar Al-Qousy, sejak kapan kamu jadi kikuk saat bertemu seorang gadis? Bukankah kamu sudah mengenal namanya? Lantas mengapa kamu bertanya?' inner batin saya marah.
"Nissa, Almeera Hasna Alfathunnissa," jawabnya dengan senyum. Ada momen yang manis saat mata kami tanpa sengaja saling tatap. Lalu saya membalasnya dengan mengacungkan jempol dan senyuman saya, yang saya harap mampu menandingi senyum manisnya.
Kemudian ia menghilang karena masuk ke ruang bimbel SOSHUM. Tapi pandangan saya rasanya belum bisa teralihkan. Hingga tiba-tiba saja Mas Zahran men-cablek bahu saya, ia mengambil alih bukunya yang berada dalam genggaman saya, sekaligus menyeret saya masuk ke ruang kelas. Kami duduk bersebelahan di pojok kanan belakang kelas dan dengan khusyu' melantunkan nadzam Asma'ul Husna.
Saya membuka kotak apem setelah lantunan nadzam Asma'ul Husna selesai. Jadi sekolah-sekolah di Kabupaten Rembang itu memiliki kebiasaan melantunkan atau membaca bagi mereka yang belum hafal, nadzam Asma'ul Husna sebelum memulai pelajaran. Saya terharu, baiklah sudah berapa kali saya terharu dan baper hari ini? Mengapa saya terharu? Sebab sudah lama sekali saya tidak membaca nadzam ini berjama'ah dengan teman-teman sekelas. Jujur saja rindu itu terbayar hari ini.
Di dalam kotak ada beberapa apem. Baunya harum, membuat saya hampir ngiler. Di atas apem ada sebuah kertas kecil terbungkus plastik. Saya membukanya dan membacanya. Isinya hanya sebuah kalimat singkat seperti ini 'Jangan lupa membaca bismillah dulu sebelum memakannya'. Saya tersenyum, mengingat Nissa lagi. Suara lembutnya masih terngiang. Dan senyumannya itu rasanya masih melekat hebat dalam fikiran. Dan akhirnya denyut nadi saya mulai tidak tenang lagi.
Afwan yaa Alfathunnissa, sepertinya ... saya ... terpesona.
Ndak : tidak
Sungkan : merasa tidak enak hati
Ngalor ngidul : ke utara ke selatan
Sampeyan : kamu
Afwan : maaf
Mengsem : tersenyum
Saestu : beneran
Isin tenan : malu banget
Nglothok rai : mengelupas wajah
Anget : hangat
Doyan : mau
Mbah dhok : Nenek
Mleyot : condong
Gemeter : bergetar
Bocah iki kenopo, tho? : anak ini kenapa, sih?
Mengingis : tersenyum dengan menunjukkan giginya
Na'am : iya
Nderek : ikut
Nggih : iya
Mpun : sudah
Kula : saya
Cablek : menepuk
Ngiler : meneteskan air liur
Bumi Wali (Tuban),
07 Desember
© 2019 Yunimatul Azizah
Sugeng Ambal Warsa,
figur nyata Kang Arul Haidar Al-Qousy
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top