03 Tukang Ngeyel
Pejuang deadline 😁
Naskah ini dipublikasikan guna mengikuti tantangan 300 hari menulis oleh @300days_challenge
Afwan Yaa Alfathunnisa
Chapter : 03 Tukang Ngeyel
POV : Almeera Hasna Alfathunnisa
Word : 1300+
Karya saya tidak bagus-bagus sangat (pikir saya), tapi saya harap panjenengan (dengan saya sebagai saksi) adalah sebagus-bagusnya seseorang yang bisa menghargai jerih payah karya orang lain..
Mari bantu saya sisir typo ✍️
🌹🌹🌹
"Mencegah suatu rasa itu memang susah. Karena semakin kuat dalam hal melupakan, maka semakin lekat pula hal itu dalam ingatan"
🌹🌹🌹
Ummi selalu bilang padaku, jika bakat paling luar biasa yang ku miliki adalah membuat Abi pusing. Selain itu, aku adalah putri tunggal Abi dan Ummi yang ndableg, suka ngeyel, dan jarang menuruti perintah mereka. Mungkin itu benar dan jujur saja aku mengakuinya. Kemarin, setelah memaksa Abi untuk mengijinkanku pergi ke rumah Mas Zahran, sepupuku di Pati, sekarang aku memaksa Abi untuk mengijinkanku ikut serta dalam bimbingan belajar berbasis pondok pesantren yang diselenggarakan oleh pemerintah, dengan nama Santriversitas. Bimbel ini dikhususkan untuk siswa lulusan sekolah menengah atas yang ingin melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi.
"Sampeyan itu ikut bimbel seperti itu buat apa tho, Nduk? Ngapain kuliah jauh? Kan sudah ada STAI Hidayatur Rochman disini," cegah Abi secara halus.
"Bi ... Nissa jenuh disini terus. Nissa juga ingin tahu rasanya merantau. Ayolah, Bi ... ijinkan Nissa nderek bimbel. Toh belum tentu juga Nissa akan di terima di universitas yang akan Nissa pilih," rayuku lagi.
Namaku Almeera Hasna Alfathunnissa. Nama yang cukup cantik, sekaligus cukup kepanjangan. Tapi pepatah Jawa berkata jika asma kinarya japa, bahwa tiap-tiap nama pasti mengandung harapan bagi yang menggunakannya.
Sebenarnya aku ingin membuang nama Almeera yang berarti putri raja itu, karena nama itu terlalu memberi tahu seluruh isi dunia jika aku adalah anak seorang yang cukup penting. Ya, aku adalah putri tunggal Kiai Ali, pengurus Pondok Pesantren Hidayatur Rochman.
Aku terkadang cukup risih jika ada seseorang yang memanggilku dengan sebutan Ning Nissa. Aku hanya ingin dipanggil biasa seperti anak-anak lainnya, tanpa ada embel-embel Ning di depannya. Aku hanya ingin dipandang karena kemampuan yang ku miliki, bukan karena aku ini anaknya Abi yang selalu harus dihormati. Maka dari itu aku selalu berusaha menyembunyikan statusku pada santri-santri Hidayatur Rochman, dengan cara berbaur dengan mereka. Menjadi santri yang tinggal di asrama dan tidak tinggal di ndalem.
Dan karena terkadang statusku sebagai Ning diketahui oleh seseorang, mereka pasti akan sangat memperhatikan sikapku. Maka dari itu aku pun berusaha berlomba untuk melakukan kebaikan yang ku yakini sebagai sebuah kebenaran, bukan karena statusku atau karena aku harus dipandang baik. Aku lakukan itu semua murni karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dan atas bimbingan-Nya. Aku berusaha tak risaukan perkataan orang-orang di sekitarku dan segala rentetan penilaian mereka. Pujian dan cacian pasti ada. Namun keduanya tidak boleh menghentikan kebaikan yang hendak ku lakukan. Dan Aku selalu berdoa semoga Allah selalu membimbing, melindungi merahmati, membahagiakan, menunjukkan, mengabulkan dan mengampuni dosa-dosaku serta setiap orang yang berusaha menyebarkan kebaikan kepada orang lain.
Aku berusia delapan belas tahun sekarang. Baru saja lulus dari MA Hidayatur Rochman. Aku tak pernah pergi dari penjara suci ini. Mulai dari RA, MI, MTs, dan MA aku berada di sini, wawasan keislaman pun aku peroleh di sini, di Yayasan Hidayatur Rochman yang di bangun oleh leluhurku. Aku adalah kaum ningrat pesantren yang ingin menghirup udara bebas. Untuk itulah aku membujuk Abi akan mengijinkanku kuliah di kampus selain Hidayatur Rochman.
Abi menghela napas. "Ya wis. Tapi jangan macam-macam," tutur beliau. Itu menandakan jika aku boleh mengikuti bimbel Santriversitas. Pangapuntenen putrine njenengan ingkang ndableg niki nggih, Bi. Setelah tahu diijinkan aku pun mencium tangan Abi dan mengucapakan terimakasih yang sebanyak-banyaknya.
"Nissa tidak akan macam-macam kok, Bi. Cukup semacam saja," kataku dengan berjalan mundur ketika hendak keluar dari kamar Abi. Tapi tiba-tiba saja aku menabrak seseorang. Hal itu membuatku terkejut dan terkesiap.
Sejurus kemudian, rasanya ada air panas yang sedikit mengenai punggungku. Ketika aku menoleh betapa terkejutnya aku mengetahui seorang Kang Santri yang meringis menahan rasa sakit.
Aku baru tersadar ternyata aku yang membuat kopinya tumpah. Gelasnya pun berserakan di lantai. Aku yang merasa bersalah pun secara naluriah bergegas menunduk untuk membersihkan kekacauan yang ku buat di lantai. Tapi ternyata Kang Santri ini juga melakukan hal yang sama. Sehingga kepala kami berbenturan. Rasanya sakit. Tapi tetap ku tahan karena aku harus tetap membersihkan kekacauan ini.
"Ngapunten nggih, Kang! Ngapunten!" panikku. Dia hanya diam, membuatku semakin merasa bersalah. Rasanya aku ingin berlari, tapi sekencang-kencangnya rusa berlari, ia akan tetap bergetar dan terjebak ketika bertemu sang singa.
Ah sepertinya bakat membuat pusing yang ku miliki bukan hanya kepada Abi sekarang, tapi seseorang yang baru saja ku tabrak hingga ia tersiram kopi. Ah, siapa saja tolong, air mataku ingin brebes mili.
Dan aku sedikit bernapas lega ketika Abi memanggil namanya, dan menyuruhnya kembali ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Jadi dia ndalem? Kok aku sepertinya baru pertama kali melihatnya, ya?
Ia kemudian berdiri. Meninggalkanku dengan kekacauan yang ku buat sendiri. Sebelum ia hilang dari balik pintu ia menatapku dan itu membuat mata kami bersibrok, karena tanpa sengaja aku juga menatapnya. Tapi aku tidak berani berlama-lama. Aku langsung saja memutuskan kontak mata itu dengan menunduk. Rasanya gimana gitu, ndak bisa ku jelaskan. Sorot matanya seperti tak menunjukkan rasa marah atau kesal tapi aku merasa sorot matanya itu memendam kesedihan yang mendalam. Kenapa dia bersedih? Apa itu karena kopi buatannya telah ku tumpahkan? Aduh ... aku sepertinya benar-benar akan membuatnya marah.
Usai aku membereskan pecahan gelas kaca itu dari lantai, aku menguburnya di halaman belakang rumah di temani dengan sorot lampu dari emperan ndalem. Aku terhisap dengan pusaran pikiran yang ku buat sendiri. Mengingat kejadian tadi. Aku harus minta maaf bagaimanapun caranya. Aku tidak ingin dia membenciku.
Kalau dia tidak mau memaafkanku, maka aku akan menceramahinya seperti ini, 'Kang, memaafkan orang lain yang telah mencabik-cabik hati saat kita telah memiliki kekuatan untuk membalas sakit hati kepada orang tersebut merupakan kepribadian nabawi dan akhlak para nabi. Maka dari itu kita harus berittiba' atau meniru perbuatan Nabi. Hanya orang-orang yang berlapang dada yang mampu memberi maaf dan melakukan perbuatan luhur tersebut.'
'Selain itu, Kang, kita bisa belajar kepada Nabi Yusuf Alaihis Salam tentang cara memaafkan. Sebab, beliau mampu memaafkan semua saudaranya yang telah berbuat jahat dan memusuhinya, bahkan mereka hendak membunuhnya, hingga terpisah dari sang Ayah, serta dijual sebagai budak. Namun Nabi Yusuf tetap memafkan mereka setulus hati. Subhanallah.' Ehm benarkah aku akan sanggup menceramahinya? Lha wong menatapnya saja sudah membuat nyaliku menciut.
Aku ingat sebuah pepeling Bahasa Jawa dari Abi jika wong urip iku kudu amemangub kayernak tyasing sasama, bahwa hidup itu harus bisa membuat enak hati orang lain. Namun aku terkadang gagal dalam menjalankan prinsip itu. Abi itu seorang Kiai yang sangat mencintai budaya Jawa, tanah kelahiran beliau. Beliau selalu dhawuh yen dalam mempelajari ilmu agama di Indonesia khususnya di Jawa itu harus memegang prinsip 'Arab digarab, Jawa digawa.' Karena menurut Abi orang Jawa memiliki sifat sederhana, sifat yang mencerminkan sifat Rasulullah.
Aku terus memikirkan Kang Arul, Kang yang tadi ku buat kopinya tumpah itu bernama Kang Arul. Aku tahu karena tadi Abi memanggilnya. Dia tadi mengenakan kemeja putih, sarung kotak-kotak berwarna kuning yang bercampur dengan coklat. Rambutnya berponi, karena pecinya sedikit ia naikkan. Aku masih ingat bagaimana ekspresinya ketika meringis karena menahan rasanya air kopi yang panas. Sungguh mmebuatku benar-benar merasa bersalah.
Aku menggeleng-nggelengkan kepala. Berusaha melupakan semuanya, kejadian itu, mulai dari ekspresinya ketika tersiram kopi, hingga ketika pertemuan mata kami, aku berusaha melupakannya. Tapi entahlah ... walaupun aku sudah berusaha melupakannya, tapi peristiwa itu masih saja mampu mengganggu jiwa.
Ndableg -> Bandel
Ngeyel -> Bandel
Sampeyan -> Kamu
Tho -> Tak bermakna khusus
Nderek -> Ikut
Ndalem -> Sistem pondok pesantren yang menginap di rumah kiainya
Wis -> Sudah
Pangapuntenen putrine njenengan ingkang ndableg niki nggih -> Maafkan putrimu yang bandel ini ya
Ngapunten nggih, kang! Ngapunten! -> Maaf ya, Kang! Maaf!
Bresbes mili -> Mengalir
Ndak -> Tidak
Pepeling -> Peringatan atau pesan
Wong -> Tidak bermakna khusus
Dhawuh -> Bicara (Sangat halus)
Arab digarap Jawa digawa -> Arab dikerjakan Jawa dibawa
Bumi Wali (Tuban),
23 November
© 2019 Yunimatul Azizah
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top