02 Sesuatu yang Tumpah
Pejuang deadline 😁
Naskah ini dipublikasikan guna mengikuti tantangan 300 hari menulis oleh @300days_challenge
Afwan Yaa Alfathunnisa
Chapter : 02 Sesuatu yang Tumpah
POV : Arul Haidar Al-Qousy
Word : 2100+
Estimated reading time in minutes : 8+
Karya saya tidak bagus-bagus sangat (pikir saya), tapi saya harap panjenengan (dengan saya sebagai saksi) adalah sebagus-bagusnya seseorang yang bisa menghargai jerih payah karya orang lain.
Mari bantu saya sisir typo ✍️
🌹🌹🌹
"Hanya dengan Kuasa Allah kita bertemu. Entah nanti, entah kapanpun itu. Jika memang telah ditakdirkan terjadi sesuatu di antara kita, maka aku percaya bahwa kita akan berjumpa."
🌹🌹🌹
Saya pikir, saya akan di letakkan di pondok yang gapuranya bertuliskan 'Gerbang Santri Putra Hidayatur Rochman.' Namun ternyata, saya disuruh menjadi abdi ndalem.
Ini yang membuat saya semakin tidak mengerti dengan maksud Mbah Kung. Setelah memaksa saya mondok, sekarang memaksa saya untuk mengabdi di ndalemnya Kiai Ali. Apa tujuannya?
Bukannya saya tidak mau, tapi saya ini tipe orang yang mudah sungkan, takut merepotkan.
Mungkin, Mbah Kung ingin Kiai Ali mengawasi saya selama dua puluh empat jam. Seraya berharap, kebiasaan buruk saya akan hilang.
Usai sholat isya', sebenarnya saya ingin ikut ngaji kitab. Meskipun, belum memiliki kitab yang akan dipelajari. Namun, Kiai Ali menitah saya untuk masuk ke kamar, merapikan barang-barang yang sudah saya bawa ke sini. Saya tidak tahu mengapa, tapi sebagai santrinya, saya harus manut tanpa perlu mengangsurkan kata tanya 'kenapa.'
Jam menunjukkan pukul delapan lebih dua puluh menit ketika saya selesai membereskan barang dan membersihkan kamar. Kemudian, saya duduk di ranjang.
Kamar ini berukuran sedang dengan tembok bercat coklat muda. Ranjang yang menghadap barat ini muat untuk dua orang. Di sisi kanannya ada meja dan kursi belajar, sedangkan di sisi kiri ada lemari pakaian. Jendela kamar berada di sebelah utara tembok, menghadap langsung dengan pelataran ndalem (rumah Kiai).
Dalam sudut kamar yang mulai sekarang menjadi ruangan pribadi, saya mulai merasa jenuh. Tidur jam segini bukan tipe saya, sehingga saya belum merasa kantuk sama sekali. Kalaupun dipaksa tidur, saya tidak mungkin bisa.
Tak ada rokok, tak ada minuman bersoda, hanya ada biskuit yang Mbah Dhok bawakan. Apesnya ponsel saya juga tertinggal di meja kamar rumah Mbah Kung.
Terlintas dalam benak saya untuk keluar, pergi mencari letak ruang keluarga misalnya. Barangkali di sana ada televisi yang bisa saya lihat. Namun, saya urungkan niat saya, takut dikira tidak sopan.
Aarrrggghhh! Saya hampir gila karena diterkam rasa bosan.
Akhirnya, saya putuskan untuk mengeluarkan bolpoin dan selembar kertas. Mencoba merangkai puisi. Barangkali kegiatan itu bisa membuat pikiran saya tetap waras.
Mata saya beralih ke pintu kamar yang diketuk, tepat saat bait puisi saya rampung.
Saya bergegas bangkit dari ranjang. Ketika pintu terbuka, terpampanglah wajah Bu Nyai Saudah, istri Kiai Ali.
Beliau tersenyum ramah. "Cung, Rul, awakmu ditimbali Abi nang ruang kitab (Nak, Rul, kamu dipanggil Abi di ruang kitab)," ungkap beliau. Saya mengangguk, menutup pintu kamar saya dan berjalan mengikuti Bu Nyai.
Tepat di depan ruang kitab Kiai Ali, Bu Nyai Saudah meninggalkan saya. "Awakmu ndang masuk ae. Ummi tak balik nyimak mbak-mbak pondok (Kamu langsung masuk saja. Ummi mau kembali menyimak mbak-mbak pondok)," terang beliau sembari menepuk pelan pundak saya.
Setelah mengangguk, dengan mengucap salam saya mengetuk pintu ruang kitab Kiai Ali yang sudah terbuka.
Kiai Ali tengah membaca kitab dengan bantuan kacamata yang bertengger di hidung beliau. Kiai Ali duduk menyelonjorkan kaki di karpet yang digelar menutupi sebagian lantai ruangan.
Dengan pandangan yang masih setia pada kitab, Kiai Ali mengutus saya masuk dan duduk di dekat beliau.
Saat duduk bersimpuh, saya baru sadar jika puisi yang saya buat tadi, ikut terbawa hingga sekarang dalam genggaman saya.
Berusaha mengabaikan masalah kecil itu, saya bertanya berterus terang kepada Kiai Ali, "Wonten nopo nggih, Pak? (Ada apa ya, Pak?)"
Kiai Ali menatap saya dengan kening yang mengernyit. "Kok Pak, tho, Rul? Mulai saiki, Abi kuwi wis dadi wong tuane sampeyan nang kene (Kok Pak, sih, Rul? Mulai sekarang, Abi itu sudah menjadi orang tuamu di sini)." Kiai Ali tersenyum.
"Jadi, sampeyan nek memanggil saya, ya kudune podho karo santri liyane. Abi ngunu, loh (Jadi, kamu kalau memanggil saya, ya, seharusnya sama dengan santri yang lainnya. Abi begitu, loh)," sambung beliau dengan menepuk pelan lutut saya.
Kiai Ali, maksud saya Abi menutup dan meletakkan kitabnya di atas meja. Beliau menatap saya lekat-lekat. "Abi ngundang sampeyan mrene iki mau lak arep tak kandani, nek sampeyan nang kene kuwi tak bebaske. Mau tidur di sini monggo, mau tidur bareng santri putra di pondok ya monggo (Abi memanggil kamu ke sini tadi mau saya beritahu, kalau kamu di sini itu saya bebaskan. Mau tidur di sini silahkan, mau tidur bareng santri putra di pondok ya silahkan)," tutur Abi.
Abi juga menjelaskan bagaimana saya akan makan, sholat, menimba ilmu dan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan di sini. Untuk lebih jelasnya, besuk Abi akan memperkenalkan saya dengan abdi ndalem yang sebelumnya, Zahran Al-Fachri.
"Nek soal rokok ... iki sing rodok sensitif (Kalau soal rokok ... ini yang sedikit sensitif)."
Batin saya menjadi was-was. Apakah Abi akan melarang saya merokok? Padahal wis kadung njegur (Padahal sudah terlanjur menceburkan diri). Pasti kebiasaan merokok itu akan susah saya hilangkan.
"Nek Abi pribadi ndak ngelarang (Kalau Abi pribadi tidak melarang)," terang Abi membuat saya lega.
"Tapi ...," jeda Abi kemudian. Lah, ini yang membuat perasaan lega kembali ngambang.
"Tapi nek Ummi kuwi asline ndak suka santrine ngerokok (Tapi kalau Ummi itu sebenarnya tidak suka santrinya merokok)." Abi melanjutkan kalimat beliau yang dijeda.
Bukankah itu berarti saya tidak boleh merokok di ndalem ataupun di hadapan Ummi?
"Dadi nek isa, aja ngerokok nang adepane Ummi (Jadi kalau bisa, jangan merokok di depan Ummi)," tegas Abi membenarkan pikiran saya.
Saya menganggukkan kepala, sebagai tanda memahami.
"Nek sampeyan merokok nang ngarepe wong liya (Kalau kamu merokok di hadapan orang lain)," lanjut Abi. "Ana apike tanya dulu. Boleh ndak kita merokok (Ada baiknya tanya dulu. Boleh tidak kita merokok)."
"Nah, nek nang nggon umum, nek isa diempet. Kecuali nek sampeyan ngumpul bareng para ahli suni, kuwi beda mane ceritane (Nah, kalau di tempat umum, kalau bisa ditahan. Kecuali kalau kamu berkumpul bersama para ahli suni, itu berbeda lagi ceritanya)," celetuk Abi dengan terkekeh.
Saya menautkan alis, tak paham dengan kata ahli suni. Jujur, saya belum pernah mendengar kata itu.
Ketika saya tanyakan, Abi menjawab jika maknanya adalah ahli nyusu geni (menghisap api). Saya ikut tersenyum. Ah, Abi ada-ada saja.
Ada lagi yang tidak saya pahami, mengapa Abi bisa tahu bahwa saya seorang perokok? Padahal, saya belum menceritakan apapun.
Ah, ini pasti ulah Mbah Kung.
Sejauh mana Mbah Kung menceritakan kisah tentang saya pada Abi? Apa kisah saya yang menjadikan rokok sebagai alat bunuh diri itu juga termasuk?
Lantas, Abi meng-qari' sebuah ayat Al-Qur'an. Suara beliau begitu lembut dan merdu, menyejukkan hati.
"Dari Al-Qur'an Surah An-Nisaa ayat 29 artine ngene (artinya begini), Nak Arul ... janganlah kau membunuh dirimu. Karena sesungguhnya Allah Maha sayang padamu," terang beliau.
"Kenapa kita mesti berpikir panjang, tho, Rul? Padahal sekabihane perkara kuwi wis dikuasai marang Gusti Allah (Kenapa kita harus berpikir panjang, tho, Rul? Padahal semua perkara itu sudah dikuasai oleh Allah)."
"Saiki ngene, sampeyan ngerti ndak, tiga hal sing bakal tetap mengikuti seseorang masio wis meninggal? (Sekarang begini, kamu tahu tidak, tiga hal yang akan tetap mengikuti seseorang meskipun sudah meninggal?)" tanya beliau.
Saya mengangguk, benar-benar ingat dengan pelajaran ini. Pelajaran yang sering disampaikan oleh guru-guru di sekolah madrasah. "Nggih, Bi. Kawitan ilmu yang bermanfaat. Kalihe amal ibadah lan ingkang pungkasan niku doa anak yang sholeh." (Iya, Bi. Pertama ilmu yang bermanfaat. Kedua amal ibadah dan yang terakhir adalah doa anak yang sholeh).
"Nah, kuwi sampeyan ngerti (Nah, itu kamu mengerti)," puji Abi. Ada nada khusus di dalamnya. Beliau menyadarkan saya, jika saya harus lebih sering mendoakan Ibu, bukannya melakukan sesuatu hal yang sia-sia.
Saya menunduk dalam diam, meremas kertas, merasa geram dengan diri sendiri. Saya tak habis pikir, kenapa semuanya baru saya sadari sekarang?
"Wis, sebaiknya sampeyan saiki ke dapur, gawekke Abi kopi. Ya, anggep wae sebagai tugas pertama (Wis, sebaiknya kamu sekarang ke dapur, buatkan Abi kopi. Ya, anggap saja sebagai tugas pertama)." Abi membuyarkan pikiran saya yang kemrungsung (berbunyi nyaring seperti lebah).
Saya mengangguk dan bergegas bangkit.
Ah, betapa beruntungnya seorang anak yang memiliki seorang Ayah seperti Abi. Saya merasa sangat iri.
Setelah melewati beberapa lorong, akhirnya saya menemukan letak dapur di rumah Abi.
Dapur yang begitu sempurna. Kebersihannya terjaga. Perabotan tertata sangat rapi. Lemari-lemari dinding dilengkapi dengan kertas keterangan. Dengan begitu, proses membuat kopi saya lebih mudah.
Saat masih di rumah Mbah Kung, saya sudah terbiasa membuat kopi sendiri. Jadi, ini bukanlah tugas yang sulit.
Terkadang saat membuat kopi, saya hampir menangis membayangkan bagaimana rasa nikmatnya kopi buatan Ibu.
Setelah kopi siap, saya lantas kembali ke ruang kitab Abi.
Mata saya terlalu fokus menjaga keseimbangan kopi di atas nampan, hingga tanpa saya sadari jika masuknya saya ke ruang kitab Abi, bersamaan dengan seseorang yang melangkah keluar. Sontak tanpa disengaja, tanpa bisa dihindari, kami pun bersinggungan.
Tak butuh waktu lama, semuanya berjatuhan. Gema nampan yang berbeturan dengan lantai, terdengar begitu keras. Gelas pecah berserakan, air kopi yang tumpah menimpa badan saya membuat saya meringis, karena suhunya masih cukup panas.
Awalnya saya kaget, tapi akhirnya saya langsung bergegas menunduk, berusaha membereskan semua hal yang berserakan di lantai.
Namun, gadis yang bertabrakan dengan saya ini, rupanya juga terlatih untuk melakukan hal yang sama, ia juga bergegas menunduk.
Hal ini membuat kepala kami berbenturan. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah tersiram kopi, kepala juga sakit sekali.
Seolah mengabaikan rasa sakit, kami sama-sama ngeyel untuk membereskan segala kekacauan. Meski dengan terus-menerus menggumamkan ringisan dan satu tangan yang masih setia memegangi jidat.
Sesekali, bola mata saya melirik dia. Ekspresi gelisah dan menciut sangat terpampang jelas di wajahnya. Apa saya membuatnya takut?
"Ngapunten, nggih, Kang! Ngapunten sanget! (Maaf, ya, Kang! Maaf sekali!)" ucapnya berkali-kali dengan nada panik. Ia seperti rusa yang terjebak dalam lingkar singa lapar, siap menerkam dan memangsanya kapan pun.
Saya diam, tak bergeming. Sebenarnya saya ingin marah, tapi ada sesuatu dalam diri gadis ini yang mampu membuat saya bungkam.
Dari sejauh mata saya memandang, gadis ini terlihat sangat cantik. Begitu menawan, sekalipun tanpa riasan.
Ia mengenakan gamis berwarna merah muda. Meskipun mengenakan jilbab biru, pipinya yang tembem itu tak bisa disembunyikan keranumannya. Kedua matanya yang berbinar-binar nyaris menangis. Walaupun demikian, bukan itu bagian yang menakjubkan. Hal yang membuat saya hampir kehilangan napas adalah entah mengapa rasanya saya tak akan pernah bisa marah padanya.
Seolah-olah situasinya belum cukup runyam, Abi memanggil saya, memerintah saya untuk pergi ke kamar dan membersihkan pakaian.
Akhirnya saya berdiri. Namun, kaki saya rasanya berat untuk meninggalkan gadis ini. Tega kah saya membuat dia membereskan semua kekacauan itu sendiri?
Akan tetapi, saya juga tidak mungkin menawar perintah dari Abi. Ini hari pertama saya di sini, rasanya akan sangat tidak pantas jika saya membantah.
Dengan kata maaf yang tak mampu terucap, saya pamit undur diri dari ruang kitab Abi.
Sebelum pergi ke kamar, langkah saya berbelok menuju dapur. Mengambil dan mengisi separuh volume baskom dengan air yang saya alirkan dari kran wastafel.
Sesampainya di kamar, saya langsung meletakkan sebaskom air di meja dan melemparkan peci di atas ranjang. Segera juga menanggalkan kemeja putih serta kaos hitam yang saya kenakan.
Bertelanjang dada, saya mencari handuk, merendamnya ke dalam air, dengan perlahan membalur dada serta perut saya yang masih terasa panas, berusaha kembali menetralkan suhunya.
Saya bersyukur badan saya yang tersiram tidak melepuh, hanya sedikit kemerahan.
Setelah merasa baikan, saya memakai kaos yang kering dan berbaring di kasur.
Sang waktu terus berjalan hingga menunjukkan pukul sepuluh lebih dua puluh tiga menit. Rasanya saya tidak bisa tidur. Kejadian tadi masih setia berputar di pikiran saya.
Tanpa sadar, sudut bibir saya terangkat karena mengingat wajah seorang gadis yang ketakutan menghadapi saya. Bagi saya, ekspresinya itu terlihat lucu.
Sebenarnya saya tidak marah, sungguh. Malah sekarang, saya yang merasa bersalah. Andai saja saya tadi masuk kamar Abi dengan salam, mungkin ia akan tahu keberadaan saya. Sehingga, singgungan di antara kami dapat terhindari.
Rasa bersalah saya semakin bertambah karena tanpa kata permisi dan maaf, tega meninggalkan dia untuk membersihkan kekacauan itu sendiri.
Lantas, gendang telinga saya pun mengingat bagaimana suara minta maafnya yang berulang-ulang. Entah mengapa saya merasa sedikit geli ketika dia memanggil saya dengan embel-embel 'Kang.'
Kang? Memangnya saya tukang?
Sebelumnya, tidak pernah ada orang yang memanggil saya seperti itu. Mungkin itulah yang membuatnya terasa aneh. She is the first people who has call me 'Kang' (Dia adalah orang pertama yang memanggil saya 'Kang').
Nissa. Gadis itu bernama Nissa. Saya mengetahui hal itu saat Abi menyebutnya. Sebuah nama yang begitu selaras dengan pesonanya.
Sedang apakah dia sekarang? Sudah rampung kah ia membereskan kopi yang tumpah?
Saya memegang jidat saya yang sempat berbenturan dengannya. Seolah ada energi yang mengalir di sana. Bekasnya masih terasa kuat.
Yaa Rabb, kok saya jadi kepikiran terus, ya?
Entah apa yang tumpah kali ini. Hanya segelas kopi? Ataukah mungkin ... sebongkah hati?
(◍•ᴗ•◍)❤
Bumi Wali (Tuban),
16 November 2019
Mugi bombong ing penggalihe panjenengan 😇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top